Peristiwa Priok meledak lagi. Kekerasan yang masif terjadi. Antara aparat dan umat Islam. Pengulangan episode sejarah kekerasan, seperti tak pernah henti. Aparat bertindak dengan kekerasan, yang mengakibatkan tindakan balasan. Kekerasan melahirkan kekerasan. Peristiwa kemarin sore, di ujung utara kota Jakarta, seperti menyatunya kebencian, dendam, dan kemarahan yang sudah menumpuk.
Tahun 1984, Jendral Beny Murdani (Katholik), membunuhi orang-orang Islam di Priok, yang menuntut pembebasan teman mereka yang ditahan aparat keamanan. Tetapi, bukan pembebasan teman-teman mereka, justru yang didapat adalah muntahan peluru. Ratusan orang tewas, dan darah berceceran di jalan-jalan. Peristiwa itu tak pernah dibuka. Semuanya ditutup rapat. Dengan tindakan represif yang dilakukan aparat terhadap umat Islam. Semuanya itu, berlangsung di zamannya Soeharto berkuasa, dan kekerasan, sepertinya sudah menjadi bagian kebijakan rezim Soeharto terhadap umat, dan dengan stempel rupa-rupa.
Seperti di Aceh, entah sudah berapa banyak rakyat, note bene umat Islam, yang tewas dibantai aparat, karena mereka mendapatkan stempel sebagai GAM (Gerakan Aceh Merdeka). Kematian mereka itu, seperti tak masalah, karena mereka orang-orang yang dianggap membahayakan ‘NKRI’, dan ingin mendirikan negara yang lepas dari Indonesia. Jadi boleh membunuhi mereka yang dituduh separatis. Bertahun-tahun aparat keamanan melakukan operasi yang disebut dengan ‘DOM’ (Daerah Operasi Militer), yang maksudnya Aceh menjadi daerah operasi militer, membebaskan wilayah itu dari kaum separatis, yang memisahkan diri dari NKRI.
Tentu, peristiwa di Aceh, termasuk pembantaian kelompok Bantaqiyah. Di mana aparat militer melakukan operasi, dan menumpas kelompok Bantaqiyah, bersama dengan keluarga santrinya, semuanya tewas. Karena mereka dicurigai sebagai bagian dari GAM.
Ada peristiwa di Lampung, yang dikenal dengan Jamaah Warsidi, mereka juga harus menerima muntahan peluru dari aparat keamanan. Korbannya bukan hanya orang dewasa saja. Tetapi, anak-anak ikut menjadi korban keganasan aparat. Sekelompok orang yang ingin menegakkan cita-citanya ingin hidup dengan cara yang ‘Islami’, kemudian dihancurkan dengan cara kekerasan. Semuanya itu mendapatkan legalitas negara. Karena mereka sudah dianggap sebagai ancaman keamanan dan ideologi negara. Tak ada kompromi dan dialog, semuanya harus dihancurkan dengan senjata.
Selama rezi m Soeharto berkuasa, tak henti-hentinya kekerasan terjadi. Dengan berbagai tuduhan yang diberikan mereka yang sudah menjadi target untuk dihancurkan. Inilah tragedi yang dialami umat Islam. Pasca hancurnya Komunisme di Indonesia, justru umat Islam yang menjadi sasaran dari rezim Soeharto, secara ideologi (agama) dengan melakukan sekulersasi, dan menghancurkan ekonomi mereka dengan menjadikan golongan keturunan Cina, sebagai ‘anak emas’ Soeharto, yang kemudian menguasai asset ekonomi nasional Indonesia. Sampai sekarang.
Sekarang pasca reformasi segalanya tidak ada yang berubah. Orang-orang yang menjadi kroni Soeharto, terutama kalangan pengusaha keturunan Cina, semakin kokoh, dan mereka juga mengusai tanah-tanah, yang menjadi milik kalangan tradisional di Jakarta, seperti masyarakat Betawi dan Arab.
Banyak tanah-tanah yang sekarang sudah berubah status kepemilikkan dan penggunaannya. Tanah-tanah yang menjadi milik kalangan masyarakat Betawi dan Arab di Jakarta, sudah menjadi Mall, Plaza, Gedung, Kantor, Apartemen dan Café. Mereka membeli dengan harga yang murah. Tentu, semuanya tak terlepas dari campur tangan aparat dan birokrat di Jakarta, yang ikut membantu memarginalkan orang Betawi dan Arab, serta umat Islam lainnya. Mereka hanya bisa melihat kemegahan gedung-gedung di Thamrin, Sudirman, Senayan, yang mulanya adalah menjadi milik mereka, seperti yang digambarkan dalam film ‘Si Doel Anak Sekolahan’.
Kebencian, dendam, dan kemarahan, semakin kental dengan peranan Satpol PP, yang memiliki karakter, dan gaya yang mirip dengan aparat keamanan. Mereka menghadapi kalangan marginal di perkotaan dengan cara-cara yang tidak manusiawi dan represif. Termasuk mereka juga terlibat dalam penggusuran tanah-tanah yang menjadi milik umat Islam, kalangan Betawi dan Arab, yang dipaksa menjual dengan harga yang murah kepada para pengusaha , yang umumnya orang keturunan Cina. Di mana-mana.
Penggusuran pedagang kaki lima, orang-orang yang berjualan di depan Mall, Plaza, dan Cape, dan dipinggir jalan-jalan, sungguh sangat menyayat hati. Seperti mereka itu bukan saudara sebangsa, yang tidak memiliki rasa kemanusiaan. Para pedagang kecil digusur dengan kekerasan. Itu sudah menjadi pemandangan yang umum. Inilah yang mengakibatkan dendam.
Puncaknya, peristiwa kemarin di Priok, di mana pasukan Satpol PP, yang didukung aparat kepolisian, ingin menghancurkan makam Mbah Priok, yang selama ini menjadi tempat ritual, dikalangan masyarakat tradisional yang sudah berlangsung puluhan tahun. Maka amarah menjadi tak tertahan lagi. Inilah potret kekerasan yang nyata, sebagai akibat adanya sikap aparat yang tidak mau menggunakan cara- cara yang persuasif, dan lebih menggunakan kekerasan.
Seperti yang dituturkan oleh Wakil Walikota Jakarta Utara, Atmansanjaya, bahwa tanah yang sekarang menjadi sengketa itu, sudah menjadi hak PT Pelindo, berdasarkan surat Badan Pertanahan Nasional (BPN), tahun l987.
Dan, tanah seluas 5 hektar itu, sejak tahun 1999, hak penggunaan kawasan pelabuhan diberikan pemerintah kepada perusahaan Hongkong, Hutchison Port Holding. Di mana kepemilikan JICT adalah 51 persen dipegang oleh Hutchison Port Holding, melalui anak perusahaannya Grosbeak Pte Ltd. Sementara itu, sisanya 49 persennya dikuasai Pelindo II.
Demi kepentingan perusahaan asing yang sudah menguasai saham Pelindo II, maka tak segan-segan menggusur tempat, yang selama menjadi tempat ritual itu dengan kekerasan. mhi.