Mungkin ini terdengar janggal dan aneh. Namun bukan menjadi sesuatu hal yang ganjil jika kita flash back pada saat Sekolah Dasar dimana Pelajaran Pendidikan Moral Pancasila kerap sekali mempropagandakan simbol-simbol Hindu dan Budha seperti Bhineka Tunggal Ika.
Mohammad Yamin, perumus Pancasila sekaligus penulis novel Gadjah Mada, sendiri mengakui bahwa berdirinya bangsa Indonesia tidak bisa dilepaskan dari kerajaan yang sebelumnya ada, seperti Kerajaan Kutai, Kerajaan Sriwijaya dan Majapahit. Kerajaan Kutai memberikan andil terhadap nilai-nilai Pancasila seperti nilai-nilai sosial politik dalam bentuk kerajaan dan nilai Ketuhanan dalam bentuk kenduri sedekah kepada Brahmana.
Majapahit juga melahirkan beberapa empu, seperti Empu Prapanca yang menulis buku negara Kertagama yang didalamnya terdapat istilah Pancasila. Sedangkan dalam catatan lainnya, jauh sebelum Republik Indonesia dan Majapahit berdiri, Pancasila sudah dianut dan menjadi ideologi Kerajaan Maghada pada Dinasti Maurya sejak dipimpin oleh raja Ashoka (sekitar tahun 273 S M–232 SM). Raja Ashoka sendiri merupakan penganut agama Buddha yang taat.
Menurut catatan sejarah, Pancasila merupakan ajaran yang diciptakan oleh Sang Buddha Siddharta Gautama. Sebagai ajaran, Pancasila harus diamalkan oleh setiap penganut agama Buddha bahkan sampai kini. Akan tetapi, kala itu redaksi Pancasila masih dimuat dalam bahasa Pali. Berikuti isinya:
1. Pānātipātā veramani sikkhāpadam samādiyāmi
2. Adinnādānā veramani sikkhāpadam samādiyāmi
3. Kāmesu micchācāra veramani sikkhāpadam samādiyāmi
4. Musāvāda veramani sikkhāpadam samādiyāmi
5. Surā meraya majja pamādatthānā veramani sikkhāpadam samādiyāmi
Sedangkan pada agama Budha sendiri, Pancasila adalah perwujudhan Dharma, yakni suatu jalan kehidupan yang berlandaskan kebenaran dalam filsafat agama-agama yang kental muatan pluralisme. Dharma Pancasila sendiri berisi ajaran-ajaran yang mirip dengan Pancasila yang kita kenal saat ini.
1. Menghindari pembunuhan (nilai kemanusiaan) guna mencapai samadi.
2. Tidak mengambil barang yang tidak diberikan (nilai keadilan) guna mencapai samadi.
3. Tidak melakukan perbuatan asusila (berzinah, menggauli suami/istri orang lain, nilai keluarga) guna mencapai samadi.
4. Melatih diri menghindari ucapan yang tidak benar / berbohong, berdusta, fitnah, omong-kosong (nilai kejujuran) guna mencapai samadi.
5. Melatih diri menghindari segala minuman dan makanan yang dapat menyebabkan lemahnya kewaspadaan (nilai pembebasan) guna mencapai samadi.
Dengan berkembangnya ajaran Buddha, termasuk ke Nusantara. Negara kedua setelah Kerajaan Maghada yang menjadikan Pancasila sebagai dasar negaranya yaitu Kerajaan Majapahit di pulau Jawa yang berkembang hampir kesepetiga Nusantara. Kerajaan Majapahit mengakui dan mengayomi dua agama resmi Negara yaitu Buddha dan Hindu, kedua agama ini memiliki tempat peribadatan masing-masing dilingkungan Negara.
Maka terbentuklah hubungan antar pemeluk agama dibawah naungan Pancasila. Isi Pancasila yang terdapat di Kerajaan Majapahit dapat ditemukan dalam Kitab Negarakertamagama karya Empu Prapanca.
Kejayaan Majapahit berakhir dengan kalahnya Perang dengan Kerajaan Islam Malaka dan disempurnakan kekalahannya oleh Kerajaan Islam Demak dibawah pimpinan Raden Fatah. Saat itulah Kerajaan Majapahit terkubur, bukan Istananya saja bahkan Ideologi dan lambang Garuda-nya pun ikut terkubur.
