Hari Natal, 25 Desember 1998, bertepatan dengan hari ke-6 bulan Ramadhan 1419 H. Bagi umat Kristiani Indonesia, inilah perayaan Natal pertama “bebas” dari rezim Suharto yang selama 32 tahun membelenggu demokrasi. Begitu pun dengan umat Kristiani Poso. Mereka merayakan Natal ini dengan gembira.
Tapi apa yang dilakukan Roy Runtu di hari raya agamanya itu? Pemuda ini punya cara khusus. Dia merayakannya dengan menenggak beberapa botol minuman keras hingga mabuk.
Entah mengapa, Roy lalu mendekati Ridwan, seorang pemuda Muslim Poso yang tengah berpuasa dan sedang berada di dalam masjid. Tanpa peringatan apa pun, Obet yang sedang teler ini menyabetkan sebilah golok yang sudah berada di genggamannya ke tubuh Ridwan. Ridwan tentu melawan dan memanggil teman-temannya yang berada tak jauh dari tempat kejadian.
Roy terdesak lalu kabur ke komunitasnya. Sambil berlari, Roy berteriak bahwa dirinya dikeroyok para pemuda Islam yang ada di masjid. Dalam waktu singkat berkumpul dua kelompok saling berhadap-hadapan. Untunglah polisi segera datang dan kasus ini ditutup begitu saja.
Perdamaian ini ternyata semu. Enambelas bulan kemudian, 15 April 2000, pecah lagi keributan. Kali ini Cornelis Tibo memimpin Pasukan Kelelawar Merah menyerang Desa Muslim Kamayama dan membantai penduduknya. Tibo dan pasukannya juga menyerang Pondok Pesantren Walisongo di Sintuwu Lembah Poso dan membunuh ratusan Muslim besar kecil dengan cara yang sangat biadab. Ratusan mayat itu kemudian dilarungkan ke sungai dan dikubur secara massal.
Kejadian di atas merupakan awal dari Tragedi Poso yang berkepanjangan dan sampai hari ini belum juga tuntas.
Kezaliman Pemerintah
Ketika ratusan santri Walisongo dibantai di tahun 2000, Presiden Abdurrahman Wahid sama sekali tidak melakukan reaksi apa pun. Demikian pula ketika desa-desa Muslim diserang dan dihancur-leburkan, para ustadznya dibunuh, para perempuannya diperkosa, anak-anak kecil dan bayi dilemparkan hidup-hidup ke dalam api yang tengah berkobar, pemerintah pusat sama sekali tidak bereaksi apa-apa selain mengeluarkan pernyataan yang sama sekali tidak memiliki pengaruh apa pun.
Beda sekali ketika umat Islam menyerang balik. Ketika ada masjid dibakar pemerintah diam, namun ketika ada gereja dihanguskan atau pendeta dibunuh, maka dengan amat sigap pemerintah segera bereaksi dengan sungguh-sungguh. Peristiwa pengusutan terhadap pembunuh Pendeta Irianto Kongkoli, misalnya, reaksi pemerintah sangat cepat.
Ketika Muslim dibantai, dibiarkan. Tapi ketika umat Islam berada di atas angin dan musuhnya terdesak, maka pemerintah segera mengeluarkan berbagai kebijakannya seperti Perjanjian Malino dalam beberapa episode. Upaya pemerintah ini terkesan kuat bukan sebagai upaya mengakhiri tragedi dengan adil, tapi lebih terkesan sebagai upaya melindungi satu komunitas yang sebenarnya harus bertanggungjawab penuh atas tragedi Poso karena merekalah yang memulai.
Pernyataan Wakil Presiden Jusuf Kalla—tokoh Golkar yang disebut-sebut banyak media memiliki perusahaan besar di Kota Tentena, sebuah kota pusat komunitas Kristen dekat Poso—yang ingin memutihkan semua tragedi Poso sebelum Malino I sungguh-sungguh melecehkan hukum. “Itu sama sekali tidak bisa diterima, sama saja dengan melecehkan hukum, ” ujar Koordinator Tim Pembela Muslim (TPM) Mahendradatta.
