Pertama, birokrasi dan korupsi
Mundurnya sistem penegakan hukum dan pemberantasan korupsi dimulai dari dikuasainya KPK oleh jenderal polisi yang terafiliasi ke partai terbesar. Situasi yang lebih “aman” dari pantauan KPK ini membuat bisnis kembali berjalan- menurut para pemain proyek yang terbiasa menyuap birokrat.
Sebenarnya ada solusi untuk membuat kaum birokrat ini akan kesulitan untuk bermain proyek, mencari potensi suap dari vendor swasta. Yaitu dengan cara menambah beban kesibukan mereka, apalagi kabarnya gaji para PNS sekarang ini sudah sangat tinggi. Gaji yang tinggi harus menyesuaikan dengan bobot kerja, tidak boleh kita biarkan PNS bersantai. KPI para PNS ini harus jelas dan penyelesaian setiap pekerjaan tidak boleh lewat 1 hari.
Dua, naikkan dulu growth ke 6-7 persen, investasi pasti akan datang.
Investasi akan masuk ke dalam negeri untuk menikmati pasar Indonesia yang sangat gemuk, tentu dengan daya beli yang cukup. Investor perusahaan manufaktur tidak akan mau bangun pabrik bila barang dan jasa perusahaan mereka tidak mampu dibeli pasar Indonesia. Pasar yang bergairah, setelah pemerintah memompa ekonomi konsumsi, akan menjadi daya Tarik bagi investor asing masuk ke dalam Dunia Ketiga seperti Indonesia. Pendapatan perkapita Indonesia akan semakin cepat membesar bila pertumbuhan ekonomi di atas 7-8% setiap tahun.
Yang tentu tidak akan terjadi di era Jokowi ini. Kuartal Pertama 2020 hampir dipastikan pertumbuhan ekonomi Indonesia akan di bawah 5%. Kuartal ke-III 2019 sebenarnya pertumbuhan GDP juga sudah 4,97% (No 41 di Dunia, perhatikan tabel di bawah).
Sebagai catatn tambahan, sampai detik ini Pemerintah belum lagi memberikan angka berapa banyak lapangan kerja yang akan tercipta tahun, berapa tinggi perekonomian tahun ini akibatnya (bisa tidak menembus 5 persen?). atau berapa koofisien Gini Ratio menurun (membaik) akibat UU Omnibus Law, karena sangat kuat kemungkinan akan semakin memburuk. Sangat disayangkan.
Bila kita memandang struktur ekonomi kita, terutama pada sektor di GDP, hampir separuh GDP disumbang oleh konsumsi masyarakat. Bila kita malah menggebu-gebu, seperti yang dilakukan Kementerian Keuangan, menekan daya beli rakyat, maka konsumsi masyarakat sebagai kekuatan utama untuk meningkatkan pertumbuhan ekonomi malah melemah.
Padahal sebenarnya logika ekonominya sederhana, bila perhatian (terutama dalam hal keuangan) hanya kepada para Taipan, mereka belum tentu menghabiskannya untuk konsumsi. Bisa saja akhirnya mereka habiskan di saham atau reksadana yang belakangan banyak merugi. Tapi, kalau kita pompa cash ataupun kredit kepada semisal 40% masyarakat terbawah, mereka pasti akan menghabiskannya untuk konsumsi. Peraih Nobel 2019, Abhijit Banerjee and Esther Duflo, sangat menyarakan program semacam ini- alokasi kredit untuk masyarakat bawah.