Ada dua asumsi global berputar-putar di langit geopolitik. Pertama, barang siapa menguasai Papua maka akan eksis hingga 200-an tahun kedepan karena faktor kekayaan alamnya; kedua, faktor geostrategis dan Papua memiliki konsesi histori geopolitik global.
Tak boleh disangkal, ketika PD II dahulu, karena faktor geoposisi Papua maka MacArthur berhasil memukul mundur Jepang melalui strategi lompat katak (leapfrog strategy), yakni manuver militer dari pulau ke pulau di sepanjang pulau-pulau yang berada di Lautan Teduh (Pasific sekarang) guna memukul Jepang karena faktor geoposisi Biak dan gugusan pulau di Samudera Pasifik. Itulah konsesi sejarah Papua dalam dinamika geopolitik global, khususnya bagi kemenangan AS terhadap Jepang dalam PD II.
Jika dianalogi pada konflik global, Papua itu mirip (memiliki kesamaan) dengan Suriah. Kenapa? Suriah diperebutkan para adidaya melalui proxy warfare karena faktor energi dan geoposisi strategis karena berada di titik simpul Jalur Sutra. Jalur ekonomi dan militer yang melegenda di dunia. Itu takdir geopolitik Suriah di mata para adidaya. Bila kembali ke Papua dengan merujuk analogi Suriah tadi, bahwa menguasai Papua, maka selain memiliki konsesi atas oil, gas, emas dan potensi tambang lain, juga punya investasi geostrategi akibat geoposisi yang strategis. Dan dalam sejarah nusantara pun Papua merupakan ujung dari Jalur Rempah-rempah Nusantara yang usianya jauh lebih lama dibandingkan dengan Jalur Sutra (terpaut lebih dari 2000 tahun).
Itu artinya, jika kelak meletus PD III yang diramal bakal meletus di Asia Pasifik. Maka melihat kerusuhan Wamena kemarin, dalam perspektif asymmetric war, itu cuma isu belaka. Karena agenda yang diharap bahwa aparat Indonesia nantinya akan out of control serta melakukan pelanggaran Hak Azasi Manusia. Dan itu memang yang diharapkan dan ditunggu oleh mereka selama ini.
Nah, telaah singkat ini cuma sekedar prolog guna membuka dialog lebih luas dan dalam.
Silahkan …. (end/sumber)
Ghuzilla Humeid-Network Associate Global Future Institute (GFI)