Diskursus tentang lambang Garuda pun tidak jauh dari mistisisme Hindu. Ide penggunaan Burung Garuda sebagai lambang negara ini diperkenalkan oleh Sultan Hamid II dari Pontianak yang meminjam lambang kerajaan Sintang, sebuah kerajaan Hindu yang didirikan seorang Tokoh Hindu dari Semenanjung Melaka Bernama Aji Melayu di Kalimantan Barat zaman dulu.
Dikisahkannya, dalam rangka mencari ide untuk membuat lambang Negara, mulanya Sultan Hamid mengunjungi Sintang, kemudian beliau bertolak ke Putus Sibau. Sepulang dari Putus Sibau, ia kembali Singgah di kerajaan Sintang, dan tertarik pada patung Burung Garuda yang menghiasi Gantungan Gong yang dibawa Patih Lohgender dari Majapahit.
Patung Burung Garuda sendiri, ketika itu sudah menjadi lambang kerajaan Sintang. Sebelumnya, di Putus Sibau, pihak swa praja disana mengusulkan kepada Sultan Hamid untuk menggunakan lambang burung Enggang. Namun ia tak langsung mengakomodir usul tersebut. Karena ia lebih tertarik pada lambang Burung Garuda yang menjadi lambang kerajaan Sintang. Sultan Hamid pun berinisiatif meminjam lambang kerajaan Sintang untuk menjadi lambang Negara Indonesia.
Sultan Hamid II tidak lain adalah seorang pengikut Freemason dan Theosofi. Ia mewarisi darah masonik dari garis Abdul Rachman, Sultan Pontianak yang terdaftar dalam Freemason di Surabaya pada 1944. Jenjang pendidikan Sultan Hamid II adalah sekolah dasar Belanda, bahkan termasuk salah seorang Indonesia yang disekolahkan di sekolah militer Belanda di Breda.
Pada masa kemerdekaan, Sultan Hamid II diangkat Soekarno menjadi Menteri Negara Zonder Porto Folio. Ketika Soekarno membentuk Panitia Lencana Negara pada 10 Januari 1950, dia ditunjuk sebagai kordinatornya. Lambang negara hasil buatan panitia ini, lambang garuda, diperkenalkan Soekarno kepada seluruh masyarakat Indonesia pada 15 Februari 1950.
Tak terkecuali juga dengan Mohammad Yamin yang merumuskan Pancasila sebelum Soekarno. Dalam buku “Jejak Freemason & Zionis di Indonesia”, Herry Nurdi bahkan mengendus kalau Mohammad Yamin adalah seorang Masonik karena dia anggota senior Jong Sumatrenan Bond atau Ikatan Pemuda Sumatera, organisasi yang didirikan di kawasan Weltervreden yang sekarang bernama Gambir.
Organisasi ini berdiri karena difasilitasi Perhimpunan Theosofi atau Theosofische Vereniging. Bukti bahwa organisasi ini terkait dengan Freemasonry dapat diendus dari monumen yang dibangun organisasi ini di lapangan Segitiga Michiels, persis di depan Oranje Hotel yang kini bernama Hotel Muara, pada 6 Juli 1919.
Monumen yang rampung pada 1920 itu berbentuk obelisk dengan paramida pada puncaknya, serta bola dunia bertengger di atas puncak itu. Obelisk, piramida, dan bola dunia adalah simbol-simbol agung Freemasonry. Herry Nurdi menulis, dari organisasi inilah Mohammad Yamin kemudian terjun ke percaturan politik Tanah Air, dan menjadi salah satu dari tiga tokoh yang membuat lambang negara Indonesia, burung garuda.
Dengan segenap fakta-fakta ini, sudah seharusnya umat muslim berfikir untuk kembali ke ajaran agamanya, yakni Islam. Sejarah Pancasila yang dipopulerkan bangsa ini melalui Pendidikan Pancasila hanyalah jalan memuluskan kebathilan.
Banyak fakta lain yang sebenarnya masih banyak terkubur tentang kaitan Pancasila, Pendidikan Pancasila dan Freemason. Sudah selayaknya Umat Muslim waspada dan berfikir ulang mencari persamaan antara Pancasila dengan Islam, karena dengan berbagati data yang ada, Pancasila lebih dekat dengan Freemason dan berbagai ajaran agama bathil lainnya. Inilah ideology yang kita bangga-banggakan itu. Allahua’lam. (pz/habis)