Ada fenomena menarik di kalangan umat Islam mengenai respon mereka terhadap Pancasila. Umat Islam setidaknya terbelah dalam dua kelompok, pertama mereka yang dengan tegas menolak Pancasila, karena itu berlawanan dengan semangat tauhid dan akidah.
Sebagian Umat Islam pada kelompok ini, sudah secara baik menganggap bahwa Islam tidak bisa dipadukan sama sekali dengan Pancasila. Sebab Pancasila adalah hasil dari konsensus manusia dan tidak merepresentasikan penghambaan total kepada Allah semata. Selanjutnya, pada perkembangannya, Pancasila pun dipakai sebagai ideologi yang dipakai untuk mengukuhkan sistem demokrasi dimana suara rakyat adalah otoritas tertinggi dalam bernegara.
Sebaliknya, Kelompok kedua yang diwakili sebagian cendekiawan Islam, melihat Pancasila masih bisa dinego untuk disetel dengan gaya Islami. Alasan mereka biasanya menampilkan fakta bahwa Pancasila telah mengalami distorsi penafsiran. Pancasila yang pada awalnya menjadi itikad kalangan Islamis memasukkan sendi Syariat Islam, kemudian berubah 180 derajat hingga menyeret ideologi negara itu sebagai representasi diterimanya multikulturalisme dan pluralisme agama di Indonesia.
Namun ternyata perdebatan “salah tafsir” tidak hanya menjadi domain kalangan kelompok Islam, namun juga di kalangan pengusung Pluralisme agama itu sendiri, yang notabene sangat berkepentingan dengan tafsir multikultural Pancasila.
Pancasila Dan Sengketa Antara Sesama Pengusung Pluralisme Agama
Pluralisme agama memang adalah alat ampuh yang dipakai freemasonry dalam menghancurkan Islam. Keganasan pluralisme agama tidak saja bertugas merusak Islam dari akarnya, yaitu tauhid, namun juga menyempal dengan ideologi lain seakan-akan ideologi itu terlihat Islami.
Sebagai ideologi yang menampung semangat kebhinekaan, Pancasila merupakan momentum bagi propaganda pluralisme, multikuturalisme, dan inklusifisme yang memang nyaring disuarakan oleh antek-antek freemason.
Menariknya, Sila Ketuhanan Yang Maha Esa yang biasa menjadi titik kulminasi aspirasi umat Islam, juga dipakai oleh mereka untuk mengatur posisi duduk agama-agama di Indonesia secara jernih. Mengapa? Karena oleh mereka, sila pertama tidak eksplisit menyinggung Islam.
Sebaliknya Sila Ketuhanan bagi pengusung Freemason adalah bukti bahwa klaim ketuhanan bukan saja diikat oleh agama Islam an sich. Namun juga agama-agama lain seperti Kristen, Hindu, Budha, Konghucu, bahkan Yahudi. Agama-agama ini, menurut mereka, toh juga memiliki legitimasi bak Islam untuk mengatakan Sila Ketuhanan sebagai bagian dari spirit mereka.
Logika seperti ini lah yang pernah dipakai para pengusung Hari Jadi Zionis Israel tempo lalu. Maka itu salah satu seremoni yang dilakukan dalam prosesi HUT Negara laknatullah itu terselip agenda pembacaan Pancasila.
Tidak hanya itu, dengan memakai argumentasi Pancasila, Ruhut Sitompul pun menyatakan bahwa perayaan HUT Israel menjadi sah di Indonesia. "Saya mendukung perayaan itu, karena kita negara pancasila. Boleh dong komunitas Yahudi merayakan negara dimana ada hubungan darah,"
Ia membandingkan dengan kondisi masyarakat Indonesia yang setiap tahun merayakan kemerdekaan. Meskipun pada kenyataan menurutnya masyarakat dari berbagai etnis.
