Bulan Agustus untuk Abu Bakar Ba’asyir dan keluarga, semestinya menjadi bulan yang begitu bersejarah. Pasalnya, pada tanggal 17 Agustus nanti, usianya genap menjadi 72 tahun. Putera Abu Bakar Abud ini tercatat memang lahir pada tanggal 17 Agustus 1938 di Jombang, Jawa Timur.
Namun, justru di bulan Agustuslah, Pimpinan Pondok Pesantren Al-Mukmin Ngruki yang biasa dipanggil Ustadz Abu mengalami perlakuan yang kurang manusiawi dari pihak kepolisian. Dalam perjalanan pulang seusai mengisi ceramah di sebuah masjid di sekitar Bandung, Ustadz Abu dan rombongan termasuk isterinya dicegat dan ditangkap Densus 88. Tidak tanggung-tanggung, tuduhan yang dialamatkan ke pimpinan Anshorut Tauhid ini adalah otak dan donatur terorisme di Indonesia.
”Beliau bukan DPO atas kasus apa pun. Kenapa ditangkap di tengah jalan, bukan di rumah dengan cara yang lebih berakhlak,” ujar Abdurrahim, ketua bidang dakwah Anshorut Tauhid yang juga putera Ustadz Abu.
Soal berurusan dengan pihak aparat dalam kaitannya dengan aktivitas keislaman beliau, penangkapan di Ciamis memang bukan hal baru. Bisa dibilang, mantan Ketua Majelis Mujahidin Indonesia, Ketua Lembaga Dakwah Mahasiswa Islam, Ketua Gerakan Pemuda Islam Indonesia ini pernah mengalami sejumlah drama penangkapan.
Sekitar sepuluh tahun setelah mendirikan Pondok Pesantren Al-Mukmin Ngruki bersama Abdullah Sungkar, Yoyo Roswadi, Abdul Qohar H. Daeng Matase dan Abdllah Baraja, pada tahun 1983, Ustadz Abu dan Abdullah Sungkar pernah ditangkap rezim Orde Baru dengan tuduhan menolak Azaz Tunggal Pancasila. Waktu itu, Amerika memang belum mengkampanyekan perang melawan terorisme Islam. Di pengadilan, keduanya divonis penjara 9 tahun.
Pada Februari 1985, ketika keduanya menjalani tahanan rumah, Ustadz Abu dan Abdullah Sungkar ’hijrah’ ke Malaysia melalui jalur darat lewat Sumatera Utara. Sekitar 14 tahun, Ustadz yang juga alumni pondok Pesantren Gontor ini tinggal di Malaysia. Selama belasan tahun itu, Ustadz Abu tidak diam menikmati kenyamanan di negeri orang. Justru, ketika di Malaysia itulah, mantan aktivis HMI ini melakukan dakwah Islam di sekitar Malaysia dan Singapura. Sejumlah majelis taklim terbentuk karena upaya dakwah Abu Bakar Ba’asyir.
Di satu sisi, kiprah dakwah di Malaysia menjadi peningkatan tersendiri buat Abu Bakar Ba’asyir. Tapi di sisi lain, musuh yang akan dihadapi bukan lagi Soeharto dan rezim Orbanya, melainkan negara haus kekuasaan yang bernama Amerika. Mungkin, tanpa disadari Ustadz Abu, skenario besar sedang dirancang untuk menjeratnya di kasus yang tidak lagi selevel Azaz Tunggal Pancasila.
Beberapa bulan sekembalinya dari Malaysia, Abu Bakar Ba’asyir terpilih menjadi Amir Majelis Mujahidin Indonesia atau MMI. Di antara pendiri MMI ini adalah Irfan Suryahardi, Deliar Noer, Syahirul Alim, Mursalin Dahlan, dan Mawardi Noor. Tidak sedikit pun tercermin dalam aturan MMI yang membenarkan melakukan tindakan terorisme. Pada Kongres I MMI di Yogya, terlihat bahwa MMI ingin melakukan kiprah dakwah secara konstitusional bersama dengan seluruh elemen dakwah yang ada di Indonesia.
Upaya-upaya yang ditempuh oleh Majelis Mujahidin ini akan senantiasa di dalam koridor konstitusi negara Republik Indonesia. Sebagaimana yang dikatakan oleh Sobarin Syakur, Sekretaris Lajnah Tanfidziyah, “Majelis Mujahidin akan terus menda’wahkan dan memperjuangkan cita-cita menegakkan syari’at Islam dengan cara yang konstitusional”. Masih dalam kaitan ini, bahkan di dalam kongres Mujahidin II di Donohudan ditegaskan bahwa Mujahidin menolak aksi terorisme yang bertentangan dengan syari’at, baik yang dilakukan oleh individu maupun kelompok.
