Ada yang luput dari perhatian media massa nasional di penghujung tahun ini. Jika bencana banjir, longsor, dan jatuhnya pesawat Airasia jadi sorotan di mana-mana, maka ‘musibah’ terbakarnya Pasar Klewer di Solo yang menghanguskan lebih dari 2.000an kios dan jumlah kerugian yang diderita para pedagang sebesar 10 triliun rupiah lebih, seolah terlewat begitu saja. Padahal Pasar Tradisional yang besar ini menjadi simbol usaha pedagang pribumi di Jawa Tengah, dengan omzet harian mencapai 17 miliar rupiah.
Sampai sekarang, pihak kepolisian masih yakin jika terbakarnya pasar ini disebabkan tegangan pendek arus listrik. Namun hal ini dianggap sangat janggal karena menurut banyak saksi mata, kebakaran besar ini diawali dengan mulai munculnya api di sejumlah titik, jadi bukan hanya satu titik.
Sejarah Pasar Klewer
Letak pasar ini ada di sisi barat Kompleks Kraton Surakarta. Pada awalnya, pasar ini hanya sebuah bangunan yang diberi sekat di mana para pedagang pribumi yang ada di dalamnya menjual kain batik. Banyak pedagang berjualan dengan cara menyampirkan kain dagangannya ke bahu, atau sekat pembatas, hingga menjuntai-juntai jika terkena angin. Orang Jawa menyebutnya ting-klewer. Itulah asal usul nama “Klewer” untuk sebutan pasar ini di kemudian harinya.
Di masa-masa kejayaannya, di era tahun 1990-an, Pasar Klewer menjadi magnet utama perekonomian di Kota Solo. Kala itu omzetnya pernah mencapai Rp 8 miliar per hari. Satu kios berukuran 4 meter persegi, ketika itu bisa laku Rp 200 juta. Bandingkan dengan harga sebuah motor bebek yang kala itu masih satu jutaan rupiah! Seiring waktu, pasar ini tidak hanya menjual batik namun juga tumbuh aktivitas ekonomi baru seperti Pasar Cenderamata dan Pasar Kacamata, dan juga para pedagang yang menjajakan aneka dagangan.
Pasar Klewer memang unik. Di sepanjang koridor sempit dalam pasar, para pembeli dan penjual melakukan tawar menawar di tempat terbuka, di antara lalu lalang orang yang berjalan dan tak jarang para pengunjung menyenggol atau menabrak pengunjung lain yang tengah menawar atau memilih barang.
Sejak dibangun tahun 1970, perkembangan pasar yang terdiri dari dua lantai ini terbilang cukup pesat hingga kemudian menjadi salah satu pasar tekstil terbesar di Indonesia, selain Tanah Abang di Jakarta. Dari data Himpunan Pedagang Pasar Klewer (HPPK) dan Dinas Pasar Klewer, pasar ini mampu menampung 1.467 pedagang dengan jumlah kios sekitar 2.064 unit.
Bukan hanya itu, selain mendukung perekonomian daerah, keterkenalan Klewer sebagai pusat perdagangan tekstil juga turut mendukung dunia pariwisata di Kota Solo. Terbukti, sampai sekarang pasar tersebut sering dijadikan alternatif untuk kunjungan para wisatawan sebagaimana Malioboro dengan Pasar Beringhardjo-nya Yogyakarta.
Simbol Usaha Pribumi
Pasar Klewer adalah salah satu simbol usaha pribumi, sebagaimana sentra batik Pekalongan yang terlebih dahulu dihabisi oleh kaum pendatang. Dan ketika pasar bersejarah ini terbakar atau menurut sejumlah pedagang sengaja dibakar, maka musnahlah simbol usaha pribumi di Jawa Tengah ini.
Dari keterangan Himpunan Pedagang Pasar Klewer (HPPK), penyebab kebakaran hebat yang meludeskan Pasar Klewer bukanlah korsleting listrik.
Menurut Humas HPPK Kusbani, instalasi listrik di Pasar Klewer termasuk masih baru, karena empat tahun lalu sudah dilakukan direnovasi dan diganti dengan kabel serta peralatan yang baru, sistenya juga sudah dipercanggih yang secara otomatis akan memadamkan aliran listrik jika tidak ada lagi aktivitas di Pasar Klewer.
