Sebut saja dia sebagai Fulan. Dua anaknya masih bersekolah di sebuah sekolah dasar swasta. Tiap pergi dan pulang kerja, Fulan selalu melewati jalan yang sama. Awalnya Fulan tidak memperdulikan sebuah spanduk berwarna kuning yang selalu digantung di depan sebuah ruko di tepi jalan. Namun suatu sore, ketika jalan yang dilaluinya macet, Fulan tanpa sengaja membaca spanduk itu. Tiba-tiba dia tertarik. Spanduk itu menawarkan sebuah program yang mengklaim mampu untuk membuat anak jenius dalam waktu singkat. Awalnya Fulan ragu, namun tulisan “Garansi Sampai Bisa” membuatnya tergoda untuk mampir ke ruko tersebut. Fulan pun membelokkan kendaraannya ke parkiran ruko itu untuk mencari tahu apa saja yang ada di dalam pelatihan tersebut.
Seorang ibu dengan ramah menerimanya. Kepada Fulan, ibu tersebut menyatakan jika lembaganya merupakan lembaga aktivasi otak anak yang dapat membuat anak menjadi jenius dalam jangka waktu singkat, hanya dalam hitungan hari. Untuk lebih meyakinkan Fulan, sang ibu tersebut memanggil seorang anak perempuan, sebut saja Jane, kelas enam sekolah dasar.
Di depan Fulan, ibu tersebut menutup kedua mata Jane dengan Blindfold, sebuah penutup mata yang terbuat dari kain yang diikat tali di kedua sisinya. Lalu setelah matanya ditutup , ibu tersebut menyodorkan sebuah bahan bacaan. Ternyata walau dengan mata tertutup, Jane mampu membacanya dengan lancar. Bukan itu saja, Jane juga mampu memilih bola dari dalam keranjang besar, sesuai dengan warna yang disebutkan ibu tadi, lalu Jane juga mampu menyebutkan warna-warna bola yang ada, kemudian Jane pun disuruh mewarnai sebuah gambar—masih dengan mata tertutup—dan berhasil.
Fulan tentu saja takjub. Dia tidak habis mengerti bagaimana anak sekecil Jane bisa memiliki “keistimewaan” tersebut.
“Setelah mengikuti semua pelatihan kami, semua anak bisa seperti Jane,” ujar ibu itu setengah berpromosi tanpa lupa menyebutkan jika lembaganya berkomitmen semua anak akan bisa menjadi jenius dengan garansi sampai bisanya. “Jika setelah ikut pelatihan anak bapak belum optimal seperti Jane, kami membuka kelas remedial dan anak bapak bisa terus mengikuti kelas ini sampai berhasil. Kami menggaransi anak bapak sampai bisa dan semuanya gratis.”
Tanpa berpikir panjang, Fulan yang memang ingin membuat anaknya secerdas Einstein—jika bisa, tentu saja—mendaftarkan salah satu anaknya ikut pelatihan tersebut. Walau untuk itu dia harus merogoh kocek dalam-dalam karena pelatihan yang hanya beberapa hari itu ternyata biayanya mahal, mencapai angka jutaan rupiah.
“Untuk masa depan anak, apa pun akan aku lakukan,” ujar Fulan di dalam hati. Tadinya Fulan ingin mendaftarkan kedua anaknya secara bersamaan, namun keterbatasan dana membuatnya harus memilih prioritas. “Biarlah si kecil nanti menyusul”
Maka anak paling tua Fulan yang sudah kelas enam pun ikut serta dalam pelatihan tersebut. Beberapa hari kemudian, pelatihan dinyatakan selesai. Anak Fulan ternyata belum bisa membedakan warna bola dan membaca dengan mata tertutup, padahal beberapa anak lainnya tampak bisa melakukan itu.
“Tenang Pak, anak bapak bisa mengikuti remedial sampai bisa. Gratis. Tempatnya di sini juga…,” ujar ibu tadi. Fulan yang tadinya ingin protes sekarang hanya bisa menggerutu. Ekspektasinya ternyata terlalu tinggi terhadap lembaga tersebut.
Suatu waktu, Fulan menceritakan hal tersebut kepada teman kerjanya. Tak disangka, temannya ini memiliki pengalaman serupa. Dia bilang jika instruktur lembaga tersebut mengatakan kepadanya bahwa anaknya kurang konsentrasi sehingga anaknya tidak optimal di dalam pelatihan.
“Sampai sekarang, walau sudah mengikuti remedial enam bulan, anak saya masih saja tidak bisa membaca dengan mata tertutup. Saya jadi lelah sendiri, akhirnya saya hentikan saja tanpa hasil,” ujarnya seraya mengatakan jika embel-embel “Garansi Sampai Bisa” hanya sebagai tipuan promosi saja. Tidak lebih.
Perasaan senasib sepenanggungan ternyata membawa Fulan dan kawannya tersebut ke sebuah komunitas korban lembaga aktivasi otak. Di dalam komunitas tersebut mereka berbagi kisah tentang penipuan yang dilakukan lembaga-lembaga aktivasi otak yang banyak bermunculan di Indonesia. Ada yang mengaku setelah anaknya ikut dalam pelatihan, ternyata dia bisa melihat dimensi lain alias melihat mahluk ghaib yang menakutkan, ada yang anaknya gagal membaca dengan mata tertutup menjadi depresi karena malu dengan teman-temannya, dan lain sebagainya.
*
Kisah si Fulan dan para orangtua lainnya seperti di atas merupakan kisah nyata. Mereka tertipu oleh promosi yang dilakukan banyak lembaga aktivasi otak yang dilakukan secara gencar, terdengar amat menjanjikan dan meyakinkan, namun ternyata malah menjadikan anak-anak mereka sebagai “kelinci percobaan”. Richard Claproth, Ph.D, di dalam bukunya “Dahsyatnya Bahaya Aktivasi Otak Tengah” (2010) memaparkan ciri-ciri kegiatan aktivasi otak mana saja yang harus dicurigai sebagai sebuah penipuan. Ciri-ciri ini sama persis dengan kegiatan aktivasi otak yang dilakukan CIA terhadap Robert Duncan O’Finioan di tahun enampuluhan. Ciri-ciri ini antara lain:
Pertama, program ini sama-sama menargetan anak-anak usia amtara 5-12 tahun dengan memakai embel-embel "berbakat", "talent", dan "Jenius";
Kedua, selama program berlangsung di dalam ruangan yang tertutup, orangtua sama sekali tidak boleh berada di dalam ruangan tersebut;
Ketiga, program ini tidak menjamin bahwa semua anak yang ikut pelatihan akan berhasil. Jika tidak berhasil, dikatakan jika anak ini tidak memiliki bakat, dan oleh karena itu tidak bisa menjadi jenius;
Keempat, dahulu diperlukan seorang instruktur yang memiliki kemampuan memancarkan sinyal melalui pikirannya, mirip telepati. Sekarang, dalam program aktivasi otak tengah, sang instruktur tidak lagi perlu mempunyai kemampuan tersebut karena program transmisinya bisa dilakukan dengan melalui sinyal audio dan visual. Sang instruktur cukup memutar audio atau video untuk didengarkan oleh anak-anak yang akan diaktivasi. Sinyal ini yang ditangkap oleh anak-anak kita dan masuk ke dalam pikiran bawah sadarnya, yang dimanipulasi dengan nama "Otak Tengah". [bersambung/rz]