Menurut laporan itu, secara jangka panjang, Amerika Serikat dan sekutunya menganggap Huawei dan bisnis kabel bawah lautnya sebagai bagian dari strategi PKT untuk meningkatkan pengaruh internasionalnya. Strategi ini termasuk pembangunan infrastruktur telekomunikasi dan ekspor peralatan pemantauan dan teknologi digital lainnya.
Pelarangan ini jelas berpotensi menjadi pemicu konflik asimetris diantara pelaku lokal bisnis di negara-negara yang terkena larangan, yang telah menikmati keuntungan sebelumnya dan kebijakan pemerintah karena besarnya investasi dan dominasi Huawei yang sudah menjadi satu diantara bisnis dengan pangsa pasar terbesar di dunia, di bawah Samsung dan didepan Apple. Apalagi berdasar klaim Huawei, mereka sudah beroperasi di lebih dari 170 negara, memiliki 180.000 karyawan, melayani lebih dari sepertiga populasi dunia serta sudah mengirim 50 juta ponsel ke seluruh dunia.
Bagaimana dengan Indonesia?
Disamping Huawei sudah menjadi mitra Indonesia dalam proyek pembangunan kabel bawah laut Palapa Ring, sejak tahun 2007, baik secara langsung maupun tidak langsung. Secara langsung yaitu ketika Huawei Marine memenangkan tender proyek Palapa Ring yang menghubungkan Batam-Dumai-Malaka (BDM) pada tahun 2011, Jawa-Kalimantan-Sulawesi (Jakasusi) pada tahun 2006, Mataram-Kupang (MKCS).
Secara tidak langsung, bahwa Tehnologi yang dipakai oleh pemenang tender Palapa Ring lainnya juga menggunakan tehnologi Huawei dan suku cadang Huawei. Ini artinya kekuatan pasar Huawei menjadi sangat dominan. Dan otomatis resiko keamanan informasinya pun menjadi lebih besar. Belum lagi bila kita menganalisa penjualan peralatan handphone merk Huawei, yang nampaknya sudah merajai pasar ponsel Indonesia. Daulat Huawei atas Indonesia!
Sayangnya, sekali lagi tidak ada tinjauan keamanan yang mencukupi untuk meneyelidiki dan mengantisipasi kemungkinan ini di Indonesia.
Kedaulatan Digital dan Bisnis Pusat Data
Dengan alasan mengangkat bisnis “start up” dalam negeri maka dengan ceroboh Rudiantara, Menkominfo mengatakan dengan jelas pemerintah akan memperbolehkan perusahaan untuk memiliki data center di luar Indonesia selama data yang dikelola itu sifatnya tidak strategis.
Hal ini ia jelaskan menyusul adanya revisi Peraturan Pemerintah (PP) Nomor 82 Tahun 2012 tentang Penyelenggaraan Sistem dan Transaksi Elektronik sudah hampir jadi. Menurut Rudiantara, pembahasan revisi PP tersebut saat ini sudah memasuki tahap harmonisasi dan bakal segera diberlakukan sebelum 2019.
Dalam revisi PP tersebut ada salah satu poin yang menyinggung tentang penempatan data center. “Kalau startup harus punya data center di dalam negeri, repot lah. Banyak startup kita yang juga menggunakan cloud computing di luar, data center di luar. Nanti diatur data center mana saja yang harus ada di Indonesia,” kata Rudiantara di Kementerian Sekretariat Negara, Jakarta pada Selasa (23/10/2018).
Lebih lanjut, Rudiantara menyebutkan sejumlah data center yang harus berada di dalam negeri ialah yang terkait dengan pertahanan, keamanan, serta intelijen. Sedangkan untuk yang di luar itu, akan diberi pilihan agar bisa memiliki data center di luar negeri. Rudiantara beralasan opsi tersebut diberikan dengan mempertimbangkan masalah keekonomian.
Ia mengklaim banyaknya perusahaan startup lokal yang menggunakan cloud computing karena biaya untuk membuat data center di dalam negeri sangat mahal.
Rudiantara menilai apabila kebijakan seperti itu tidak diterapkan dan penggunaan cloud computing dihambat, maka Indonesia tidak bisa kompetitif seperti halnya negara-negara lain. “Ini akan memberikan batasan yang jelas. Kalau yang strategis harus ada di Indonesia, tidak ada kata ‘tidak’. Tapi kalau yang tidak strategis, data center bisa di dalam atau di luar. Makanya cloud computing,” jelas Rudiantara.
“Sehingga bisa lebih proporsional. Data center sendiri kan dua [kegiatan], yakni penempatan datanya dan pemrosesannya,” tambahnya.
Saat disinggung mengenai jaminan terhadap perlindungan data pribadi konsumen, Rudiantara menegaskan bahwa aturan PP yang direvisi itu bakal disejalankan dengan Undang-Undang (UU) Perlindungan Data Pribadi yang rencananya terbit tahun depan. Ia pun menyebutkan bahwa Indonesia memang sudah semestinya segera menerapkan UU yang menjamin perlindungan data konsumen.
Beberapa pihak langsung bereaksi dan menuai kritik karena berbeda 180 derajat dari ketentuan Pasal 17 ayat (2) PP 82/2012 yang mewajibkan pembangunan pusat data di dalam negeri.