Ketua Asosiasi Cloud dan Hosting Indonesia (ACHI) Rendy Maulana bahkan menilai revisi aturan itu memberikan banyak kerugian bagi Indonesia. Kerugian yang dimaksud Rendy terutama terkait potensi investasi dan pengembangan ekonomi dalam negeri. Rendy mencontohkan, untuk tahun ini saja misalnya, Indonesia memiliki potensi investasi sebesar 2,8 miliar dolar AS dari bisnis cloud dan hosting di Indonesia.
Menurut Rendy, jika para provider bisnis tersebut membangun pusat data di Indonesia, pendapatan 280 juta dolar AS diperkirakan akan masuk ke kas negara. Namun, potensi ini akan hilang bila pemerintah tidak lagi mewajibkan perusahaan untuk memiliki pusat data di dalam negeri.
Sementara itu, Direktur Communication and Information System Security Research Center (CISSReC), Pratama Persadha mengaku heran dengan rencana pemerintah untuk memperbolehkan provider membangun pusat data di luar negeri.
Menurut Pratama, kebijakan tersebut terlalu pro-asing dan seolah-olah membuat Indonesia kembali terjajah. Pembangunan pusat data di luar Indonesia dengan tujuan membentuk iklim ekonomi yang lebih kompetitif dinilai tidak masuk akal bila dibandingkan dengan risiko keamanan data pribadi masyarakat.
Sebab, kata Pratama, siapa pun yang bisa mengakses secara fisik ke peladen (server) dan jaringan akan sangat mudah melakukan apa pun terhadap isi peladen atau jaringan tersebut. Mulai dari pencurian data, monitoring lalu lintas data, pengopian data server, bahkan dengan merusak semua data dan sistem jaringan. “Orang yang bisa megang data center, punya server, bisa punya akses ke dalam, kalau kami bilang dewanya jaringan. Dia mau ngapain aja bisa,” kata Pratama
Pratama juga memaparkan, pembangunan pusat data di Indonesia dapat dilihat dari tiga hal. Pertama, berada di wilayah hukum Indonesia. Kedua, secara fisik server penyimpanan data tersebut juga berada di Indonesia. Dan ketiga, infrastruktur untuk mengakses data berada dalam lingkup pengawasan pemerintah atau lembaga yang ditunjuk oleh pemerintah.
Ia juga mengacu pada kasus pencurian data pengguna Facebook Indonesia oleh Cambridge Analityca beberapa waktu lalu. Saat itu, kata Pratama, posisi tawar pemerintah dengan Facebook sangat kecil untuk meminta perusahaan itu menghormati privasi pengguna.
Apalagi Indonesia, menurutnya, belum memiliki Undang-undang tentang perlindungan data pribadi dalam sistem dan transaksi elektronik. Beberapa aturan yang bisa dipakai, kata dia, hanya tertuang dalam Peraturan Menteri Kominfo Nomor 20 Tahun 2016 serta UU Nomor 11 tahun 2018 tentang Informasi dan Transaksi Elektronik. “Udah berapa surat peringatan yang dibuat Kominfo. Dianggap enggak? Enggak. Terus apa yang kita lakukan? Enggak ada. Orang kita enggak punya bargaining power,” kata Pratama menambahkan.
Pratama menambahkan, pemerintah seharusnya melindungi privacy dan security setiap individu warga negara Indonesia dari ancaman kegiatan kriminal. Ia memahami, pemerintah tetap dapat menentukan klasifikasi data yang diwajibkan diberikan ke Indonesia.
Namun, kata dia, pemerintahan belum memulai mengklasifikasikan mana data yang bersifat penting, rahasia, dan sangat rahasia. “Coba tanya pemerintahan, enggak punya mereka. Akhirnya semua data kan jadi satu. Kalau semua data dimasukin situ, kemudian pusatnya di luar negeri, celaka kita,” jelas Pratama.
Kesimpulan:
- Bisnis digital menjadi trend bisnis masa depan yang menjanjikan.
- Data menjadi sumber kekuatan tersendiri bagi sebuah negara untuk mempengaruhi kebijakan negara lain, bahkan bisa juga untuk mensabotase, menimbulkan kekacauan di negara target.
- Huawei telah dilarang di negara negara barat bukan hanya karena pertimbangan bisnis semata , namun karena jaringan Huawei memang memungkinkan untuk bocor. Baik sengaja untuk kegiatan intelejen ataupun tidak sengaja karena kualitas suku cadangnya. Dan tidak ada jaminan bahwa data dan informasi yang menggunakan jaringan Huawei akan terlindungi total, lepas atau tidak ada kemauan perusahaan untuk curang, namun siapa yang bisa menjamin keamananan perlindungan data mereka bila Pemerintah Tiongkok menekan perusahaan itu berdasar UU Intelijen Negara?
- Disini pemerintah suatu negara dihadapkan pada sebuah pilihan berat, investasi murah dan keamanan informasi strategis.
- Di Indonesia, pemerintah dibawah rezim sekarang , demi keuntungan bisnis, nampak sangat mengabaikan potensi keamanan data dan informasi negara dan pengguna di bidang digital. Bahkan jaring pengaman yang masih lemah pun karena peraturan di bidang komunikasi memang belum sempurna, malah ingin dihilangkan dengan memperbolehkan membuat pusat data di luar negeri.
- Akhirnya aku hanya bisa menutup dengan peringatan orang bijak dulu: kebat kliwat, ngangsa marakake brabala, ”sebagai pemimpin jangan memutuskan sesuatu secara tergesa gesa karena ingin mendapatkan keuntungan, sing ati ati, hati hati, dengan perhitungan matang baik dan buruknya agar tak mengundang bahaya, tentu bagi bangsa dan negara Indonesia.
Sekian (end/sumber: Global Review)
Penulis: Adi Ketu, Pengiat Sosial Media