"Kita setiap tahun merayakan kemerdekaan padahal kita tidak pernah mengakui satu etnis,"
Akan tetapi, berlawanan akan hal itu, thesis terhadap konsep instrument pluralisme agama dalam Pancasila juga dilakukan oleh Luthfi Asy Syaukanie dalam perspektif berbeda sekalipun memiliki misi sama. Jika sebagian kelompok pragmatis, memakai Sila Ketuhanan untuk melegitimasi pluralisme agama, Luthfi menolak sila pertama justru dengan alasan memasung kebebasan beragama.
Dalam diskusi di Jaringan Islam Liberal, tanggal 25 Mei 2011 yang mengambil tema “Indonesia dan Doktrin Pancasila", doktor lulusan Australia itu, melihat bahwa sila pertama bisa menjadi sangat bias monoteisme.
Dengan ideologi yang bias monoteis tersebut, Luthfi menyangsikan apakah Budha dan Hindu misalnya, bisa diterima “secara ikhlas” di negeri ini. Belum lagi fenomena ateisme dan agnostisisme yang belakangan fenomenanya muncul kepermukaan (terkait niat asosiasi kelompok ateisme indonesia yang berniat menyusun buku bertajuk: Apakah Ateisme Dapat Hidup di Indonesia?).
Akhirnya, dengan konstitusi yang bias monoteis itu, Luthfi menyangsikan apakah ateisme itu juga punya prospek legal di Indonesia. Dengan tafsir yang berbeda, seperti pemahaman Buya Syafi’i Ma’arif misalnya, sila pertama memang bisa membuka ruang untuk ateisme.
Melihat dua perbedaan antara yang satu dan yang lain sekalipun mengangkat misi nyaris sama, kalau tidak mau dibilang mirip sama sekali, artinya apa? Bahwa ternyata jangankan kalangan Islamis, kalangan liberal sendiri pun melihat Sila Pertama juga sangat multi tafsir.
Pada momen inilah mereka banyak mengguggat sila pertama dan memainkan ruh Pancasila itu sendiri sebagai muara dari kebhinekaan bangsa Indonesia. Karena sejatinya, meminjam bahasa Yudi Latif yang juga menjadi pembicara saat Diksusi JIL tersebut, Pancasila adalah hasil dari perdamaian antara persengkataan kalangan Nasionalis Sekuler dengan Nasionalis Islamis.
Mana Yang Lebih Berdampak?: Salah Tafsir Pancasila Atau Salah Tafsir Tauhid
Maka itu perdebatan tentang definisi pancasila memang rasanya sudah menjadi sunatullah untuk multi tafsir. Hal ini minimal didasarkan kepada dua hal, pertama memang pancasila itu juga sangat multi tafsir di masing-masing silanya seperti Ketuhanan, Persatuan, Kebijaksanaan, Perwakilan, dan sebagainya. Kedua, tidak bisa kita pungkiri lahirnya perdebatan tafsir Pancasila hanyalah ekses dari sebuah konstitusi yang dibuat oleh tangan manusia yang sangat terbatas pengetahuannya dengan mengenyampingkan Allah sebagai otoritas tertinggi pembuat hukum.
"Dan tidaklah patut bagi laki-laki yang mu’min dan tidak (pula) bagi perempuan yang mu’min, apabila Allah dan Rasul-Nya telah menetapkan suatu ketetapan, akan ada bagi mereka pilihan (yang lain) tentang urusan mereka. Dan barangsiapa mendurhakai Allah dan Rasul-Nya maka sungguhlah dia telah sesat, sesat yang nyata."(QS Al-Ahzab ayat 36)
”Sesungguhnya Kami telah mengemukakan amanat kepada langit, bumi dan gunung-gunung, maka semuanya enggan untuk memikul amanat itu dan mereka khawatir akan mengkhianatinya, dan dipikullah amanat itu oleh manusia. Sesungguhnya manusia itu amat zalim dan amat bodoh.” (QS Al-Ahzab ayat 72)
Karena sebagai ideologi buatan manusia, maka sejatinya perbincangan mengenai Pancasila tidak akan pernah usai selama tanggal 1 Juni masih ada dan dirayakan sebagai hari lahir Pancasila.