”Menurut saya bukan dari instalasi listrik, karena rel listrik bisa dikontrol menggunakan handle. Kalau masalah listrik, menurut saya tidak,” ujar Kusbani. Sebab itu, HPPK mendorong agar dilakukan investigasi mendalam dan independen kepada kepolisian dan pihak terkait agar bisa mengungkap apa sesungguhnya penyebab kebakaran pasar ini.
Selain itu, Kusbani juga mengungkapkan kekecewaannya terhadap para petugas keamanan pasar yang menjaga pasar saat malam kejadian. Sebab, saat mengetahui asap di dalam pasar, mereka tidak langsung membuka pintu gerbang, sehingga proses penyelamatan dan pemadaman api terlambat. ”Harusnya kalau sudah tahu asap di dalam (pasar), ya harus segera dibuka. Tapi semalam itu enggak,” ungkap Kusbani. Yang anehnya lagi, hydrant-hydrant yang ada di dekat pasar ternyata sama sekali tidak berfungsi.
Sejak Dua Tahun Lalu Ada Ancaman Pembakaran Pasar
Himpunan Pedagang Pasar Klewer (HPPK) mencurigai adanya upaya sabotase atau kesengajaan yang dilakukan pihak-pihak tertentu yang memang menginginkan perubahan besar di Pasar Klewer. Sudah lama para pedagang di pasar ini dihantui isu akan adanya upaya pembakaran Pasar Klewer, sehingga dalam dua tahun terakhir ini mereka membentuk satuan tugas keamanan internal di antara mereka sendiri yang berjaga secara bergiliran, disamping masih ada petugas keamanan resmi Pasar Klewer sendiri.
Hal itu terjadi usai terjadinya ketegangan antara mayoritas pedagang pribumi Muslim yang tergabung dalam HPPK melawan Pemkot Solo yang didukung minoritas pedagang China non-Muslim. Para pedagang Pribumi Muslim sejak semula menolak adanya revitalisasi dan renovasi Pasar Klewer karena nantinya mereka akan diusir dengan cara-cara menaikkan harga sewa kios dan sebagainya, sedangkan Pemkot Solo, sejak Walikota dijabat Slamet Suryanto, Joko Widodo, hingga FX Hadi Rudyatmo, selalu mendesakkan adanya revitalisasi dan renovasi besar-besaran Pasar Klewer. HPPK kuatir pasca revitalisasi, Pasar Klewer akan jatuh dikuasai para pedagang China non-Muslim yang memiliki modal kuat.
Selain itu ada juga kejanggalan soal musibah ini, yaitu awal mula kebakaran terjadi bukan hanya di satu lokasi saja, tetapi api menyala di beberapa lokasi di dalam pasar.
“Kebakaran mulai terjadi pada pukul 19.30 dan saya sampai lokasi pukul 19.45. Saya lihat sendiri api menyala di beberapa tempat di sebelah barat sisi selatan yang menghadap tembok Keraton dan di sebelah barat sisi utara yang menghadap Masjid Agung. Padahal diantara kedua sumber api tersebut dipisahkan jarak kurang lebih 100 meter,” ungkap seorang sumber yang mantan anggota DPRD Solo seperti yang ditulis VOA-Islam.com.
Sebagai tokoh masyarakat Kota Solo, dirinya juga heran mengapa api yang semula dia lihat kecil tersebut tidak segera dipadamkan, padahal Pasar Klewer memiliki banyak alat pemadam kebakaran berupa tabung kecil warna merah, apalagi kedatangan mobil pemadam kebakaran juga cukup terlambat. Seandainya waktu itu alat tabung pemadan kebakaran segera diaktifkan dan mobil damkar segera datang, niscaya kebakaran bisa dilokalisir dan tidak akan meluas seperti sekarang ini.
Bagi warga Solo, Pasar Klewer yang diresmikan Presiden Suharto tahun 1971 itu identik dengan pasar tekstil milik pedagang pribumi Muslim, sementara Pasar PGS (Pusat Grosir Solo) yang letaknya hanya 400 meter di utara Pasar Klewer, identik dengan pasar tekstil milik pedagang China non-Muslim. Adakah kaitannya? Kita tunggu saja perkembangan selanjutnya. Jika para pedagang lama Pasar klewer akhirnya tidak bisa menempati kios-kios milik mereka paska renovasi setelah musibah kebakaran ini, maka jelas jika simbol usaha pribumi Muslim Solo ini memang hendak dimusnahkan. (Rizki Ridyasmara)