Sebenarnya warga dan penduduk memanfaatkan candu untuk pengobatan tradisional, tetapi sebagian menyalahgunakan sekedar mabuk-mabukan. Inilah mapping awal tradisi (buruk) rakyat. Oleh pendatang (asing) kebiasaan masyarakat mengisap candu atau madat ditandai sebagai titik lemah (Achilles, baca: akiles) yang bisa “diletuskan” sewaktu-waktu. Pada gilirannya akiles pun diolah, dieksploitasi serta dipropaganda secara gencar dengan tujuan tertentu, bahwa asap candu menimbulkan “mimpi indah” di dalam tidur!
Zaman Kaisar Ming dan Ching berkuasa, ada kebijakan menutup jalur perniagaan dengan Barat karena anggapan selain mampu memenuhi keperluan rakyatnya sendiri, ia juga tak mau bergantung kepada asing. Sebuah sikap kemandirian yang dahsyat dari Ming, akan tetapi justru inilah embrio konflik. Ya, kebijakan Ming jelas merugikan Inggris, karena hasil produk dan barang-barang Cina semacam sutera, rempah, tembikar serta teh yang dimonopoli Inggris diminati berbagai kalangan di Eropa. Hubungan kedua pihak menegang. Setelah lewat liku-liku perundingan, akhirnya perdagangan dibuka kembali dengan syarat Inggris boleh dagang hanya di Guangzhou (Canton) saja.
Britania Raya memahami kebiasaan madat dan luasnya konsumsi candu di kalangan penduduk. Inilah akiles yang “terpetakan”. Ia pun menyalahi isi kesepakatan dengan memasukkan barang larangan (opium) sebagai komoditi. Tampaknya barang ilegal tadi malah direspon girang sebagian penduduk, terutama para pecandunya. Akhirnya peredaran kembali marak, apalagi Inggris memiliki akses opium ke India secara mudah mengingat geografisnya bersebelahan dengan Cina.