“Makanya BMKG (Badan Meteorologi Klimatologi dan Geofisika) tidak memberikan peringatan gempa tsunami, karena tidak ada alat di laut. Kita tidak bisa menyalahkan BMKG, dan untuk gunung api ranahnya bukan BMKG, tapi Badan Geologi,” katanya.
Dalam fase erupsi Anak Krakatau ini, tiba-tiba lerengnya mengalami longsor. Menimbulkan tsunami yang berada di pantai-pantai terdekatnya. “Kok tiba-tiba longsor dan meninggalkan tsunami. Jadi harus ada sinergi dan koordinasi, antara BMKG dengan Badan Geologi ini,” kata Kepala Bidang Mitigasi Bencana Persatuan Insinyur Indonesia (PPI) itu.
Kemudian ancaman yang kedua ada megathrust Selat Sunda. Megathrust ini ancamannya lebih besar, bisa 5 sampai 10 kali dibandingkan dari tsunami pada Sabtu, (22/12) lalu. Megathrust merupakan suatu zona subduksi. Suatu sesar lempengan yang berada di Selat Sunda. Ancaman dari dampak megathrust ini juga tersebar di beberapa daerah.
“Mulai dari Sumatera, Padang, Bengkulu, Selat Sunda, Jawa bagian selatan, timur Bali. Kemudian Sulawesi Utara juga ada, daerah Maluku, di Papua ada Papua dan Sorong,” ucapnya. [jpc]