Ustadz Adnan Arsal, tokoh Muslim Poso yang tanpa lelah terus berjuang membela keadilan, saat bertemu Eramuslim di Jakarta Januari lalu mengatakan bahwa sikap pemerintah atas penyelesaian kasus Poso sangat aneh dan ganjil.
“Kondisi sekarang ini di mana rakyat banyak yang muak terhadap kehadiran polisi, bukan terjadi tanpa sebab. Ada sebab-sebab yang panjang yang terutama disebabkan oleh ketidakadilan yang diperlihatkan pemerintah dalam menangani kasus Poso, ” ujarnya lagi.
Baik Adnan Arsal, Mahendradatta, maupun Ketua PP Muhammadiyah Dien Syamsuddin, dan juga sejumlah tokoh lainnya seperti Ketua MPR Hidayat Nurwahid sepakat bahwa tindakan pemerintah pusat dalam menuntaskan kasus Poso belum maksimal. Salah satu contoh adalah pemutarbalikkan fakta tentang apa yang sesungguhnya melatar-belakangi Tragedi Poso.
Kasus Poso diawali dengan kasus kriminal yakni penyerangan yang disertai pembacokan yang dilakukan Roy Runtu terhadap pemuda Ridwan di masjid, lalu bertambah besar ketika Tibo cs dengan Pasukan Kelelawar Hitamnya membantai ratusan santri dan pengasuh Pondok Pesantren Walisongo di Sintuwu Lembah atas suruhan ke-16 orang yang telah dipaparkan Tibo sebelum kematiannya.
Namun yang terjadi kemudian adalah: Pemerintah dengan aparat keamanannya menetapkan orang-orang Islam sebagai DPO, semua DPO itu orang Islam, seolah orang Islam-lah yang harus bertanggungjawab atas terjadinya Tragedi Poso. Padahal yang sesungguhnya terjadi, umat Islam-lah korban dari Tragedi Poso.
“Inilah yang membuat Muslim Poso muak, ” tegas Adnan Arsal.
Yang Seharusnya di DPO-kan
Jika saja pemerintah mau bertindak adil—dan juga berani serta bernyali besar, bukan besar badan dan juga bukan besar gaji serta fasilitasnya—maka orang-orang yang harus diburu merupakan orang-orang yang memang harus dimintai pertanggungjawabannya.
Yang pertama tentu ke-16 nama provokator kerusuhan Poso seerti yang telah disebut oleh Tibo cs, yakni: Yanis Simangunsong, L Tungkanan, Eric Rombot, Mama Wanti, Luther Maganti, Drs. J. Santo, J. Kambotji, Drs. Sawer Pelima, Pendeta Renaldy Damanik, Paulus Tungkanan, Angki Tungkanan, Lempa Deli, Yahya Patiro (mantan Sekab Poso), dan sebagainya. Termasuk juga menelisik peranan Melly, isteri kedua konglomerat Taipan terkenal Eka Tjipta Wijaya (bos Sinar Mas group), yang pada awal-awal konflik Poso bergulir ia disebut-sebut sebagai salah seorang pemasok dana untuk pihak Kristen.
Dalam laporannya tentang Poso, majalah pekanan Al-Chairaat (Edisi 07/Tahun ke-29 Minggu II, Sept 2000), sepekan sebelum pecah kerusuhan Poso akhir Mei 2000, warga setempat melihat dua buah helikopter terbang rendah ke arah Tentena, sebuah basis Kristen, sekitar pukul 10:00 waktu setempat.
Helikopter itu membawa Melly bersama rombongan antara lain dua orang wanita dan seorang bule asal Belanda. Rombongan itu dibawa dengan mobil ke Debua, lalu ke Sangginora Poso Pesisir.
Di sana Melly, wanita kelahiran Malei Poso ini, menemui massanya. Kedatangan ibunda pengusaha Jimmy Wijaya itu ke Sangginora diembeli dalih mau mencari “anak tunggal”.
