Alimsyah menilai hal itu berkaca dari kasus korupsi proyek Pusat Pelatihan dan Olahraga Hambalang di era Presiden Susilo Bambang Yudhoyono. Miliaran duit panas yang dihasilkan dari korupsi berjamaah tersebut tidak hanya melibatkan kalangan pejabat tinggi di eksekutif, tapi juga mengalir ke sejumlah anggota parlemen dan pengusaha, persis seperti yang terjadi dalam kasus korupsi Bansos.
“Kalau KPK serius, menurut saya dua orang ini (Herman Herry dan Ihsan Yunus) hanya pembuka pintu, yang kemudian akan membuka secara terang benderang siapa sih sebenarnya yang terlibat. Kan enggak bisa kebijakan itu hanya diambil satu dua orang,” kata dia kepada Law-Justice, Selasa (16/2/2021) lalu.
Program Bansos dari pemerintah yang disahkan melalui kerja sama rapat bersama Dewan Perwakilan Rakyat membuka peluang bagi kalangan legislatif turut andil dalam mendukung program tersebut. Hanya saja, anggota DPR tidak secara langsung terlibat menikmati peluang bisnis yang kebanyakan mekanismenya mengandalkan vendor ini. Terbukti, Herman dan Ihsan mendapat jatah kuota pengelolaan Bansos melalui perpanjangan tangan mereka.
Di luar PDI Perjuangan, Alimsyah berkeyakinan relasi koruptor bisa juga terjalin di fraksi lain, bahkan fraksi yang oposisi dengan pemerintah sekalipun. Sangkaan ini didukung kuat oleh temuan Masyarakat Anti Korupsi Indonesia (MAKI) yang menyebut ada oknum DPR di luar PDI Perjuangan yang menunjuk beberapa perusahaan ikut ambil bagian menyalurkan Bansos.
Law-Justice mencoba meminta klarifikasi dan konfirmasi kepada delapan anggota Komisi Sosial DPR yang semuanya berasal dari fraksi oposisi ihwal dugaan adanya keterlibatan peran dalam program Bansos. Mayoritas dari mereka mengaku tidak mengetahui adanya kemungkinan tersebut. Sebagian dari mereka menyatakan bahwa anggota komisi tidak banyak mengetahui teknis penyaluran Bansos selain apa yang tersebut dalam rapat komisi bersama pemerintah, semisal soal penetapan anggaran.
“Kita enggak begitu paham, saya enggak punya begitu banyak informasi terkait ini. Agak blank,” ujar Wakil Ketua Komisi VIII DPR yang juga Ketua Kelompok Fraksi Partai Keadilan Sejahtera, Bukhori Yusuf, kepada Law-Justice.
Sejumlah anggota di Komisi Hukum (Komisi III) DPR, juga menyatakan hal serupa dengan para anggota di Komisi Sosial.
Sementara itu, beberapa anggota fraksi koalisi pemerintah yang diwawancarai Law-Justice mengungkapkan jawaban yang tak jauh berbeda. John Kenedy Azis, misalnya, mengatakan fasilitas berupa kuota penyaluran bansos yang disediakan Kementerian Sosial tidak pernah sampai kepadanya. Penentuan rekanan Bansos, kata dia, adalah domain Kementerian Sosial sehingga anggota DPR tidak bisa sembarang meminta jatah kuota. Ia mengaku keterlibatan DPR terhadap program Bansos hanya sebatas keikutsertaan dalam rapat di komisi.
“Itu pun formal, tidak ada indikasi yang macam-macam,” ujar politikus Partai Golkar ini.
Alimsyah meragukan klaim anggota Komisi VIII tersebut. Menurut dia, sulit dipercaya jika para anggota komisi tidak mengetahui adanya peluang kepentingan antara DPR dan pemerintah. Pasalnya, Kementerian Sosial merupakan mitra sekaligus pihak yang diawasi oleh Komisi VIII. Justru, kata dia, klaim “tidak tahu” yang dilontarkan Komisi VIII patut dicurigai karena fungsi pengawasan DPR semestinya berjalan terhadap program Bansos.
“Kalau di Komisi VIII menyatakan tidak tahu, itu malah pertanyaan besar. Bagaimana mereka mengawasi? Ada masalah tapi kemudian mereka mengatakan kami tidak tahu?” ujar dia.