Amanat reformasi yang digulirkan mahasiswa pada 1998 adalah anti kolusi, korupsi, dan nepotisme (KKN). Sayangnya, KKN yang terjadi kini justru lebih hebat dan lebih masif dibandingkan yang terjadi pada zaman Orde Baru (Orba) yang ditumbangkan kekuatan reformasi. Contoh terbaru nepotisme itu adalah dengan ditunjuknya Pramonon Edhi Wibowo sebagai Kepala Staf Angkatan Darat (KSAD) yang baru oleh SBY.
Demikian benang merah yang mengemuka dalam diskusi publik bertema Nepotisme Menggurita, Demokrasi Terancam Petaka, di Rumah Perubahan 2.0, Senin (4/7).
Diskusi menghadirkan anggota DPD Wayan Sudirta, pengamat politik UI Aris Santosa, dan Koordinator Gerakan Indonesia Bersih (GIB) Adhie M. Massardie. Namun juga hadir dalam diskusi itu sejumlah tokoh, antara lain ekonom senior Rizal Ramli, pengasuh Pondok Pesantren Tebu Ireng Solahudin Wahid yang akrab disapai Gus Sholah, pakar hukum tata negara J.E Sahetapy, dan tokoh lintas agama Djohan Effendi.
Menurut Gus Sholah, nepotisme biasanya menjadi salah satu penyebab runtuhnya kekuasaan sebuah rezim. Contoh tentang itu terjadi pada 1998, yaitu ketika Presiden Soeharto mengangkat Siti Hardyianti Rukmana atau Mbak Tutut sebagai Menteri Sosial.
“Saat itu masyarakat menilai langkah Pak Harto sebagai suatu yang melampaui batas. Saya tidak tahu, apakah diangkatnya Jenderal Pramono yang juga ipar SBY sebagai KASAD bisa dianggap sebagai langkah yang melampaui batas pula,” ujar Gus Sholah.
Sementara itu, Rizal berpendapat pengangkatan Pramono sebagai KASAD tidak lebih dan tidak kurang menunjukkan bagaimana SBY semakin takut dan khawatir. Itulah sebabnya dia mengangkat orang yang diyakini benar-benar loyal kepadanya sebagai petinggi TNI AD. Dengan demikian, SBY ingin ada semacam jaminan, bahwa posisi dan keamanannya kelak benar-benar terjamin.
“Pertanyaannya, apakah KASAD Pramono akan berani menggunakan TNI untuk membela iparnya jika mahasiswa benar-benar turun ke jalan untuk menumbangkan SBY,” tukas Rizal yang juga bekas Menko Perekonomian dan Menteri Keuangan di era Presiden Gus Dur.
Senada dengan Rizal, Sahetapy mengatakan untuk mengubah Indonesia agar menjadi negara dan bangsa yang maju, langkah pertama yang harus dilakukan adalah membuang budaya nepotisme. Namun langkah itu memerlukan waktu yang lama. “Padahal saat ini kita tidak punya cukup waktu. Budaya nepotisme kita berkali-kali membuktikan sebagai suatu hal yang buruk.”
Tidak ada sistem
Menyangkut pengangkatan Pramono sebagai KASAD, baik Wayan, Aris maupun Adhie berpendapat hal itu terjadi karena tidak adanya sistem yang jelas. Penunjukan KASAD selama ini cenderung tidak jelas, dan lebih banyak ditentukan oleh selera dan kepentingan presiden.
“Padahal, kalau sistemnya jelas, bisa jadi Pramono memang layak menjadi KASAD. Misalnya, ada kriteria pemilihan yang jelas yang antara lain ditunjukkan melalui scoring tertinggi di antara sejumlah calon yang ada,” ujar Wayan.
Soal tiadanya sistem yang jelas di TNI ini juga diakui Aris. Namun dia menyangsikan apakah sistem ini bisa diterapkan di kalangan tentara. Menurut dia, TNI memiliki tradisi soal kepangkatan dan jabatan sendiri. Bagi mereka, jabatan bukan sekadar perkara prestasi atau kinerja semata. Jabatan ini punya arti politis yang akan sangat menentukan nasib rekan-rekan angkatan atau korpsnya.
Pencitraan hancurkan demokrasi
Sementara itu, Adhie menilai politik pencitraan yang dilakukan SBY telah benar-benar menghancurkan demokrasi. Lewat pencitraan, rekam jejak dan integritas yang dibangun selama belasan bahkan puluhan tahun, bisa dikalahkan hanya dalam tempo beberapa bulan saja.
“Namun, politik pencitraan memerlukan dana besar. Antara lain untuk membiayai survei yang pertanyaannya sudah diatur sedemikian rupa, iklan di media massa, baliho, money politic, dan lainnya. Untuk memperoleh dana besar itu, politisi harus melakukan kolusi. Nanti setelah terpilih, dia harus kembali meakukan korupsi untuk menggantikan investasi yang telah dikeluarkan selama pencalonan dan pemilihan,” tutur Adhie. mnh/abd-rhm
foto: monitorindonesia