Oleh karena itu, kadang-kadang kita harus berfikir jernih bahwa sebenarnya ada hal yang lebih utama lagi ketimbang kita berkutat pada diskusi mengenai tafsir Pancasila, yakni mengkaji kesalahan masyarakat dalam menafsirkan kata tauhid, iman, thaghut, haram, halal, musyrik, kafir, dan lain sebagainya. Diskusi Pancasila hanya akan berekses pada logika hukum yang sama sekali tidak membawa manfaat banyak kepada Islam, mengingat Pancasila hanya hidup dalam semangat konstitusi dan perundang-undangan dunia, sedangkan kesalahan dalam menafsirkan tauhid dalam Islam, memiliki efek tidak hanya di dunia tapi akhirat.
“Janganlah kamu sembah di samping (menyembah) Allah ta’aala, tuhan apapun yang lain. Tidak ada Tuhan (yang berhak disembah) melainkan Dia. Tiap-tiap sesuatu pasti binasa, kecuali Allah ta’aala. BagiNyalah segala penentuan(hukum), dan hanya kepada-Nyalah kamu dikembalikan.” (QS Al-Qashash ayat 88)
Kesalahan definisi dalam Islam, baik dari segi terminologi maupun konsepnya, pernah disinggung oleh Abu Ala Al Maududi. Menurut Al Maududi, salah satu yang menyebabkan distorsi masyarakat dalam meresapi definisi istilah Islam, salah satunya didasari kepada faktor bahasa dimana banyak negeri muslim tidak menerapkan Bahasa Arab beserta kaedah-kaedahnya.
Saat ini umat Islam mengalami kesalahan tafsir terhadap agamanya dalam jurang yang cukup parah. Kerap kita dapati sebagian umat Islam yang memang mengaku bertauhid, mengatakan Tuhan itu satu, tapi di sisi lain ia masih mengakui tuhan-tuhan yang lain, yakni penyembahan mutlak terhadap sistem buatan manusia, seperti demokrasi. Padahal perkara hukum ini bukanlah hal yang sepele.
Syekh Muhammad Ibnu Abdul Wahab dalam menjelaskan perkara Nawaqidhul Iman, sampai menjatuhkan vonis kafir bagi mereka yang meyakini ada hukum manusia lebih tinggi daripada hukum Allah.
Kita juga harus sadar bahwa dalam kalimat lailahaillallah, mengandung dua konsep sekaligus yakni al Wala’ wal Bara’. Yakni ber-wala’ kepada Allah dan bara’ terhadap Tuhan-tuhan yang lain. Inilah yang jarang dikaji oleh kalangan yang menerima Pancasila hanya karena Pancasila telah salah tafsir dan mengalami distorsi sejarah. Ketika kita berbicara kepada konsep Tauhid, kita tidak lagi bicara histroris, tapi meletakkan Pancasila dalam basis kajian yang lebih mendalam lagi secara ukhrawi, yakni Tauhid dalam Islam.
Ekses daripada kesalahan tafsir tentang makna tauhid dalam Islam, dampaknya akan lebih dahsyat ketimbang kesalahan dalam menafsirkan Pancasila. Dalam tauhid kita sudah bicara halal-haram, mukmin-musyrik, juga surga-neraka. Ketika tafsir ini masih belum usai, amat wajar ada sekumpulan masyarakat muslim yang saat ini mengaku beriman tapi korupsi, yang mengatakan Islam adalah harga mati, tapi masih menganggap Demokrasi lebih tinggi dari seruan Nabi. Tidak hanya itu, ada yang tahu kezhaliman itu thaghut, namun demi koalisi dan kursi, kata thaghut itu masih bisa ditarik kembali.
Dan sungguh kita patut khawatir inilah yang sesungguhnya diingginkan musuh-musuh Allah yang salah satunya diwakili oleh Kaum Freemason, Illuminati, Zionis, atau apapun itu namanya, dimana kita lebih sering berdiskusi tentang perkara dunia, ketimbang logika akhirat.
“Apakah hukum jahiliyah yang mereka kehendaki? Hukum mana yang lebih baik daripada hukum Allah?” (Al Maidah: 50). Allahua’lam. (pz/bersambung)