Saat Jerman mengalami krisis buruh pada 1961, pemerintah Jerman Barat meneken perjanjian dengan pemerintah Republik Turki mengenai perekrutan buruh dengan dengan status Gastarbeiteratau buruh tamu. Para buruh itu diperkenankan membawa keluarga untuk bekerja di Jerman. Tumbuhnya komunitas Turki kian meningkat setelah eksodus orang-orang Turki dari Bulgaria pada 1974.
Terlepas dari adanya sentimen anti-imigran dari kelompok sayap kanan Jerman, sejak 1990 para buruh Turki mulai mengajukan naturalisasi menjadi warga Jerman jika sudah mencapai usia 18 tahun sesuai Undang-Undang Kewarganegaraan Jerman. UU itu memperbolehkan naturalisasi dengan syarat seseorang tidak boleh memiliki status dwi-kewarganegaraan.
“Kalau kita mengizinkan dwi-kewarganegaraan, tak lama lagi akan ada empat, lima atau enam juta orang Turki di Jerman, bukannya tiga juta,” cetus Kanselir Jerman Helmut Kohl pada 1997, dikutip Philip L. Martin dalam Germany: Managing Migration in the Twenty-First Century.
Namun, UU Kewarganegaraan 1999 menetapkan, orang-orang Turki baru bisa mengajukan status warga negara setelah delapan tahun tinggal di Jerman. Sementara, keturunannya tetap diperbolehkan memegang dwi-kewarganegaraan sampai usia 23 tahun dan harus memilih antara Turki atau Jerman setelahnya.
Khusus untuk atlet sepakbola, “naturalisasi” mulai eksis sejak 1993 kala timnas Jerman menjadikan Mehmet Yüksel sebagai pilarnya. Gelandang Bayern Munich kelahiran Karlsruhe, 16 Oktober 1970 itu ibunya, Hella, seorang Jerman dan ayahnya, Ergin Yüksel, seorang Turki. Nama belakangnya berganti “Scholl” setelah ibunya bercerai dan menikah lagi dengan pria asli Jerman, Hermann Scholl.
Scholl membuka jalan bagi banyak pemain berdarah Turki lain yang mengikuti jejaknya masuk timnas Jerman. “Makanya saya juga menyayangkan hal yang relatif kecil bisa jadi besar. Soal Özil, karena tidak langsung beri penjelasan: ‘Maaf, tak ada maksud politis. Saya sendiri cinta Jerman dan Turki’. Bahwa ada orang rasis (di Jerman), tentu iya. Sayangnya di seluruh dunia juga ada manusia-manusia bumi datar seperti itu. Tetapi menggambarkan Jerman dan DFB rasis, tentu kelewatan,” tandas Timo.[]
Penulis: Randy Wirayudha
Link Source: historia