Sedangkan rakyat jelata hanya berharap bisa hidup tenang dan dapat melaksanakan ibadah sucinya yang dilindungi dan dibimbing oleh negara. Namun pada kenyataannya yang terjadi adalah pembangunan yang bukan berbasis pada kepentingan rakyat namun berbasis pada kepentingan perolehan suara kembali di periode lima tahun berikutnya.
Maka ketika Negara tak mampu hadir sebagai pembimbing bagi jutaan nasib rakyatnya sendiri, secara otomatis rakyat dipaksa untuk menentukan nasibnya sendiri. Dan sayangnya, inilah fenomena yang terjadi hari ini.
Bila dalam kisah Ashabul Kahfi terdahulu rakyat dipaksakan secara konvensional melalui kekuatan militer langsung yang memaksa dengan senjata dan mengancam orang yang tak menurutinya akan dihukum mati, seperti yang telah di alami oleh sejumlah pemuda yang melarikan diri dari ancaman tersebut dan akhirnya diselamatkan oleh Allah SWT dengan tertidur di dalam gua selama 300 tahun lebih 9 tahun.
Tetapi kita hari ini kita bukan diancam secara langsung melainkan kita disuguhi berita berisi “agenda propaganda” target hasil kerja lima tahunan yang di beritakan secara sistemik dalam kehidupan sehari-hari.
Metode dan teknik memanipulasi kebohongan secara sistemik melalui teknik propaganda pun hari ini juga telah dikuasai, sehingga bila kita kurang jeli memahami hal ini maka kita akan mudah terjebak oleh agenda propaganda yang menyesatkan.
Oleh karena itu kita harus belajar sendiri agar kita mampu mendefinisikan dengan jelas mana yang baik buat diri kita dan mana yang buruk bagi diri kita sendiri tanpa adanya bimbingan dan arahan dari pemerintah. Dari mulai urusan pendidikan, kesehatan hingga urusan ekonomi yang kian menghimpit kehidupan.
Siapapun penguasanya akan selalu disibukan dengan agenda meraih suara kembali untuk periode lima tahunan dengan cara menjejalkan “kebaikan” versi propaganda demi meraih kembali dukungan suara mayoritas dalam pemilu, sehingga mau tidak mau rakyat jelata harus mampu menentukan nasibnya sendiri hanya untuk sesuap nasi.