Alih-alih menjelaskan, Özil malah menyatakan media-media Jerman berstandar ganda lantaran tak memberitakan buruk foto legenda Jerman Lothar Matthäus bersama Presiden Rusia Vladimir Putin.
Bagi Timo, kasus Özil dan Matthäus harus dibedakan konteksnya. “Matthäus tak menulis ‘My President’ dan tidak dalam konteks kampanye. Meski Putin juga sangat dikritik di Jerman. Sementara pernyataan ‘My President’ yang ditulis Gündoğan secara tidak langsung diamini Özil, tidak disertai pernyataan seperti contohnya: ‘Tapi saja juga cinta Jerman, kok’,” sambung Timo.
Meski ada hak Özil untuk mendukung Erdoğan –sosok presiden yang oleh publik Jerman dianggap menindas kebebasan pers– sekalipun, diamnya Özil saat foto itu jadi isu politis membuat suasana jadi keruh.
“Tidak benar media Jerman mengkritik asal-usul bahkan agama. Kebetulan saya sedang di Jerman dan melihat sendiri kritikan pada Özil. Intinya, dia main jelek dan tidak memberikan penjelasan soal foto. Kalau soal Grindel, bos DFB itu juga dikritik keras. Pakar-pakar bola Jerman menganggapnya amatiran,” lanjutnya.
Muasal Imigran Turki di Bumi Jerman
Masyarakat berdarah Turki sendiri, sebagaimana dituangkan David Horrocks dan Eva Kolinsky dalam Turkish Culture in German Society Today, merupakan etnis minoritas terbesar di Jerman dengan sebutan Deutsch-Türken. Mereka sudah menetap permanen di beberapa wilayah Jerman pasca-Pertempuran Wien (kini ibukota Austria) antara Koalisi Kristen (Polandia, Lithuania, Austria, Bavaria, Swabia, Saxony, Franconia, Habsburg Hungaria, dan Zaporozhian) melawan Kesultanan Usmani, 12 September 1683.
Mereka kemudian mulai dirangkul. Sejumlah orang Turki di Jerman dijadikan serdadu bayaran Kerajaan Prusia pada 1701. Jørgen Nielsen dalam Muslims in Western Europe menuturkan, jumlah terbesar serdadu muslim berdarah Turki di bawah panji Prusia mencapai 1000 orang, yang ditugaskan di unit kavaleri di bawah Raja Frederick William I. Itu berlanjut terus, termasuk saat Prusia diperintah Frederick II.
“Semua agama sama baiknya, selama mereka bersikap tulus dan bahkan jika orang Turki ingin jadi bagian dari populasi di negeri ini, kami akan membangunkan masjid dan tempat-tempat persembahyangan bagi mereka,” cetus Frederick II pada 1740, dikutip Otto Bardon dalam Friedrich der Grosse.
Kata-kata itu terealisasi pada 1779 kala masjid pertama di Jerman dibangun di kompleks Istana Schwetzingen. Pada 1798, situs pemakaman muslim pertama dibangun dalam rangka memakamkan Ali Aziz Efendi, seorang utusan Kekaisaran Ottoman.
Hingga abad ke-20, kultur Turki mulai berbaur dalam masyarakat Jerman. Hubungan politik Jerman dan Turki-Usmani kian erat setelah bermitra dalam Perang Dunia I. Bangkitnya Jerman pasca-Perang Dunia II tak lepas dari peran orang-orang Turki.