Menariknya, MMI menerapkan sebuah format keanggotaan yang bisa dimasuki oleh lintas gerakan Islam manapun dan bersifat internasional. Padahal, syarat dan seleksi keanggotaan belum cukup memadai untuk memfilter mana anggota yang benar-benar ingin berdakwah dan mana yang justru ingin menghancurkan MMI dari dalam.
Usai peristiwa peledakan WTC 11 September 2001, Amerika mengkampanyekan perang melawan terorisme yang dalam bahasa lain, menurut Syaikh Said Ramadhan Al-Buthy, adalah perang melawan gerakan Islam. Mulailah muncul istilah-istilah baru yang sangat asing dalam belantara sejarah gerakan Islam. Yaitu, Al-Qaedah dan Jamaah Islamiyah atau JI. Hal ini wajar, karena dua istilah itu disuarakan oleh media Amerika.
Pada awal-awal tahun 2002, pemerintah Indonesia melalui Menkumham, Yusril Ihza Mahendra, melakukan semacam klarifikasi terhadap kasus Abu Bakar Ba’asyir di masa Orba. Mulai saat itu, kasus lama Abu Bakar Ba’asyir menjadi selesai.
Sayangnya, status tidak lagi berkasus dalam masalah hukum Abu Bakar Ba’asyir tidak berlangsung lama. Pada September 2002, Majalah TIME, menulis berita dengan judul Confessions of an Al Qaeda Terrorist dimana ditulis bahwa Abu Bakar Ba’asyir disebut-sebut sebagai perencana peledakan di Mesjid Istiqlal. Time menduga Ba’asyir sebagai bagian dari jaringan terorisme internasional yang beroperasi di Indonesia. TIME mengutip dari dokumen CIA, menuliskan bahwa pemimpin spiritual Jamaah Islamiyah Abu Bakar Ba’asyir "terlibat dalam berbagai plot."
Ini menurut pengakuan Umar Al-Faruq, seorang pemuda warga Yaman berusia 31 tahun yang ditangkap di Bogor pada Juni 2002 dan dikirim ke pangkalan udara di Bagram, Afganistan, yang diduduki AS. Setelah beberapa bulan bungkam, akhirnya Al-Faruq mengeluarkan pengakuan–kepada CIA–yang mengguncang. Tak hanya mengaku sebagai operator Al-Qaeda di Asia Tenggara, dia mengaku memiliki hubungan dekat dengan Abu Bakar Ba’asyir.
Menurut berbagai laporan intelijen yang dikombinasikan dengan investigasi majalah Time, bahkan Ba’asyir adalah pemimpin spiritual kelompok Jamaah Islamiyah yang bercita-cita membentuk negara Islam di Asia Tenggara. Ba’asyir pulalah yang dituding menyuplai orang untuk mendukung gerakan Faruq. Ba’asyir disebut sebagai orang yang berada di belakang peledakan bom di Masjid Istiqlal tahun 1999. Dalam majalah edisi 23 September tersebut, Al-Farouq juga mengakui keterlibatannya sebagai otak rangkaian peledakan bom, 24 Desember 2000.
Saat itu, Abu Bakar Ba’asyir meminta pemerintah Amerika untuk mendatangkan Al-Faruq ke Indonesia untuk memberikan pernyataan seperti yang dituduhkan dalam dokumen CIA itu. Sayangnya, hingga kini, orang yang bernama Al-Faruq seperti gelap ditelan bumi.
Belum lagi usai, kasus Majalah Time, pada Oktober 2002, Bom Bali menghebohkan tanah air. Hal ini kembali menyegarkan publik soal tuduhan Majalah Time yang menyebutkan bahwa Abu Bakar Ba’asyir sebagai pimpinan JI di Asia Tenggara.
Jadilah bulan Oktober 2002 menjadi hari-hari yang begitu menyibukkan dan merepotkan Abu Bakar Ba’asyir. Pada tanggal 14 Oktober 2002, Ba’asyir mengadakan konferensi pers di Pondok Pesantren Al-Mukmin, Solo. Dalam jumpa pers itu ia mengatakan peristiwa ledakan di Bali merupakan usaha Amerika Serikat untuk membuktikan tudingannya selama ini bahwa Indonesia adalah sarang teroris.
Tiga hari setelah pernyataan Abu Bakar Ba’asyir, Markas Besar Polri telah melayangkan surat panggilan sebagai tersangka kepada Pemimpin Majelis Mujahidin Indonesia Abu Bakar Ba`asyir. Namun Ba’asyir tidak memenuhi panggilan Mabes Polri untuk memberi keterangan mengenai pencemaran nama baiknya yang dilakukan oleh majalah TIME.
