Eramuslim.com – Khilafah Utsmaniyah adalah kekhalifahan Turki Islam terbesar yang berkuasa di dunia Islam. Bukan hanya terbesar di kalangan Turki Islam, namun juga terbesar di seluruh kekhalifahan Islam. Khilafah Utsmaniyah memiliki kekuasaan mulai dari Turki, Asia Barat, sebagian besar Eropa Tenggara, hingga Afrika bagian utara. Selain wilayah kekuasaan yang luas, Khilafah Utsmaniyah juga merupakan khilafah yang paling lama berkuasa.
Khilafah Utsmaniyah menjadikan Bursa sebagai ibu kota pertama kali sebelum akhirnya berpindah ke Edirna (Adrianopel) setelah mendapatkan pijakan yang lebih kokoh di daratan Eropa dan berkembang menjadi kekhalifahan yang besar. Penaklukan Konstantinopel (Istanbul) pada 1453 yang dipimpin oleh Sultan Muhammad II yang bergelar Al Fatih secara formal mengantarkan Khilafah Utsmaniyah pada satu era baru.
Di masa akhir kekhalifahan, Khilafah Utsmaniyah dipimpin oleh seorang sultan ternama, Sultan Abdul Hamid II. Sultan dengan begitu banyak prestasi di antaranya meningkatkan perekonomian, memangkas korupsi, menumbuhkan Pan-Islamisme, melaksanakan proyek kereta api Hijaz, serta berhasil menepis propaganda Yahudi untuk menguasai Palestina melalui Theodor Herzl.
Pan-Islamisme
Pan-Islamisme adalah sebuah gerakan untuk menyatukan kaum muslimin di seluruh dunia. Pan-Islamisme tidak muncul dalam dunia politik kecuali di masa pemerintahan Sultan Abdul Hamid II atau lebih tepatnya ketika Sultan Abdul Hamid naik ke singgasana Khalifah Utsmaniyah pada 1876 M. Tatkala “nafas” Sultan Abdul Hamid II telah pulih dari upaya menyingkirkan orang-orang yang terpengaruh pemikiran barat dari lingkungan kekuasaannya, Sultan Abdul Hamid II mulai memikirkan tentang Pan-Islamisme.
Pada buku catatan pribadi, Sultan Abdul Hamid II menyebutkan tentang pentingnya melakukan gerakan menanamkan kembali nilai ukhuwah islamiyah di antara kaum muslimin dunia, baik Cina, India, Arab, Afrika, dan tempat-tempat lain. Sultan Abdul Hamid II menegaskan keyakinannya tentang kemungkinan lahirnya kesatuan dunia Islam ketika mengatakan, “Kita wajib menguatkan ikatan kita dengan kaum muslimin di belahan bumi lain. Kita wajib saling mendekat dan merapat dalam intensitas yang sangat kuat. Sebab tidak ada harapan lagi di masa depan kecuali dengan kesatuan ini. Memang waktunya belum datang, namun dia akan datang. Akan datang suatu hari di mana kaum muslimin akan bersatu dan mereka akan bersama-sama dalam satu kebangkitan yang serentak. Akan ada seorang yang memimpin umat ini dan mereka akan menghancurkan kekuatan orang-orang kafir.”
Pan-Islamisme tidak bisa kita lepaskan antara Sultan Abdul Hamid II dengan Jamaluddin al-Afghani. Jamaluddin al-Afghani sangat mendukung ide dan seruan Sultan Abdul Hamid II tentang Pan-Islamisme. Jamaluddin Al Afghani pernah berpendapat tentang Sultan Abdul Hamid II dengan ungkapan, “Sesungguhnya Sultan Abdul Hamid, andaikata ditimbang dengan empat orang yang paling terkenal di zaman itu, pasti kecerdasan dan kecerdikan politiknya akan mengalahkan mereka, khususnya dalam menaklukkan orang-orang yang berada dekat dengannya. Maka tidak heran jika kita melihat dia akan mampu menunjukkan kebolehannya dalam membela negerinya di saat-saat genting dari orang barat. Orang-orang yang menentangnya akan keluar darinya dengan rela dan dia akan puas dengan perjalanan hidup dan perilakunya. Siapapun akan puas dengan argumen yang dia lontarkan, baik itu raja, pangeran, menteri, maupun duta besar.”
