Eramuslim.com -TEMAN dari seorang bekas koruptor bercerita. Di tahun 2000-an awal, temannya menilep dana proyek pemerintah sebesar Rp. 40,- miliar. Korupsi itu dilakukannya secara sadar. Termasuk dia sadar akibat perbuatannya, dia akan dijatuhi hukuman penjara.
Tapi secara mental dia sudah siap untuk menetap dan tinggal dipenjara. Sehingga menjadi pesakitan, penghuni penjara bukanlah sebuah masalah.
Perhitungannya begini:
Kalaupun dipenjara sampai 10 tahun, hitung-hitungannya, resiko itu impas dengan uang yang dihasilkannya dari tindak kejahatan korupsi.
Pertama, secara materi, keluarganya, tak kekurangan. Kedua secara fisik isteri dan anak-anaknya tidak akan menderita.
Kehidupan keluarganya secara ekonomi dan finansil, terjamin. Hidup berkecukupan. Isteri bisa belanja ke mall, berkendara sedan mewah, anak-anak bisa sekolah di lembaga pendidikan yang bermutu, bahkan bisa belajar di luar negeri.
Mengapa bisa demikian?
Sebab setelah dipotong sebanyak Rp. 10,- miliar, hasil korupsinya masih bersisa sebanyak Rp. 30,- miliar.
Nah uang Rp. 30,- miliar inilah yang didepositokannya dengan bunga 6 persen per tahun atau setara dengan Rp. 1,8,- miliar. Itu artinya setiap bulan keluarga si koruptor mempunyai penghasilan tetap sebesar Rp. 180,- juta per bulan!
Siapa pegawai swasta apalagi PNS yang berpenghasilan sebanyak itu?
Enaknya lagi dengan penghasilan tetap seperti itu, keluarga koruptor tidak perlu bekerja keras. Cukup ongkang-ongkang kaki di rumah, menghitung hari – kapan jatuh tempo bunga depositonya.
Lalu kemana uang Rp. 10,- milyar dari total Rp. 40,- milyar?
Disisikannya untuk “biaya kelakuan”. Seperti merubah sel pribadi di penjara menjadi mirip kamar di hotel berbintang.
Ada alat penyejuk ruangan, sofa dan tempat tidur empuk, kamar mandi dan toilet di dalam kamar, tempat menerima tamu, menonton TV dan sebagainya.
Sehingga berada di penjara, tidak akan dirasakan sebagai sebuah siksaan. Ruang tahanan di dalam penjara tak ubahnya dengan “home sweet home”.
Selain punya ruang tahanan seperti kamar di hotel berbintang, si koruptor, kalau mau, sesekali masih bisa tinggal di luar penjara. Misalnya dengan alasan berobat. Sehingga dia bisa menginap di sebuah rumah sakit. Di rumah sakit sini sang koruptor bisa menerima kunjungan penjenguk – layaknya pasien yang sedang dirawat inap. Walaupun dia sebetulnya tidak sedang dalam kondisi sakit.
Tentang penggunaan uang Rp. 10,- miliar – sebagai “biaya kelakuan”, diatur sedemikian rupa; setiap tahun uang yang dibelanjakan rata-rata tidak boleh lebih dari Rp. 1,- miliar. Atau sekitar Rp. 80,- juta per bulan.
Saya tidak tau persis apakah kehidupan seperti ini masih berlangsung di penjara kita atau sudah tidak ada. Apakah cerita sahabat di atas hanya sebuah kisah “seasonal”.
Hanya saja jika mengacu pada cerita bandar narkoba Freddy Budiman, bisa jadi strategi koruptor dengan mengubah penjara menjadi semacam “rumah impian”, kemungkinan besar masih berlangsung.
Masih ingat cerita tentang Freddy Budiman bukan?
Sebagaimana dilaporkan oleh berbagai media, sebelum dieksekusi, Juli 2017. Freddy Budiman sang andar narkoba, yang menghuni salah satu blok di penjara Cipinang, bisa melakukan berbagai transaksi. Secara nyaman di ruang tahanan. Mulai dari transaksi hasil penjualan narkoba sampai dengan transaksi seks. Freddy bisa membawa pacarnya masuk bebas ke dalam ruang tahanannya – seorang model yang cantik- bagaikan tamu yang berkunjung ke rumah biasa. Rumah di sebuah kompleks.
