Kisah yang diabadikan dalam Al Qur’an yang menyimpan banyak pelajaran berharga ini mengingatkan para penguasa bahwa Idealnya Negara bukan hadir sebagai penguasa yang kejam dan dzalim bagi rakyatnya sebagai mana pemerintahan Raja Diqyanus tersebut.
Sebuah bangsa akan mengalami puncak peradaban tertinggi manakala Negara hadir sebagai pembimbing dan penasehat bagi rakyatnya sendiri, bukan hanya sebatas memenuhi kebutuhan materi sang rakyat belaka. Karena dari sanalah muara ketenteraman dan kenyamanan rakyat itu hadir.
Rakyat jelata hanya ingin hidup tenang dapat melaksanakan ibadah sucinya yang dilindungi oleh negara. Namun ketika Negara tak mampu membimbing nasib rakyatnya sendiri, maka secara otomatis rakyat dipaksa untuk menentukan nasibnya sendiri. Disinilah letak geopolitik itu hadir.
Menurut Ratzel, geopolitik itu ilmu negara (science of the state). Mengutip istilah M Pranoto (pengamat geopolitik) Pembangunan merupakan program negara dan pemerintah, namun ketika pembangunan itu diselenggarakan dengan bermodus gusur sana – gusur sini tanpa melihat faktor geopolitik, maka hal ini justru kontra produktif dengan kepentingan rakyat itu sendiri, alias keluar dari pakem geopolitik, bahkan menjauh dari kepentingan dan cita-cita rakyat. Apalagi demi dan atau berdalih pembangunan sampai menjual aset-aset negara ke swasta asing. Ini sungguh rancu (M Arif Pranoto)
Akibat dari pembangunan yang tidak berbasis geopolitik, justru hanya akan mendudukkan rakyatnya menjadi tamu di negerinya sendiri. Absentee of Lord. Tuan tanah yang tidak berpijak diatas tanahnya sendiri. Tanah air, tetapi airnya harus beli dan tanahnya dimiliki orang lain.
Hari ini telah terjadi dua kutub kepentingan yang berlawanan arah antara penguasa dan rakyatnya sendiri. Para penguasa sibuk dengan agenda lima tahunan yang memaksa mereka harus melancarkan propaganda bahwa mereka telah berbuat yang terbaik versi penguasa.