Sultan Abdul Hamid II dan Jamaluddin Al Afghani saling memiliki keuntungan dengan kesamaan pandangan tentang Pan-Islamisme. Jamaluddin Al Afghani mendapatkan tempat bernaung di wilayah Khilafah Utsmaniyah dan sultan juga memanfaatkan pengaruh Jamaluddin Al Afghani atas negara-negara Islam yang menentang barat, yang ketika itu mendesak kedudukan Khilafah Utsmaniyah. Meski keduanya memiliki banyak kesamaan yang saling menguntungkan, ternyata ada perbedaan pendapat yang cukup tajam antara keduanya. Sultan Abdul Hamid II tetap mempertahankan kekuasaan otokrasi lama, sementara Jamaluddin Al Afghani mencoba memasukkan ide-ide pembaharuan dalam pemerintahan. Sultan Abdul Hamid II akhirnya membatasi kegiatan-kegiatan Jamaluddin Al Afghani dan melarangnya keluar Istanbul, sampai ajal menjemputnya.
Proyek Pembuatan Rel Kereta Api Hijaz
Untuk kembali menarik perhatian hati bangsa-bangsa Islam di bawah wilayah kekuasaan Khilafah Utsmaniyah, Sultan Abdul Hamid II banyak memperhatikan lembaga-lembaga keagamaan, lembaga ilmiah, perbaikan terhadap Masjidil Haram dan Masjid Nabawi serta bangunan penting lainnya dan pembangunan inovasi berupa proyek pembuatan rel kereta api Hijaz. Pembuatan rel kereta api Hijaz ini tidak lepas dari visi Sultan Abdul Hamid II, yakni berusaha memikat dan menyatukan hati-hati kaum muslimin Arab dengan berbagai cara. Karena pada saat itu Barat sedang mencoba menguasai kaum muslimin Arab di wilayah Hijaz dengan berbagai pemikiran dan ideologinya.
Sultan membentuk pengawal khusus serta mengangkat banyak kaum muslimin Arab dalam jabatan dan pos penting. Salah satu di antaranya adalah ‘Izzat Pasya Al-Abid dari Syam. ‘Izzat Pasya ini adalah salah satu kaum muslimin Arab yang sangat dipercaya Sultan Abdul Hamid II dan memainkan peran sangat penting dalam pembangunan rel kereta api Hijaz yang membentang dari Damaskus hingga Madinah. Sultan Abdul Hamid II menganggap proyek pembangunan rel kereta api Hijaz ini sebagai salah satu sarana yang mengangkat nama Khilafah Utsmaniyah dan akan berfungsi untuk menyatukan kaum muslimin Arab dan menyebarkan pemikiran Pan-Islamisme.
Proyek pembangunan rel kereta api Hijaz adalah salah satu proyek pembangunan terpenting pada masa pemerintahan Sultan Abdul Hamid II. Proyek ini dimulai pada 1900 M dan berakhir pada 1908 M. Proyek pembangunan rel kereta api Hijaz ini melahirkan semangat keislaman yang tinggi di antara kaum muslimin di seantero pemerintahan Khilafah Utsmaniyah. Sultan Abdul Hamid II berhasil menyebarkan edaran yang menyerukan kaum muslimin di seluruh dunia untuk ikut andil dalam pembangunan proyek rel kereta api Hijaz ini.
Sultan Abdul Hamid II memulai pendaftaran para penyumbang kaum muslimin dengan dimulai oleh dirinya sendiri yang memberikan 50.000 keping uang emas Utsmani. Kemudian dibayar juga uang sebanyak 100.000 keping emas Utsmani dari kas negara. Kaum muslimin dari berbagai penjuru dunia juga turut berlomba-lomba dalam membantu pembangunan rel kereta api Hijaz baik dengan harta maupun jiwa. Proyek ini juga sangat didukung oleh para pejabat pemerintahan serta pegawai perusahaan saat itu. Media massa seperti Al Muayyid, Al Liwa’, Al Manar serta Al Raid Al Mishr turut mengampanyekan proyek pembangunan rel kereta api Hijaz dengan sangat antusias.
Pada 1907 M, proyek pembangunan rel kereta api Hijaz ini dikerjakan oleh sekitar 7.500 pekerja yang hampir kesemua pekerja itu adalah kaum muslimin. Sultan Abdul Hamid II sangat meminimalisasi peran pekerja asing seperti arsitek dan pekerja lainnya dalam proyek ini. Sultan memaksimalkan tenaga para kaum muslimin. Dengan menghabiskan total biaya yang sangat besar, sekitar 4.283.000 lira Utsmani, pada Agustus 1908 M rel kereta api Hijaz ini telah sampai pada Madinah Al Munawwarah.
