Harian berbahasa Mandarin, Yinni Xingzhou Ribao melaporkan, periode Januari s/d November 2012, investasi langsung Tiongkok ke luar negeri (merger dan akuisisi) di sektor non finansial mencapai USD 62,5 miliar (naik 25%), proyek kontrak di luar negeri sebesar USD 102,4 miliar (naik 18,7%) dan jumlah kontrak baru sebesar USD 128,8 miliar (naik 12,9%). Prediksi dari Bank Dunia menggambarkan bahwa di tahun 2020 Tiongkok akan mampu menggeser posisi AS. Jika pola ini berlanjut di tahun 2050, Cina akan menjadi negara hegemonik baru.
Barang tentu, meski hanya sekadar prediksi, mengundang kekhawatiran besar di Washington. Sehingga kekhawatiran tersebut mendorong Paman Sam untuk meningkatkan skala kekuatan militernya di kawasan Asia Pasifik. Tujuannya, untuk meminimalisir situasi yang tak terduga.
Perang Asimteris ala Tiongkok Lebih Unggul Dibanding AS
Lantas bagaimana pemerintahan Jokowi-JK memandang persaingan global AS versus Tiongkok saat ini? Pada tataran ini pemerintah harus pandai-pandai membaca tren global saat ini. Saat ini, para pemangku kebijakan strategis politik luar negeri kita harusnya sudah membaca adanya kemunduran hegemoni AS yang ditandai terjadinya stagnasi ekonomi sejak tahun 2008.
Stagnasi ekonomi ini membuat semakin besarnya defisit anggaran dan perdagangan AS yang melemahkan posisi mata uang dollar sebagai mata uang internasional dibandingkan yuan. Kemunduran hegemoni AS ini juga diikuti dengan terjadinya kompetesi strategis antara AS dan Tiongkok, terutama di sektor keamanan energi. Manuver Tiongkok mencari minyak dan gas dari Afrika, Asia Tengah, dan Asia Tenggara kemudian bersinggungan dengan kepentingan liberalisasi ekonomi dan politik AS di wilayah ini.
Salah satu kunci Tiongkok lebih kuat dari AS, karena untuk mewujudkan ”China Dream”, yang menjadi simbol kebangkitan etnis Tionghoa, Xi Jinping (Presiden Tiongkok ) dan Li Keqiang (PM Tiongkok ), maka Tiongkok -Hongkong dan Makau harus saling bekerjasama dan saling melengkapi. Tiongkok tetap menganggap Huaren dan Huaqiao (warga Tiongkok perantauan) menjadi aset penting mengejar “China Dream” tersebut. Langkahnya adalah semua elemen Tiongkok dimanapun berada adalah “satu bangsa” melalui program cultural nationalism. Hal tersebut ditegaskan, Martin Jaques dalam bukunya ”When China Rules The World”.