Keterlibatan CIA dalam propaganda anti-Komunis di ranah kebudayaan telah lama diketahui beberapa kalangan. Dampak pengaruh intelijen—terutama pada awal karir penulis populer yang kini dikenal berideologi kiri—sangat mengejutkan. Whitney, penulis Finks sekaligus pemimpin redaksi majalah sastra Guernica, butuh empat tahun menggali arsip demi mengkonfirmasi daftar mengejutkan ini. James Baldwin, Gabriel García Márquez, Richard Wright, dan Ernest Hemingway, yang kini dianggap raksasa sastra dunia, pada masa-masa tertentu memiliki hubungan dengan jaringan intelijen Amerika Serikat. Minat CIA tak hanya pada sastra. Pelukis aliran ekspresionis seperti Jackson Pollock dan Mark Rothko juga dibiayai oleh CIA.
Fakta ini, hanya saja, jangan sampai merusak kenangan indah kita saat membaca Love in the Time of Cholera-nya Márquez yang tetaplah kisah luar biasa. Whitney menjelaskan dengan kejernihan metodis bagaimana setiap penulis menjadi antek CIA, kadang tanpa mereka sadar atau mereka setujui. Upaya Whitney justru ingin membersihkan reputasi banyak buku kanon sastra dari sekadar alat propaganda. Ini metode yang harus kita pahami di masa kiwari. Sekarang adalah era di mana algoritma Facebook mendikte perbincangan publik. Jurnalis dengan itikad terbaik sekalipun rentan terjerumus pada kisah-kisah yang dimaksudkan pemerintah Amerika Serikat (atau pemerintah lainnya) sebagai pengalihan isu.
“Pengalihan isu, termasuk lewat medan sastra, diperlukan demi mengubah pembicaraan soal hak-hak sipil di setiap negara,” kata Whitney. Pembentukan wacana di ranah kebudayaan menjadi salah satu favorit CIA selama Perang Dingin. Kita kini mudah melihat dampak operasi kebudayaan itu dalam situasi hari ini: isu-isu tergenting di negara jarang sekali menjadi berita viral. Mengingat Donald Trump beberapa minggu lagi menjabat sebagai presiden Negeri Adi Daya, Finks tiba pada waktu yang tepat. Buku ini mengekspos cara kerja mesin politik mempengaruhi narasi publik termasuk di bidang kesenian, mengatur wacana mana yang akan disebar dan mana yang dibungkam. Berikut wawancara saya dengan Whitney, membahas motivasinya menulis buku ini, sekaligus menguak apa yang bisa kita pelajari dari situasi perang dingin terhadap keruwetan era media sosial seperti sekarang.