Seharusnya pembangunan berlanjut hingga Makkah. Namun pekerjaan terhenti karena penguasa Makkah saat itu, Husein bin Ali, memiliki kekhawatiran akan intervensi berlebih dari pemerintah pusat Khilafah Utsmaniyah. Kereta api pertama yang beroperasi dari Damaskus di Syam menuju Madinah di Hijaz terjadi pada 22 Agustus 1908 M. Peristiwa ini dianggap sebagai realisasi dari mimpi-mimpi yang panjang oleh jutaan kaum muslimin di seantero dunia. Perjalanan kereta api dari Damaskus menuju Madinah yang berjarak 814 kilometer hanya memakan waktu tiga hari perjalanan. Padahal sebelumnya, perjalanan dari Damaskus ke Madinah harus ditempuh dalam jangka waktu kurang lebih lima (5) pekan perjalanan.
Pada saat itu, kaum muslimin demikian merindukan untuk menunaikan haji ke Baitullah, memikirkan perdagangan yang lebih mudah, dan lain sebagainya. Begitu pula dengan pemerintah pusat Khilafah Utsmaniyah yang merasa menemukan titik terang bagaimana menjaga keamanan dan stabilitas wilayah Khilafah Utsmaniyah. Pembangunan rel kereta api Hijaz ini setidaknya memiliki lima keuntungan pokok. Di antaranya adalah:
1. Menghubungkan antar wilayah-wilayah di bawah kekuasaan Khilafah Utsmaniyah yang saling berjauhan sehingga akan sangat membantu untuk menebarkan pemikiran kesatuan pemerintahan Khilafah Utsmaniyah dan pemikiran Pan-Islamisme serta mempermudah pemerintah pusat Khilafah Utsmaniyah.
2. Memaksa wilayah-wilayah di bawah Khilafah Utsmaniyah untuk kembali masuk ke bawah naungan pemerintahan serta taat pada hukum dan undang-undang yang mewajibkan setiap wilayah membayar zakat berupa harta serta mengirimkan pasukan.
3. Mempermudah tugas keamanan dan pertahanan pemerintah pusat Khilafah Utsmaniyah dari berbagai pihak yang berusaha melakukan penentangan terhadap pemerintah.
4. Mengakselerasi terjadinya pertumbuhan ekonomi di wilayah-wilayah pemerintahan Khilafah Utsmaniyah.
5. Mempermudah perjalanan kaum muslimin yang akan melakukan ibadah haji.
Kesimpulan
Proyek pembangunan rel kereta api Hijaz yang dimulai pada 1900 dan berakhir pada 1908 adalah salah satu proyek pembangunan terpenting pada masa pemerintahan Sultan Abdul Hamid II. Proyek pembangunan rel kereta api Hijaz ini melahirkan semangat keislaman yang tinggi di antara kaum muslimin di seantero pemerintahan Khilafah Utsmaniyah. Sultan Abdul Hamid II berhasil menyerukan kaum muslimin di seluruh dunia untuk ikut andil dalam pembangunan proyek rel kereta api Hijaz.
Pembuatan rel kereta api Hijaz ini juga tidak lepas dari visi Sultan Abdul Hamid II yakni berusaha memikat dan menyatukan hati-hati kaum muslimin dengan berbagai cara dan menjauhkan dari barat. Karena pada saat itu barat sedang mencoba menguasai kaum muslimin dengan berbagai pemikiran dan ideologinya. Proyek pembangunan rel kereta api Hijaz ini sebagai salah satu sarana yang mengangkat nama Khilafah Utsmaniyah dan akan berfungsi untuk menyatukan kaum muslimin dan menyebarkan pemikiran Pan-Islamisme.
Daftar Pustaka
Hitti, Philip K. (2013). History of the Arabs. Jakarta: Serambi Ilmu Semesta.
Ash Shallabi, Muhammad Ali. (2014). Bangkit dan Runtuhnya Khilafah Utsmaniyah. Jakarta: Pustaka Al Kautsar.
Harb, Muhammad. (1991). Mudzakkiraat Al Sulthan Abdul Hamid II, Darul Qalam.
Hamid, Muhsin Abdul. (1983). Jamaluddin Al Afghani Al Mushlih Al Muftaraa ‘Alaihi, Muassasah Ar Risalah.
Penulis: Fahrudin Alwi (Ketua LDKN Salam UI 20, Mahasiswa Program Studi Arab FIB U)
Sumber: republika online