Sekali lagi, melalui media-media yang AS dan sekutu kuasai, pelbagai propaganda terus dilancarkan. Misalnya orang Papua sudah lama mengalami diskriminasi di Indonesia, sehingga mendorong mereka untuk bergabung dengan perjuangan pemberontak. Termasuk narasi-narasi peyoratif terhadap orang-orang Papua bahwa mereka dipandang lebih rendah, bau, bodoh; sering disebut monyet atau kera, karena berkulit hitam dan rambut keriting. Narasi-narasi rasisme terhadap orang Papua sengaja terus disuarakan dan tampaknya telah meningkat sejak pembentukan ULMWP. Belum lagi pemeberitaan tentang kegagalan pemerintah Indonesia untuk mengatasi masalah yang hanya akan meningkatkan resistensi orang Papua.
Maka, sepatutnyalah peristiwa Papua juga dibaca sebagai bagian dari serangkaian konflik yang diciptakan AS di Timur Tengah. Mengingat rangkaian konflik di Timur Tengah tidak bisa berdiri sendiri. Kita lihat saja penggulingan pemimpin Libya (Moammar Khadafi), kemudian Irak (Saddam Husein), perang di Suriah, Yaman dan lainnya. Hampir semua penggulingan pemimpin yang sulit diajak berkongsi dengan AS dan sekutunya selalu menggunakan instrumen isu pemimpin diktator, senjata pemusnah massal, senjata kimia dan lain-lain yang sampai sekarang tidak terbukti, alias hoax.
Libya berhasil, Irak berhasil meski dengan biaya perang yang cukup mahal. Sayangnya pasca-Saddam Husein tumbang, pemerintahan boneka AS kalah dalam Pemilu, Syiah memimpin. Bingung dengan skenario yang gagal, dan tidak mungkin menyerang Irak, dibentuklah ISIS (Islamic State of Iraq and Syria). Kita semua diperlihatkan konflik berbasis mazhab di sepanjang daratan Irak sampai Suriah. Setelah ISIS menguasai kantong-kantong minyak, ISIS kemudian dibasmi. Kita semua termakan hoax, bahwa para pelaku kekerasan di Timur Tengah adalah ulah ISIS. Nah, ketika ISIS sudah dibasmi, lantas bagaimana nasib sumber-sumber minyak yang dikuasai ISIS, bisa jadi diambil alih oleh si-empunya. Lumayan kan bisa berjualan minyak di pasar gelap.
Di Yaman, alasannya memerangi al-Houthi, milisi bersenjata yang menguasai Teluk Aden. Teluk Aden merupakan perairan yang dilalui kapal-kapal pengangkut minyak menuju Laut Merah. Al-Houthi dijadikan alasan untuk menggempur Yaman. Sudah berapa korban sipil akibat bahaya dari Plutokrasi ini. Tragisnya, dalam penyerangan Yaman ini, Arab Saudi ikut andil menurunkan personel militernya.
“Dagangan” AS yang laris di Timur Tengah sepertinya akan dipasarkan juga di bumi pertiwi melalui serangkaian peristiwa di Papua. Akankah “dagangan” AS akan ludes terjual. Semua tergantung bagaimana sikap tegas dan cerdas pemerintah Indonesia.
Sudarto Murtaufiq, Peneliti Senior Global Future Institute