Selain Freddy Budiman, juga ada terpidana wanita Artalyta Suryani.
Di tahun 2010, pesakitan ini menghuni Rutan Wanita Pondok Bambu. Dimana di dalam ruang kamarnya tersedia semua perlengkapan – layaknya seperti di rumah sendiri setara hotel berbintang.
Dari dua kisah ini, membuat saya bertanya dan berpikir – andaikata Setya Novanto Ketua DPR dan Ketua Umum DPP Golkar menjadi penghuni alah satu penjara.
Apabila politisi yang dikenal kokay ini – yang dituduh melakukan korupsi sebanyak Rp. 500,- an miliar, lantas dia dipenjara – apakah juga Setnov akan membangun kamar mewah sendiri di dalam kompleks rumah tahanan?
Sebab melihat statusnya sebagai orang kaya, yang terbiasa hidup di lingkunggan yang mewah, rasa-rasanya sulit jika Setnov tidak tergoda merenovasi ruang tahanan menjadi sebuah wilayah yang nyaman.
Kalau pejabat penjara melarangnya, Setnov mungkin akan menggugat dengan bertanya, kenapa pesakitan seperti Freddy Budiman dan Artalyta Suryani boleh diizinkan lantas dia tidak?
Jika ini terjadi, maka semakin benar jargon lama: uang adalah segala-galanya. Uang bisa mengatur dan membeli apapun.
Atau yang lebih mendasar lagi, siapapapun yang punya kesempatan melakukan korupsi, mungkin akan berhitung begini: kalau jadi koruptor, jangan tanggung-tanggung. Harus jadi koruptor dengan jumlah uang sebesar mungkin atau sebanyak-banyaknya.
Sehingga pada akhirnya, bagi koruptor kelas kakap, perampok uang negara sebesar-besarnya, penjara bukanlah tempat yang harus dihndari dan ditakuti. Penjara bukanlah tempat dimana penyiksaan dan kepahitan terjadi. Penjara adalah tempat beristirahat paling aman. Sebab pasti tak ada orang lain yang bisa mengganggu.
Penjara hanya menakutkan bagi penjahat kelas teri, seperti maling ayam dan koruptor kelas recehan.
Terjadinya “pembagian” dalam dua kategori ini tentang penjara, setidaknya memberi gambaran bahwa makna tindak korupsi, sudah mengalami pergeseran. Korupsi adalah sebuah gaya hidup dan teori baru dalam falsafah kehidupan.
Lima puluh tahun lalu, seseorang yang terbukti dan tertangkap sebagai koruptor akan merasa sangat malu. Tapi di zaman (edan) seperti sekarang, koruptor bukan lagi sebuah label aib.
Setengah abad lalu seorang bekas tahanan korupsi, tidak mudah beradaptasi di masyarakat. Sebab cibiran dan berbagai omongan tidak sedap akan menghujaninya. Selain mendapat hukuman secara formal, sang mantan narapidana korupsi masih mendapat hukuman sosial dari masyarakat. Dan hukuman sosial ini yang dirasakan sangat berat.
Itu sebabnya di zaman lampau, seseorang yang sudah punya label sebagai koruptor akan sulit mendapatkan tempat yang layak di masyarakat – seperti jabatan bergengsi dan terpandang.
Kalau zaman sekarang, tidak demikian. Semuanya serba terbalik-balik
Korupsi merupakan bisnis. Bisnis yang mulai masuk ke tingkat industri. Korupsi merupakan salah satu jalan pintas untuk mencari kehidupan yang lebih baik.
Itulah sebabnya, mungkin memang tepat apa yang dikatakan oleh Teddy Setiawan, seorang eksponen KAPPI 66. Bahwa para koruptor di negara kita saat ini memang sedang berpikir terbalik. Termasuk para anggota DPR-RI yang membentuk Pansus Angket KPK.
Mereka ingin merubah arah jarum jam berputar. Bukan bergerak ke kanan, tetapi berbalik ke kiri, ke belakang. (kl/rmol)
Derek Manangka, Penulis adalah wartawan senior
https://m.eramuslim.com/resensi-buku/konspirasi-penggelapan-sejarah-indonesia-eramuslim-digest-edisi-10.htm