Walau ditekan dan ditindas penguasa sekuler Turki yang didukung penuh oleh angkatan bersenjatanya, Islam tidaklah lantas punah begitu saja dari negeri ini. Dalam kondisi seperti ini, seperti juga di banyak negeri lainnya, di Turki bermunculan aliran-aliran sufiisme dan tarekat yang berfungsi sebagai eskapisme dari aktivitas religius yang tidak menemukan salurannya. Aliran sufi dan tarekat Nusairiyah dianggap kelompok yang paling banyak pengikutnya. Bahkan di beberapa pelosok Turki, banyak warganya masih mengenakan identitas keIslaman seperti jilbab bagi perempuan dewasanya.
Penindasan terhadap Islam dan pemaksaan sistem hidup sekularisme ternyata juga tidak mampu membunuh kekuatan aktivitas politik Islam. Mereka memainkan strategi amat sangat cantik guna mengembalikan negeri ini kepada nilai-nilai Islam seperti halnya saat masa kegemilangan kekhalifahan Turki Utsmaniyah sebelum Yahudi dari Dumamah, si Mustafa Kemal, yang didukung oleh kekuatan jaringan Zionisme Internasional mengacak-acak dan menghancurkannya.
Harakah Islam di Turki berusaha kuat dan juga tentunya secara diam-diam menyebarkan dakwahnya dari satu Muslim ke Muslim lainnya. Mereka menggunakan taktik penyebarluasan dakwah Islam dari bawah ke atas. Gerakan ini memiliki logika sederhana bahwa jika sudah banyak rakyat Tuki yang terbina dengan baik, maka dengan sendirinya cahaya Islam pun akan kembali menerangi negeri ini, tanpa perlu bekerjasama dengan kubu-kubu musuh Allah terkecuali dalam keadaan yang kuat. Karena kerjasama dengan pihak musuh hanya akan bisa efektif jika posisi kita sendiri kuat melebihi musuh kita. Bukan sebaliknya.
Proses mengembalikan nilai-nilai Islam di Turki juga dilakukan dengan intensif di sektor-sektor strategis yang berpengaruh kuat terhadap pusat kekuasaan dan pusat kebijakan. Hal ini dilakukan dengan sangat professional dan tidak terburu-buru. Mereka tidak akan pernah memasukkan orangnya ke dalam pusat-pusat pemerintahan sebelum ‘infrastrukturnya’ tercipta dengan baik.
Profesionalisme dalam dakwah benar-benar diterapkan. Bagi aktivis Islam yang bergerak di bidang perekonomian, para pengusaha, dibiarkan tumbuh dengan cepat dan besar. Para politikus Islam tidak merongrong para pengusaha dan professional Muslim dengan alasan-alasan aktivitas politik butuh dana untuk ini dan itu. Para pengusaha dan professional Muslim tidak dianggap sebagai ‘dompet satu-satunya’ bagi gerakan politik Islam. Aktivitas politik Islam di Turki dilakukan secara sabar dan bertahap, bukan meloncati marhalah yang ada.
Mereka dengan serius memperkuat eksistensi dirinya terlebih dahulu, bersungguh-sungguh melakukan pembinaan terhadap obyek dakwah, mengutamakan kualitas ketimbang kuantitas. Yang tercipta tiap hari adalah kemunculan kader yang terus tumbuh dengan pesat, bukan orang-orang yang baru satu dua hari mengenal Islam lantas dikenakan kewajiban untuk juga merekrtut orang lainnya untuk mendukung kekuatan partai Islam. Mereka sadar, jika yang terakhir ini dilakukan maka ujung-ujungnya partai Islam akan kehilangan identitasnya sebagai partai dakwah, karena sudah tidak ada lagi perbedaan dengan partai-partai sekuler yang juga mengutamakan kuantitas ketimbang kualitas. Umat hanya dijadikan komoditas politik (baca: dimanfaatkan sementara waktu demi tujuan-tujuan jangka pendek), dan setelah itu ditinggalkan atau dilupakan. Ini adalah kebiasaan partai politik sekuler, dan sama sekali tidak boleh dilakukan oleh sebuah partai dakwah.
Beberapa gerakan politik Islam di Turki yang menerapkan cara ini antara lain gerakan An Nur, Refah, Fadhilah, Partai Keadilan dan Pembangunan, dan sebagainya. Kader-kader mereka antara lain adalah Necmetin Erbakan yang memimpin Partai Refah, sampai dengan Tayyip Erdogan, murid dari Erbakan, yang berjuang lewat Partai Keadilan dan Pembangunan (AKP). Mereka tidak secara terang-terangan memusuhi pilar-pilar sekularisme, namun mereka juga tidak larut dalam aras utama politik sekularisme Turki, apalagi menggandeng kubu-kubu sekularis menjadi mitranya jika secara internal sendiri mereka lemah.