Selain itu, Tibo cs juga pernah mengungkap beberapa nama yang disebutnya dengan panggilan “jenderal” seperti jenderal H, jenderal R dan jenderal T. Jenderal H menurut pengakuan Tibo cs berperan sebagai aktor intelektual di balik pertikaian berdarah di Poso. Sebagaimana dikatakan oleh Kaditserse Polda Sulteng (ketika itu) Superintendent Andi Ahmad Abdi, usai pemeriksaan terhadap Tibo dkk, ia membenarkan nama H disebut-sebut sebagai dalang penyerangan kantong-kantong permukiman muslim di lima kecamatan dalam wilayah Kabupaten Poso, termasuk di Kota Poso sendiri.
Lalu tentu ada pejabat-pejabat daerah yang ikut bermain api. Ini pun harus diusut. Dan yang juga tak kalah penting adalah meminta pertanggungjawaban mantan Presiden Abdurrahman Wahid yang terkesan membiarkan kasus Ambon hingga merembet ke Poso, juga pengambil kebijakan di Densus-88 dan atasannya yang telah memerangi rakyatnya sendiri hingga menghilangkan nyawa belasan warga sipil yang bukan DPO.
“Jika ini terjadi di luar negeri, kasus itu sudah menjadi kasus pelanggaran HAM besar!” ujar Mahendradatta.
Yang juga harus di DPO-kan adalah para pengusaha dan pejabat di Jakarta yang membiarkan terjadinya peristiwa Poso, termasuk orang yang ingin memutihkan kasus pembantaian terhadap ratusan orang Islam sebelum Perjanjian Malino karena dia telah terang-terangan anti terhadap upaya penegakkan hukum yang berkeadilan.
Kita tentu setuju, siapa pun yang membuat rusuh Poso—tidak perduli apakah dia beragama Islam atau Kristen—harus diseret ke muka hukum.
Saat Kapolri Jenderal Sutanto dikonfirm soal tidak profesionalnya aparat kepolisian dalam kasus Poso, petinggi Polri ini berkomentar, “Setiap tindakan yang dilakukan anggota Polri selalu berpedoman kepada prosedur dan tahapan yang ada. Kita tidak bisa bertindak semaunya. Ini pedoman kita. ”
Ketua Partai Damai Sejahtera (PDS) dr. Ruyandi Hutasoit, Sp. U. MA, dalam mencermati kasus Poso mengajak agar semua pihak melakukan introspeksi. Dengan kalimatnya sendiri, kepada sesama umat Kristen, Ruyandi mengatakan, “Kami mengajak umat Kristen baik di Poso dan di seluruh tanah air, menjadikan konflik Poso sebagai proses pembelajaran bahwa kekerasan bukanlah jalan ke luar mengatasi permasalahan karena pembalasan itu adalah hak Tuhan. Jadikanlah ajaran cinta kasih Yesus Kristus harus selalu melandasi sikap dan tindakan kita, agar peristiwa seperti ini tidak terulang lagi di mana pun dan kapan pun. Kami mengajak umat Kristen di Poso untuk tetap waspada dan menghindari daerah konflik dan menunggu bantuan keamanan. ”
Sebuah seruan yang sejuk namun kurang sesuai dengan kenyataan. Karena di lapangan semua pihak sudah mengetahui bahwa sesungguhnya umat Islam-lah yang menjadi korban konflik, bukan pencetus konflik. Di Poso, selain menjadi korban kelompok Merah, umat Islam Poso juga menjadi bulan-bulanan aparat keamanan. Banyak bukti menunjukkan hal ini.
Terkait kasus penembakan yang dilakukan polisi pekan ketiga Januari lalu yang menewaskan belasan warga sipil yang bukan target DPO di Poso, Komnas HAM setelah melakukan penelusuran di lapangan menyimpulkan telah terjadi pelanggaran HAM di Poso yang dilakukan oleh aparat kepolisian.
