Sudah seperti Sosialisme bukan? Saat semua disubsidi dan dilindungi negara, dari pajak, perusakan lingkungan, hingga bila datangnya kerugian, dan hilangnya mekanisme pasar yang berkeadilan dalam penentuan harga.
Pada saat yang Orang Super Kaya dimanjakan dalam “Sosialisme”, sebagian besar Rakyat Amerika harus menerima kejamnya Kapitalisme: satu, sebagian besar kelas pekerjanya menerima upah minimum yang di bawah standar kelayakan (kurang dari US$ 7,5/jam, Bernie mengusulkan naik dua kali lipat menjadi US$ 15/jam); dua, 500-an ribu orang masih hidup menggelandang sebagai tuna wisma; tiga, puluhan ribu lulusan kampus-kampus terjerat utang akibat mahalnya biaya pendidikan tinggi; empat, 45 juta pemuda kesulitan biaya untuk melanjutkan kuliah; lima, kelas menengah membayar tingkat pajak yang lebih tinggi dari kalangan super kaya; enam, umumnya rakyat menghabiskan 20 persen pendapatan tahunannya hanya untuk membeli obat yang harganya kemahalan; tujuh, menghadapi ancaman kerusakan lingkungan hidup yang berat akibat kerakusan korporasi migas (yang menggunakan metode frackingi yang sangat polutif).
Pasti pembaca merasa tidak asing dengan poin-poin kritis Bernie Sanders di atas. Benar, sebagian memang selaras dengan semangat draft Omnibus Law (RUU Cipta Lapangan Kerja), dan Kebijakan Ekonomi yang berlangsung di Indonesia- tentu dalam detail yang sedikit berbeda. Saya akan coba ulas berikut ini.
“Sosialisme bagi Taipan” dalam Omnibus Law dan Kebijakan Pemerintah
Sedari awal, tim penyusun draft RUU Omnibus Law adalah mayoritas pengusaha. Para menteri kabinet yang terkait, yang menjadi komandannya, mayoritasnya juga adalah pengusaha besar. Seluruh asosiasi pengusaha dilibatkan, mulai dari APINDO, KADIN, dan HIPMI.
Para taipan Indonesia, 50 orang terkaya, juga memiliki pengaruh kuat di sekitar Presiden, mulai dari sanak mereka yang menjadi wakil menteri di Kabinet, Staf Khusus Presiden, Penasehat Kantor Staf Presiden, Komisaris BUMN, maupun Dewan Pertimbangan Presiden. Dan jangan lupa, draft RUU Omnibus Law akan disahkan di DPR, yang mayoritas anggota legislatif di sana tentu dapat terpilih pada Pemilu 2019 kemarin berkat dukungan dana dari para taipan juga (bahkan satu grup bisnis dari Taipan, kabarnya menguasai 112 anggota DPR lintas partai). Artinya, bila tidak ada tekanan yang berarti dari masyarakat, draft RUU Omnibus Law dapat dengan cepat disahkan.
Taipan mana yang tidak ingin pajaknya diringankan. Jadi dengan cerdik, mereka menyelipkan pasal penurunan pajak, perpanjangan izin usaha pertambangan (yang berupa Kontrak Karya yang akan segera habis, yang seharusnya diambil Negara dari tangan Taipan), kemudahan pengurusan AMDAL dan IMB untuk berusaha, penurunan pajak deviden, dan permasalahan HAKI Industri Farmasi,.
Artinya, para Taipan ingin mengamankan profit mereka dari pajak Negara. Sebenarnya RUU Omnibus Law adalah keinginan para taipan. Bersama kekuatan partai politik lah mereka (Taipan dan Politisi) menjadi Oligarki di Indonesia. Seperti juga Amerika Serikat, perpolitikan Indonesia juga selalu relatif dapat dikendalikan oleh para Taipan yang mendukung kedua pasangan Capres 2019 yang lalu. Para operator Taipan berkeliaran di markas-markas pemenangan Pemilu di Kedua Kubu. Mereka berkeringat.
Omnibus Law adalah balas jasa dari Jokowi untuk Taipan. Menteri Keuangan juga setia menerbitkan surat utang yang kemahalan 1-2% di atas negara peers. Menteri Keuangan Indonesia seharusnya dapat belajar dari negeri Vietnam, yang meskipun rating investasinya di bawah Indonesia, namun pasar uangnya dapat memberikan yield lebih rendah dari Indonesia. Seharusnya, semakin baik peringkat utang, maka suku bunga dapat lebih murah. Yang dilakukan bendahara negara yang baik ini terbalik, tim ekonomi keuangan Jokowi, adalah memberikan bunga 1-2 persen tambahan bagi Taipan dan Sekutu Modalnya di Luar Negeri. Ke rakyat pelit, tapi ke Taipan murah hati luar biasa.
Selain Taipan, para pembeli surat utang adalah para nasabah kaya dalam negeri dan para bank investasi di dalam dan luar negeri. Artinya, dari setiap tabungan kelas menengah atas yang berpindah ke pasar surat utang negara (menurut laporan DIrektur BCA sebesar 30% Dana Pihak Ketiga). Bank menjadi kesulitan likuiditas, dana pihak ketiga yang seharusnya membiayai kredit untuk perluasan usaha yang akan meningkatkan lapangan kerja, malah digunakan untuk menambal defisit APBN Kementerian Keuangan. Tapi anggaran bayar bunga utang plus pokok utang, yang sekitar Rp 600-an triliun setiap tahunnya sangat berat. Apalagi pemasukan pajak kita tahun 2019 hanya dua kali lipatnya. Jadi separuh pemasukan pajak yang sudah sediikit itu kita habiskan untuk debt service, bayar ke Taipan dan Asing dengan bunga 1-2 persen di atas.
Menteri Keuangan membebaskan pajak barang mewah milik Taipan, seperti kondo dan mobil. Kemudian ada issue Tax Amnesty jilid Dua akan diberlakukan, benar-benar hari-hari yang indah bagi orang-orang kaya di Indonesia. Yang mereka, para Taipan, telah sukses menggunakan uang dan pengaruhnya untuk mengendalikan politik Indonesia, mengurangi pajak mereka. Mengurangi sumbangan mereka pada Negara. Merasa dalam dunia fantasi Sosialisme di sesama pergaulan orang kaya. Akhirnya Indonesia mengalami kekurangan bayar pajak, tax ratio 2019 (merupakan yang terburuk selama Reformasi), rasio penerimaan pajak akan semakin menurun di tahun 2020.