erlawanan yang paling besar dan paling fenomenal yang kemudian melahirkan tragedi kedua. Hasan Albana yang mendirikan Ikhwanul Muslimin (IM) sebagai gerakan dakwah pada tahun 1928, yang kemudian berubah menjadi gerakan politik pada tahun 1938, dibunuh pada tahun 1949 oleh konspirasi penguasa yang didukung oleh penjajah Inggris.
Para tokoh IM kemudian berkolaborasi dengan para perwira muda yang menyebut dirinya Perwira Bebas Mesir, dan berhasil menggulingkan Raja Faruq dari singgasananya 3 tahun kemudian, tepatnya pada tahun 1952. Mereka kemudian mengubah Kerajaan Mesir menjadi Republik Arab Mesir.
Seorang Jenderal senior yang sangat disegani bernama Muhammad Najib diangkat sebagai Presiden. Akan tetapi pemerintahan secara de facto dikendalikan oleh Jamal Abdul Nasser, sang komandan perwira muda sekaligus inisiator dan komandan kudeta.
Tragedi ketiga muncul saat Muhammad Najib digulingkan, kemudian diganti oleh Jamal Abdul Nasser pada tahun 1956. Muhammad Najib ingin mengimplementasikan demokrasi, sementara Jamal Abdul Nasser menginginkan pemerintahan yang otoriter dan militeristik. Ternyata Naser dan para perwira muda yang muncul sebagai pemenang dalam pertarungan politik di tingkat elite Mesir.
Sejak naiknya Nasser menjadi orang nomor satu, secara sistematis IM disingkirkan dan tokoh-tokohnya diintimidasi dan dipenjarakan. Puncaknya terjadi pada 1966, ketika Sayyid Kutub dijatuhi hukuman mati dengan cara digantung, setelah setelah keluar-masuk penjara selama bertahun-tahun. Padahal Sayyid Kutub merupakan tokoh senior IM, sekaligus ideolog organisasi politik ini yang sangat disegani oleh para pengikutnya. Hal ini menjadi tragedi ketiga yang menimpa bangsa Mesir.