Begitupun, ini baru permulaan. Karena Deklarasi Balfour yang sifatnya baru komitmen dan penetapan janji, belum ada momentum yang pas bagi Inggris menghadiahi Yahudi untuk mendirikan negara Israel.
Ironisnya, justru terjadinya Holokaus orang-orang Yahudi di Jerman semasa Adolf Hitler pada masa antara 1941-1945, kelak jadi momentum buat mewujudkan janji Inggris dalam Deklarasi Balfour tersebut.
Pada 1947, mulai benderang siasat licik Inggris dalam politik devide et impera. Pada tahun 1947 PBB memutuskan Palestina untuk dipecah menjadi dua wilayah yang sama-sama masih di bawah protektorat Inggris. Yaitu bangsa Yahudi yang diberi 56 persen wilayah Palestina, padahal warga Yahudi hanya 30 persen—itupun setelah pintu dibuka lebar-lebar bagi imigran Yahudi Eropa—dari keseluruhan penduduk. Jadi dari fakta ini saja jelas sudah, bahwa ujung tombak misi melestarikan kolonialisme Inggris di Palestina adalah Yahudi Diaspora yang tersebar di pelbagai kawasan Eropa.
Tentu saja ini dirasa tidak adil oleh Arab, sehingga membuat meradang orang-orang Arab. Karena menurut mereka, sebagian besar orang Yahudi yang bercokol di Palestina justru orang-orang pendatang.
Namun Inggris yang terkenal pandai membaca pergeseran geopolitik global, menilai saat itu merupakan momentum mewujudkan Deklarasi Balfour. Pada 14 Mei 1948, negara Israel diproklamirkan secara sepihak, padahal bangsa Arab menolak keputusan PBB 1947 dan masih mengajukan banding.
Untuk cerita selanjutnya, semua kita sudah tahu. Masih berlanjut hingga kini. Namun inti cerita ini adalah, bahwa yang sesungguhnya berperang bukan Arab versus Yahudi. Bukan antara Arab Palestina versus Israel. Melainkan perang antara negara-negara kolonial Inggris yang kemudian dilanjut Amerika Serikat, melawan Arab Palestina yang menolak penjajahan asing. Maka tak heran jika Arab Kristen, Katolik juga ikut berjuang melawan penjajahan asing. Bahkan beberapa tokohnya tak kalah militan dengan rekan-rekan seperjuangannya dari kalangan Arab Muslim.[sumber: The GlobalReview]
Hendrajit, pengkaji geopolitik Global Future Institute dan Wartawa Senior.