Motif Ideologis Zionis-Israel Dibalik Pelenyapan Dokumen-Dokumen Sejarah Penjajahan Palestina 1948

Sehingga menurut Ilan Pappe, dalam artikelnya tersebut di atas, pemerintah Israel berupaya menyensor arsip-arsip rahasia tersebut dalam dua konteks sekaligus. Dalam Konteks politis dan historis. Pertama dalam konteks politis, merupakan prakarsa Amerika Serikat dan Israel, untuk melakukan depolitisasi masalah Palestina.

Ketika Perdana Menteri Israel Benyamin Netanyahu menggagas konsepsi Economi Peace, dengan tujuan untuk mendorong warga Arab Palestina menghentikan tuntutan politiknya atas wilayah Palestina yang diduduki Israel, maka sebagai imbalannya pemerintah Israel akan meningkatkan taraf ekonomi warga Palestina.

Namun gagasan Netanyahu tersebut pada dasarnya merupakan tabir asap, untuk menutupi niat Israel untuk tetap melakukan aneksasi wilayah-wilayah yang diduduki warga Arab Palestina, yaitu dengan melakukan perluasan pemukiman warga bagi warga Israel, penghancuran rumah-rumah pemukiman warga Palestina, dan pembersihan terhadap warga Palestina yang bermukim di desa-desa. Jadi hekekatnya ini merupakan aneksasi Israel terhadap Area C, yaitu 60 persen wilayah yang berada di Tepi Barat dan Jalur Gaza.

Berkaitan dengan ambisi territorial tersebut, beberapa politisi Israel sudah menyatakannya secara terbuka dan terang-terangan. Termasuk Perdana Menteri Israel.

Lebih parahnya lagi, pada 2018 keluar undang-undang ihwal Israel sebagai negara bangsa. Undang-undang itu secara jelas dan gamblang menggambarkan Israel tak ubahnya seperti Negara Apartheid di Afrika Selatan pada saat masih menerapkan diskriminasi rasial terhadap warga kulit putih. Bedanya, undang-undang Israel itu ditujukan terhadap warga Arab Palestina.

Dalam salah satu pasal itu ditegaskan bahwa hak menentukan nasib sendiri di negeri Israel, hanya warga Yahudi yang berhak.  Frase kata yang digunakan adalah “unique to the Jews People.”

Pemerintahan Presiden AS Donald Trump, juga semakin memperkuat langkah kebijakan Pemerintah Israel bukan saja untuk melenyapkan masalah Palestina sebagai isu politik, melainkan juga sebagai gerakan nasional.

Salah satunya yang beberapa waktu lalu dilancarkan Presiden Trump, yaitu menyatakan Jerusalem sebagai ibukota Israel. Dan memindahkan kedutaan besar AS di Tel Aviv ke Jerusalem. Memindahkan para anggota delegasi PLO dari Washington, serta menyetop dana bantuan kepada UNRWA, badan PBB yang membantu dan membantu para pengungsi Palestina.

Lebih gilanya lagi, dalam Konferensi di Bahrain, sempat diupayakan adanya insentif berupa pemberian uang kepada para warga Palestina, asalkan bersedia untuk tidak mengangkat isu hak politik warga Palestina.

Selain menghadapi desain global AS dan Israel, di dalam tubuh Arab Palestina sendiri terbelah antara Hamas dan Fatah. Selain itu, beberapa negara Arab, terutama yang berada dalam orbit pengaruh AS seperti Arab Saudi dan negara-negara yang tergabung dalam Dewan Kerjasama Teluk, tidak peduli dengan nasib warga Palestina yang terusir dari daerah pendudukan Israel.

Melalui konteks politis inilah, pada perkembangannya kemudian masuk ke konteks historis atau kesejarahannya pun bermaksud untuk dihilangkan dari sorotan para sejarawan. Bahwa langkah yang dilakukan Israel pada 1948 tersebut, adalah tindak kolonialisme terhadap warga Arab Palestina.