Singapura adalah negara kedua bagi kebanyakan Taipan, maka mereka merasa pajak badan harus diturunkan dari dua puluhan persen ke tujuh belas persen seperti di Singapura. Ekonom Faisal Basri memperbaiki kesalahan nalar tersebut. Fakta jelas membantah, justru para investor Singapura merupakan yang terbesar yang berinvestasi ke Indonesia, meskipun pajak badan lebih tinggi dari negaranya. Jokowi tidak memahami bahwa perbedaan antara Singapura dan Indonesia adalah dari segi pasar dan sumber daya alam. Sehingga saat dibisiki Taipan untuk turunkan pajak, langsung setuju.
Taipan juga bersama aparat penegak hukum, membentuk jejaring mafia / premanisme yang mengintimidasi serikat-serikat buruh yang berencana menolak RUU Omnibus Law. Dalam Omnibus Law, aparat hukum- kepolisian mendapatkan tambahan wewenang untuk memeriksa badan usaha dan perizinan badan usaha serta memberi petunjuk, mendidik, dan melatih aparat, kepolisian khusus dan petugas pengamanan swakarsa dalam bidang teknis kepolisian. Aparat menjadi anjing penjaga Taipan.
“Kapitalisme untuk Rakyat” dalam Omnibus Law
Rakyat kelas pekerja merasakan kapitalisme yang sesungguhnya dalam Omnibus Law. Upah para buruh Indonesia dirasakan saat ini sangat mencekik untuk memenuhi kebutuhan hidup sehari-hari. Ada yang coba membandingkan upah buruh Indonesia dengan China yang bisa lebih rendah, mereka lupa bila rakyat pekerja di China banyak disubsidi oleh Negara dalam bidang kesehatan dan pendidikan. Negara melakukan fungsi yang benar di China sana, menunjang upah dengan tingginya jaminan sosial lainnya.
Di sini, Indonesia, malah kebalikan. Belakangan Menteri Tenaga Kerja sudah mulai mengampanyekan penghapusan pesangin untuk buruh. Alasan mereka, selama beberapa tahun terakhir hanya 27 persen perusahaan yang memberikan pesangon bagi eks karyawannya. Jadi, menurut politisi Muslimat tersebut, mending sekalian pesangonnya dihapuskan. Kelas pekerja Indonesia merana, Menteri Tenaga Kerja enggan berjuang untuk kelas pekerja lagi. Di negeri-negeri Eropa Barat dan Skandinavia, saking besarnya pesangon Negara, para purna bakti dari negara-negara Welfare State tersebut dapat berlibur ke negara tropis manapun di Dunia menikmati hari tua. Sedangkan para pensiunan pekerja Indonesia, tanpa pesangon, tidak bisa liburan ke luar negeri. Paling pulang kampung, nge-Gojek, ungkap salah seorang korban PHK yang tidak diberi pesangon belakangan ini. Beda Negara, kelas Pekerja beda nasib.
Di Indonesia yang terjadi Negara banyak menghabisi kelas pekerja. Upah susah naik, namun harga-harga kebutuhan lain: utilitas (listrik, air, internet), BPJS, toll, rokok, kosmetik, tasbih, minuman soda, kopi sachet, rokok, Menteri Keuangan rasanya selalu gatal bila tidak punya ide baru untuk memajaki rakyat kecil. Dipikirnya dengan mematok daya beli kelas pekerja dengan berbagai kebijakan austerity, pertumbuhan dapat meroket. Minimnya investasi dianggap murni kesalahan kelas pekerja. Sehingga dalam Omnibus Law menjadi target untuk dikerdilkan kembali sharenya atas profit perusahaan. Tidak ada lagi pesangon.
Pers, sebagai media yang seharunya dapat melindungi kelas pekerja –mengabarkan dan membela pekerja- berusaha dibungkam oleh Pemerintah dengan tarif denda yang sangat tinggi, mencapai Rp 5 milyar bila beritanya dianggap bermasalah. Kebijakan itu pasti akan menghabisi cash flow kantor-kantor berita yang independen, di kampus, organisasi komunitas, sehingga yang bertahan hanya kantor berita Negara dan media milik para Taipan. Saat gerakan buruh meledak, media-media ini lah yang akan pertama kali mendiskreditkan kawan-kawan kita.
Jadi berhati-hatilah dengan birokrat pemerintah, mereka bisa saja menjadi mesin pembunuh demokrasi yang efektif bila ada payung hukumnya. Mantan Presiden Uruguay, Pepe Mujica, dalam suatu film documenter di Netflix menyatakan bahwa, “ Berhati-hatilah dengan birokrasi, mereka dapat lebih buruk dari kaum borjuis (pengusaha).”
Dalam ilmu neoklasik, koor kapitalisme mainstream, suatu produksi adalah faktor dari capital dan labour. Bagi ilmu ekonomi ini kapital tidak pernah salah. Sehingga faktor Labour selalu harus berkorban. Selain soal pesangon, kabarnya lingkup dari pekerjaan yang boleh diberlakukan outsourcing akan lebih meluas. Cara pikir seluruh Tim Ekonomi Pemerintahan Jokowi pastilah sama. Demi masuknya investasi, buruh harus kembali korbankan daya beli mereka.
Epilog (Solusi)
Padahal masalah utama sepinya investasi di Indonesia bukan karena salah si buruh Indonesia. Sebenarnya yang terjadi dengan segala ketergopoh-gopohan tentang draft Omnibus Law ini disebabkan oleh kesalahan pandangan ekonomi dalam menyelesaikan situasi stagnasi ekonomi. Pada tahun 2017, World Economic Forum sudah mencoba memberikan masukan, dikatakannya, dua masalah terbesar Indonesia yang mengganggu investasi dalah birokratisme dan korupsi.