“Karena posisi Pancasila yang krusial seperti itu, saya melihat urgensi mendesak rehabilitasi dan rejuvenasi Pancasila, khususnya ketika bangsa sedang dalam proses memilih kepemimpinan nasional sekarang ini. Jika tidak, ada kemungkinan bangkitnya ideologi-ideologi lain, termasuk yang berbasiskan keagamaan. Gejala meningkatnya pencarian dan upaya-upaya untuk penerimaan religious-based ideologies ini merupakan salah satu tendensi yang terlihat jelas di Indonesia pada masa pasca Soeharto.”
Paragraf di atas saya ambil dari tulisan Azyumardi Azra, yang berjudul “Pancasila di Tengah Peradaban Dunia: Perspektif Multikulturalisme dan Pendidikan Multikultural” yang dipresentasikan saat Diskusi Nusantara Institute “Menyongsong 100 Tahun Kebangkitan Nasional Jakarta,” 16 April 2008.
Azyumardi mengakui bahwa ada masa kelam dimana Pancasila pernah dijadikan sebagai alat politik Orde Baru dalam melanggengkan kekuasaannya. Akan tetapi, sekalipun wajah Pancasila pernah cacat, goresan hitam pada wajahnya bisa dibersihkan dan dipoles dengan semangat multikulturalisme Pancasila sebagai ideologi Negara.
Alasan Azra berfikiran seperti itu, rupanya didasari pada realitas bahwa muncul militansi keberagamaan yang meningkat di kalangan uamt Islam. Artinya, menurut Azra, hal ini jutsru menjadi masalah baru pasca Soeharto lengser dan era reformasi dimulai dimana BJ. Habibie telah menghapus asas tunggal. Azra menulis,
“Penghapusan ini (Pancasila sebagai satu-satunya asas organisasi, pen.) memberikan peluang bagi adopsi asas-asas ideologi lain, khususnya yang berbasiskan agama (religious-based ideology). Pancasila jadinya cenderung tidak lagi menjadi common platform dalam kehidupan politik.
"Ketiga, desentralisasi dan otonomisasi daerah yang sedikit banyak mendorong penguatan sentimen kedaerahan, yang jika tidak diantisasipasi bukan tidak bisa menumbuhkan sentimen local-nationalism yang dapat tumpang tindih dengan ethno-nationalism. Dalam proses ini, Pancasila baik sengaja maupun by implication kian kehilangan posisi sentralnya.”
Kekeliruan yang selama ini terjadi di beberapa kalangan untuk menerima Pancasila adalah pada harapan besar masuknya Syariat Islam pada Sila Pertama yakni Ketuhanan yang Maha Esa. Padahal dengan segala kondisi yang terjadi, konsep Sila Pertama itu tidak sepenuhnya identik dengan Islam, karena lebih berhaluan monotheisme ketimbang Tauhid.
Tauhid jelas sekali berbeda dengan monotheisme. Tauhid, dalam Islam sudah satu paket dengan keharusan menjalankan seluruh perintah Islam yang konsekuensi logisnya mengakui bahwa Allahuta’ala sebagai satu-satunya Tuhan.
Sedangkan monotheisme hanya menjalankan separuh konsep Tauhid, yakni mengakui Tuhan Yang Satu. Itupun bisa kita konfrontir dengan pertanyaan: Tuhan yang mana?
Karena Yahudi sendiri mengakui Tuhan itu juga satu. Bahkan Hindu yang mengakui Dewa-dewa juga mengklaim Tuhannya satu. Akhirnya persoalan menjadi rumit ketika agama Kristen dipandang dalam perspektif Pancasila. Kristen sebagai agama terbesar kedua, mengakui Tuhan itu tiga bukan satu.
Kalau mau konsekuen seharusnya agama Kristen dilarang di Indonesia. Dalam Islam, nama Tuhan jelas disebut dengan Allah, bukan Yahweh, Yesus, atau Sang Hyang Widi. Ini sudah dijelaskan dalam surat Al Ikhlas, "Katakanlah: Dia-lah Allah, Yang Maha Esa," (Q.S. Al-Ikhlas : 1).
Mengapa persoalan ini masih terjadi? Disinilah kekacauan Pancasila. Kisahnya yang mengkolaborasikan agama dengan nilai dunia menimbulkan confused. Pancasila bukanlah idelogi yang netral dan tergantung siapa yang membawanya. Karena kalau dia bebas nilai, dia tidak disebut ideologi. Tapi hal ini jelas, bahwa Pancasila adalah filsafah atau tata nilai yang memiliki visi, yakni visi kebangsaan.
Kasus Pancasila menjadi sama dengan di Perancis. Ayang Atriza, dalam tulisannya "Mencari Model Kerukunan Umat Beragama", menyatakan bahwa Laicité atau sekularisme ala Perancis pun menjadi salah satu konsep ideal untuk menciptakan kerukunan beragama. Undang-Undang Laicité 1905 mengatur pemisahan negara dan agama di Perancis. Laicité lahir dari konflik berkepanjangan antara kalangan gerejawi yang ingin mempertahankan kuasa dan pengaruhnya dan kalangan nasionalis yang menolak keberadaan agama dalam ranah politik.
Laicité secara filosofis berarti negara sama sekali tidak mengakui apa pun bentuk agama dan kepercayaan. Tetapi, negara menjaga kebebasan beragama dan berpikir, karenanya negara menjaga para pemeluknya, kitab suci, dan simbol. Negara melindungi setiap pemeluk agama bukan karena nilai metafisik agama tersebut, tapi karena negara harus melindungi kebebasan beragama masing-masing orang agar hak-hak mereka tidak dilukai.
Yang menarik mungkin Ucapan KH. Firdaus AN. Menurutnya imbuhan "ke" dan "an" dalam Sila Ketuhanan Yang Maha Esa, justru berarti banyak. Ketumbuhan, banyak yang tumbuh, seperti penyakit campak atau cacar yang tumbuh di badan seseorang. Kepulauan, banyak pulau; Ketuhanan, berarti banyak Tuhan. Jadi kata Ketuhanan Yang Maha Esa adalah Contradictio in Terminis (Pertentangan dalam tubuh kata-kata itu sendiri).
Beliau kemudian mendelegasikan bahwa mustahil banyak Tuhan kemudian disebut yang maha esa. Dalam bahasa Arab, itu disebut “Tanaqudh” (pertentangan awal dan akhir). Logika ini jelas tidak sehat, bertentangan dengan kaidah ilmu bahasa.
“Jelaslah, kata Ketuhanan itu syirik. Dan kalau yang dituju itu memang Tauhid, maka rumusannya yang tepat adalah Pengabdian kepada Tuhan Allah Yang Maha Esa. Padahal Presiden Soeharto sendiri menegaskan: Jangan masukkan nilai dari paham lain (Islam, Pen.) ke dalam Pancasila.” ungkap beliau. Allahua’lam. (pz)