“Adanya sejumlah korban meninggal dalam peristiwa tersebut menunjukkan telah terjadi pelanggaran HAM, khususnya hak hidup yang tertuang dalam Pasal 9 (1) dan (2) UU No 39/1999 tentang HAM, ” kata Ketua Tim Pemantau Poso Komnas HAM, Zoemrotin K Susilo, dalam jumpa pers di Gedung Komnas HAM Jakarta, Rabu (31/1).
Kalla dan Bisnis
Salah seorang pejabat pusat yang sering menunjukkan sikap yang tidak wajar adalah Wakil Presiden Jusuf Kalla. Beberapa saat setelah peristiwa penembakan Pendeta Irianto Kongkoli, dengan tegas Kalla menyebut kasus tersebut sebagai bagian dari terorisme.
Padahal kematian Kongkoli tidak begitu saja bisa dikaitkan dengan kalangan Islam Poso. Kongkoli adalah pendeta yang cukup kritis dalam memilah persoalan. Ketika diwawancarai Sinar Harapan (2/10/2006), Kongkoli dengan tegas menyatakan bahwa situasi rusuh di Poso sepertinya memang diciptakan oleh pihak ketiga yang mengambil manfaat dengan kondisi tidak menentu di Poso.
Dia menyebut kasus pelemparan granat di bekas Pos Penjagaan Brimob di Kelurahan Sayo, Poso Kota, 29 September 2006 dan berkata, “Kita tahulah, tidak mungkin ada warga sipil mempunyai peralatan militer seperti itu, apalagi pelontar granat. ” Jelas, ada pihak yang tersinggung dengan ucapannya ini.
Sikap Kalla yang lain adalah ketika terjadi penemuan mayat tiga siswi GKST Poso, 29 Oktober 2005. Menurut pengakuan Ustadz Adnan, Kalla langsung meneleponnya dan dengan nada sinis seolah sudah tahu siapa pembunuhnya. “Siapa yang membunuh!? Bukannya kamu di situ (Poso) banyak orang aliran keras, dan kamu tahu dengan kelompok pesantren Ngruki. Masak kamu tidak tahu? Berarti Anda sudah mengaku salah dong?”, kata Ustadz Adnan mengulang perkataan Kalla.
Tanpa bukti Kalla juga menuding bahwa pelaku pembacokan ketiga siswa SMUK GKST Poso pastilah perbuatan anak-anak binaan Ustad Adnan Arsal. “Siapa lagi yang potong-potong orang kalau bukan kalian. Siapa lagi yang membunuh kalau bukan orang yang berambisi masuk syurga!”
Setelah kejadian itu, Ustadz Adnan Arsal mengaku pesantrennya sering disatroni satgas anti teror Mabes Polri, baik berseragam maupun preman. Padahal, pondok pesantren yang dianggap radikal itu ternyata saat itu dihuni oleh 16 santri putri, 47 santri usia taman kanak-kanak, dan 65 santri putra seusia sekolah menengah pertama yang KTP saja belum punya. Untung saja bocah-bocah ini tidak ikut di DPO-kan.
Bocah-bocah santri pesantren Amanah kebanyakan berasal dari pondok pesantren Walisongo, Poso, yang diserang oleh Tibo cs di tahun 2000. Anak-anak kecil itu dengan susah payah lari menyelamatkan diri, masuk ke luar hutan, demi menjaga akidah dan kehormatannya dari kejaran pasukan Merah. Kini para santri itu dicurigai dan disamakan dengan teroris oleh orang yang seharusnya melindunginya.
Yang jadi pertanyaan adalah: Mengapa seluruh DPO yang dibuat polisi seluruhnya orang Islam? Mengapa Jusuf Kalla begitu reaksioner menyikapi banyak hal di Poso? Mengapa pemerintah dengan tiga presiden (Dur, Mega, dan SBY) tidak mampu untuk menegakkan hukum yang berkeadilan di Poso, melindungi rakyat yang tak bersalah dan bukan sebaliknya? Apakah mereka semua sudah siap mempertanggungjawabkan sikapnya di akherat kelak?(Rz)