Akhirnya, pada tanggal 18 Oktober 2002, Ba’asyir ditetapkan tersangka oleh Kepolisian RI menyusul pengakuan Omar Al Faruq kepada Tim Mabes Polri di Afganistan juga sebagai salah seorang tersangka pelaku pengeboman di Bali. Dan pada 3 Maret 2005, Ba’asyir dinyatakan bersalah atas konspirasi serangan bom 2002, tetapi tidak bersalah atas tuduhan terkait dengan bom 2003. Dia divonis 2,6 tahun penjara.
Kembali ke tubuh organisasi MMI. Sebuah kabar mengejutkan di tahun awal berdirinya MMI. MMI dikabarkan telah disusupi pihak intelijen nasional, dan menjadi pengurus Lajnah Tanfidziyah bidang hubungan antar Mujahid. Diketahuinya satu orang telah menyusup ke tubuh Majelis Mujahidin berkaitan dengan hilangnya “pengurus” ini tanpa sebab setelah kasus bom Bali, Oktober 2002. Setelah diusut, dicari-cari, akhirnya diketahuilah bahwa Mr. X, tersebut aslinya adalah seorang perwira militer. Namun karena majelis Mujahidin tidak pernah memiliki niat untuk melakukan bughat (memberontak) maka penyusupan itupun dianggap tidak perlu diseriusi. Karena kegiatan MMI hanya aktivitas kajian-kajian.
Benarkah JI memang ada dan menjadi bagian dari jaringan Al-Qaidah? Pengamat politik LIPI, Alfitra Salam, Phd bahkan menilai Indonesia terpengaruh istilah JI yang sesungguhnya hanya rekaan intelijen Perdana Menteri Malaysia Mahathir Muhammad. (Wawancara Alfitra Salam dengan Metro TV pada tahun 2002)
Menurut Alfitra, andaikata organisasi (JI) itu adalah organisasi yang solid, tentu kita harus mengetahui siapa yang memberi namanya, siapa pendirinya, siapa orang yang menjadi anggotanya. Saya melihat tidak jelas. Siapa yang memberikan nama itu. Sebab, di dalam wacana pers yang ada di Malaysia, yang memberi nama itu adalah koran-koran Malaysia sendiri. Dan ini sudah terkontaminasi.
Mantan Kabakin, Letjen (Purn) ZA Maulani, dalam bukunya ’Dasar-dasar Intelijen’ (2006) memaparkan bahwa adanya hubungan yang tegas terjadi operasi intelijen asing di Indonesia dalam rangka stigmatisasi negatif terhadap Islam:
Makin meningkatnya operasi intelijen asing, terutama intelijen Barat di Indonesia, terlihat dengan munculnya propaganda hitam di situs internet TIME.com edisi 17 September 2002, yang menurunkan berita menarik tentang Omar Al-Farouq, sebagai awal dari suatu operasi intelijen yang sistemik untuk mengubah Indonesia tidak lagi menjadi “Mata rantai paling lemah di Asia Pasifik dalam rangka upaya memerangi jaringan terorisme international”.
Amunisinya adalah tentang hadirnya gerakan islam fundamentalis yang digerakkan oleh suatu organisasi, Jama’ah Islamiyah, yang gerakannya oleh kaum fundamentalis muslim warga negara Indonesia untuk mendirikan “super-state” Islam di Asia Tenggara.
Tujuan akhir dari kampanye intelijen ini adalah untuk menguasai negeri dengan penduduk muslim terbesar di dunia. Kampanye anti-terorisme Amerika Serikat di Indonesia seluruhnya hanya didasarkan pada pengakuan Al-Farouq segera diikuti dengan pernyataan-pernyataan yang sifatnya menekan Indonesia dari para proxy Amerika, seperti “sheriff Amerika” John Howard dari Australia, “jurubicara” menteri senior Singapura Lee Kuan Yew, yang menuduh melalui majalah the Far Eastern Economic Review Hongkong, bahwa ada “ratusan gerakan Islam radikal di Indonesia yang berpotensi sebagai organisasi teroris.” Pernyataan Lee Kuan Yew itu menggebyah-uyah semua organisasi kemasyarakatan (ormas) Islam di Indonesia adalah organisasi teroris.
Penangkapan Abu Bakar Ba’asyir menjelang bulan suci Ramadhan tentu akan punya dampak pskologis umat Islam yang sedang gencar-gencarnya merehabilitasi moralitas bangsa dalam momentum penuh berkah ini. Dan mungkin akan punya nilai tersendri buat Ustadz Abu, di hari-hari menjelang genapnya usia beliau yang ke-72. mnh/wkpd