Eramuslim.com -Tak hanya bentuk rumah tradisional, namun ternyata ikat kepala yang tergambar sebagai Bangsa Punt pada mural di kuil yang dibangun dinasti Firaun pada era Ratu Hatshepsut itu juga tampak mirip seperti ikat kepala tradisional ciri khas dari Suku Enggano di Pulau Enggano, Provinsi Bengkulu (lihat gambar dibawah ini).
3. Kebiasaan membawa pisau di pinggang dari jenis pisau yang mirip
Dari beberapa mural dan relief di Kuil Hatshepsut Mesir, juga terlihat sosok-sosok Bangsa Punt yang terlihat terbiasa membawa pisau tradisional yang diselipkan di pinggang.
Pisau tradisional oleh bangsa Punt dalam mural itu ternyata juga mirip seperti pisau tradisional yang digunakan pada pakaian adat di Provinsi Bengkulu (lihat gambar dibawah ini).
4. Beberapa kosa-kasa Suku Rejang Bengkulu mirip kosa kata bahasa Mesir Kuno
Dari literatur Mesir Kuno, beberapa kosa-kata bangsa Mesir Kuno memiliki kemiripan dengan kosa-kata bahasa suku Rejang di Bengkulu. Berikut beberapa diantaranya dalam tabel dibawah ini.
Selain bersumber dari relief Kuil Hatshepsut, ada beberapa argumen lain yang memberi bukti lokasi Tanah Punt berada di sekitar Pantai Timur Sumatera Bagian Selatan, yaitu:
- Lokasi di timur yang jauh dari Mesir. Tampak lokasi Pulau Enggano yang berada jauh di timur dari wilayah Mesir, yang mana pada kala itu Bangsa Mesir menggunakan kapal bercadik dalam ekspedisinya.
- Terdapat situs-situs purbakala di Sumatera bagian selatan. Di daerah Sumatera Bagian Selatan, banyak ditemukan situs-situs purbakala yang berusia ribuan tahun, diantaranya : Situs Besemah di Sumatra Selatan (berusia 4.500 tahun) dan situs Gua Harimau di Sumatra Selatan (berusia 4.840 tahun).
Penduduk Pulau Enggano
Pulau Enggano berada sekitar 100 km disebelah barat daya dari Pulau Sumatra, atau berada disebelah barat dari Provinsi Bengkulu dan termasuk wilayah provinsi tersebut.
Panjang pulau ini sekitar 35 km dengan lebar sekitar 16 km, dengan area seluas 402.6 km². Ketinggian daratannya sekitar 100 meter diatas permukaan laut dengan daratan tertinggi berada pada 281 meter diatas permukaan laut.
Penduduk asli Pulau Enggano adalah Suku Enggano, yang terbagi menjadi lima “puak asli” (penduduk setempat menyebutnya suku). Semuanya berbahasa sama, bahasa Enggano.
Suku atau Puak Kauno yang mulai menempati tempat ini pada zaman Belanda (sekitar tahun 1934).
Selain Suku Kauno, terdapat Suku Banten (pendatang), dan empat suku lainnya. Suku Enggano memakai Bahasa Enggano dalam percakapan sehari hari.
Sebagian dari mereka percaya bahwa mereka adalah bagian dari keturunan suku Batak-Nias di kepulauan Sumatra. Suku yang hanya dapat ditemui di Indonesia ini memakai bahasa Enggano – (eno).
Sebagian besar penduduk pulau Enggano merupakan masyarakat yang religius. Lebih dari 96 % penduduk menganut agama Islam & Kristen, dan sisanya masih animisme.
Mereka beraktifitas sebagai nelayan dan petani (coklat dan lada) dan dari hasil panennya dijual ke Bengkulu. Kota terbesar di pulau Enggano ada tiga buah, yaitu Barhau, Kabuwe dan Kayaapu. Pada sensus tahun 1989, pulau ini memiliki 1420 jiwa.
Angka ini bertambah, pada tahun 1994 menjadi 1635 jiwa yang mana sebanyak 64% adalah Suku Enggano atau dalam bahas Inggris disebut sebagai Engganese people.
Catatan terakhir, penduduk Pulau Enggano berjumlah sekitar 1.600 orang. Ada enam desa di Pulau Enggano yang semuanya telah terhubung oleh jalanan, yaitu Desa Kahayapu, Kaana, Malakoni, Apoho, Meok dan Banjarsari. Di pulau Enggano terdapat 5 buah Sekolah Dasar Negeri (SDN) yang terletak di desa Apoho, Banjar Sari, Ka’ana, Meok dan Kayaapu.
Penamaan “Enggano” berasal dari bahasa Portugis yang berarti “salah” atau dalam bahasa Inggris ‘mistake’. Pada 5 Juni 1596, Cornelis de Houtman mempublikasikan pulau ini, namun waktu itu ia tak sempat sampai ke daratannya. Baru pada tahun 1771, Charles Miller sukses merapat dan berhasil naik ke daratan pulau itu dan berjumpa dengan suku aslinya.
Referensi:
- Ian Shaw & Paul Nicholson, The Dictionary of Ancient Egypt, British Museum Press, London. 1995, p.231.
- Shaw & Nicholson, hal.231.