Yang terpenting, para pemimpin politik senior di masing-masing pihak harus memiliki pengawasan ketat atas operasi siber yang melibatkan penetrasi sistem yang sangat sensitif (baik untuk intelijen atau mempersiapkan operasi militer). Mereka harus berasumsi bahwa operasi ini pada akhirnya akan ditemukan dan menilai dengan tepat bagaimana musuh mereka kemungkinan akan bereaksi (dan bagaimana mereka akan melakukannya jika situasinya terbalik). Para pemimpin juga perlu menelisik apakah preseden operasi siber yang potensial akan memperkuat atau melemahkan norma-norma internasional yang harus diupayakan untuk diperkuat oleh kedua negara daripada dilemahkan.
Untuk mendapatkan informasi yang lebih baik, kedua pemimpin negara adidaya tersebut harus mengamanatkan bahwa “tim merah” independen menilai risiko operasi siber yang sensitif. Terlalu berbahaya untuk membiarkan pengusul atau konduktor dari operasi semacam itu meninjau dirinya sendiri. Tim merah harus mempertimbangkan kemungkinan dan konsekuensi bahwa senjata siber dapat menyebar lebih dari yang dimaksudkan dan dapat direkayasa balik untuk digunakan melawan pemerintah, bisnis, atau kolega.
China dan AS tidak perlu menunggu satu sama lain untuk mengambil langkah ini. Melakukan ini secara sepihak, dan dengan cepat, akan menurunkan kemungkinan terjadinya perang nuklir yang tidak disengaja yang dapat menghancurkan keduanya. Idealnya, kedua negara – sebagai perwakilan kekuatan besar – akan mengatasi hambatan politik mereka dan setuju untuk melakukan negosiasi yang saling menguntungkan. Semakin lama mereka menunggu, semakin besar tanggung jawab yang akan mereka tanggung untuk perang yang mungkin terjadi.[GlobalReview]
Sudarto Murtaufiq, peneliti senior Global Future Institute (GFI)