Selain kelompok-kelompok politik Islam di atas, ternyata di Turki juga menyimpan gerakan-gerakan Islam radikal yang bersikeras politik Islam harus dimunculkan dari atas ke bawah. Mereka ini diwakili oleh gerakan IBDA-C dan Hizbullah Turki. Mereka dengan tegas menyatakan akan mendirikan negara Islam Turki dengan segala cara, seperti revolusi dan gerakan-gerakan lainnya yang terinspirasi oleh revolusi Islam Iran yang dimotori Khomeini di tahun 1979.
Sejarah politik di Turki telah menunjukkan kepada kita bahwa rakyat akhirnya lebih memilih kekuatan politik Islam yang bersikap non-konfrontatif namun tetap lekat dengan nilai-nilai Islamnya. Racep Thayib Erdogan dengan AKP-nya yang simpatik berhasil mengantungi suara terbanyak di parlemen. Sejumlah langkah yang membuat kekuatan politik Islam ini bisa diterima oleh mayoritas rakyat Turki adalah sebagai berikut:
Pertama, dalam membangun kekuatan ‘Islam politiknya’, mereka terlebih dahulu melakukan pembinaan dan kaderisasi yang sungguh-sungguh. Mereka mengutamakan kualitas ketimbang kuantitas dan membuang sikap tergesa-gesa apalagi ‘pengkarbitan’ kader. Dakwah ini mengalami perluasan yang luar biasa karena para kadernya memperlihatkan diri sebagai seorang Muslim yang baik, yang cerdas, sholih, profesional, namun tetap dekat dengan rakyat dengan menjalani hidup dengan penuh kesederhanaan dan memiliki empati atau kepedulian sosial yang sangat tinggi, tidak sebatas jargon politis atau seruan dari atas mimbar-mimbar.
Mereka memperlihatkan satu kata dengan perbuatan kepada rakyat Turki. Mereka mengatakan hidup sederhana, ya mereka melakukan hal itu dalam kehidupan kesehariannya. Mereka mengatakan sebagai kelompok yang memiliki kepedulian sosial tinggi, ya mereka banyak mendirikan lembaga-lembaga sosial yang benar-benar bermanfaat pada rakyat banyak dalam jangka waktu yang lama dan bukan sebatas aksi-aksi politis yang bersifat sementara. Hal inilah yang menumbuhkan simpati rakyat kepada mereka, karena rakyat melihat mereka benar-benar beda, tidak sama dengan para politikus dari kubu sekularis.
Kedua, mereka mengutamakan profesionalitas dakwah. Mereka mempersilakan para kadernya memilih jalan dakwah di dunianya masing-masing. Yang politikus ya di jalan politik, yang pengusaha ya di bidang ekonomi, yang memiliki keahlian di bidang seni budaya ya di bidang tersebut. Antara satu bidang dengan bidang lainnya saling bekerjasama, namun tidak pernah mesin politik Islam mereka ‘menodong’ kader mereka yang bergerak di bidang ekonomi untuk membiayai pergerakan mereka dengan suatu kewajiban yang memberatkan si kader pengusaha tersebut. Mesin politik mereka digerakkan oleh keikhlasan dan asas profesionalitas, bukan dengan todong sana-sini apalagi bekerjasama dengan kubu-kubu lawan yang lebih kuat yang dalam ideologi tidak sejalan dengan dakwah Islam.
Sikap todong sana-sini untuk bisa menggerakkan mesin politik sesungguhnya menunjukkan jika mesin politik tersebut belum pada waktunya untuk bisa berjalan dan menunjukkan sikap terburu-buru yang sesungguhnya tidak perlu dilakukan. Dakwah Islam harus dilakukan secara bertahap, dari marhalah ke marhalah, bukan dengan main lompat tali.
Hal-hal lainnya sungguh banyak. Namun secara garis besar bisa dikatakan, kekuatan politik Islam di Turki ini telah menunjukkan pembelajaran sangat berarti bagi saudara-saudaranya di seluruh dunia jika politik Islam memang harus dilakukan secara benar dan bersungguh-sungguh. Mereka memperjuangkan nilai-nilai Islam, tidak saja di mulut namun menunjukkannya kepada rakyat Turki bahwa mereka dan keluarga-keluarga mereka memang hidup meneladani RAsulullah SAW dan para sahabat serta para tabiin.
Kemenangan partai Islam di Turki merupakan kemenangan sebuah keteladanan yang telah berjalan lama dan panjang, bukan kemenangan semu yang hanya dicapai dengan memanfaatkan sentimen keIslaman rakyat Turki yang memang hampir seratus persen memeluk agama Islam. Keteladanan para qiyadah bersama dengan keluarganya dalam menjalani hidup di tengah rakyat Turki, di tengah para tetangganya, adalah kata kuncinya, bukan yang lain.(rz/tamat)