Begini kira-kira saran Sykes. Di sebelah Utara adalah Suriah, Lebanon, sebagian wilayah Turki, dan sebagian kecil wilayah Irak, akan dikasihkan ke Prancis. Adapun di wilayah Selatan, lanjut Sykes dengan PD-nya, yang terdiri dari Palestina, Jordan, dan Irak, akan menjadi wilayah kekuasaan Inggris.
Kalau saya baca sekarang gagasan Sykes, sebenarnya tidak perlu pintar-pintar amat, apalagi jadi jenius ahli strategi, buat ngajukan usulan semacam itu. Sejak abad ke-19 saat Turki Ustmani masih relatif berjaya, Inggris sudah berhasil mencaplok Mesir pada 1890. Padahal Mesir kala itu masih berada dalam kekuasaan Turki Ustmani, meskipun sudah melemah kendali kontrolnya atas Mesir.
Kenapa Mesir begitu penting buat Inggris? Sebab Mesir dengan Terusan Suez-nya merupakan urat nadi untuk menyambungkan Inggris dengan jajahannya di Asia terutama sekali India.
Jadi saat Sykes berteori tentang bagaimana membagi wilayah jajahan antara Inggris dan Prancis pada 1915, pemerintah Inggris sudah mempraktekkannya pada akhir abad ke-19.
Namun betapapun tidak orisinalnya gagasan Sykes, berbeda dengan jenius ahli strategi seperti Lawrence yang berhasil mendorong terciptanya dua negara Arab yaitu Irak dan TransYordania, namun justru Sykes nampaknya diundang dalam rapat itu bukan karena kecerdasannya, melainkan karena Sykes dihadirkan sekadar sebagai legitimasi atau pembenaran ilmiah atas sebuah rencana atau agenda Inggris pasca Perang Dunia I, yang nampaknya waktu itu masih dirahasiakan. Bahkan Sykes pun bisa jadi nggak tahu.
Maka kalau mau tahu kenapa Palestina sekarang begitu tragis nasibnya sebagai obyek wilayah jajahan, maka di rapat inilah segalanya bermula. Bukan gegara Sebab selain Sykes, ada seorang pentolan kabinet lainnya yang hadir di rapat tersebut, dan otak liciknya mulai bekerja justru ketika Sykes melontarkan usulannya dalam rapat tersebut. Yang mana imajinasinya boleh jadi lebih daripada yang dibayangkan oleh sang pengaju proposal itu sendiri, Sykes Mark.
Sosok yang hadir dalam rapat yang saya maksud tadi adalah, Arthur Balfour. Balfour saat itu belum menjadi menteri luar negeri Inggris, melainkan Laksamana Angkatan Laut Inggris. Entah karena kagum pada penguasaan ilmunya Sykes, atau sekadar memantik imajinasinya untuk kemudian Balfour membuat gagasan tersendiri yang lebih praktis, entahlah. Tapi yang jelas propisal Sykes dianggap serius benar oleh Balfour.
Lebih anehnya, lagi, dua tahun setelah rapat tersebut Balfour diangkat jadi menteri luar negeri. Nah sewaktu jadi menteri luar negeri inilah, lahir yang namanya DEKLARASI BALFOUR. Intinya, deklarasi ini membuat janji atau komitmen bahwa pemerintah Inggris untuk membantu pembentukan negara Yahudi di Palestina.
Gimana, jelas tho sekarang. Tentu saja kemunculan Deklarasi Balfour ini tentu saja ada proses yang jadi prakondisi sebelumnya, seperti begitu kuatnya tekanan dan desakan dari lobi Yahudi seperti yang digagas seorang Yahudi Austria, Theodor Herzl. Menurut Herz, bangsa Yahudi menurutnya tidak akan bisa selamat hingga memiliki negara sendiri. Kelak Theodor Herzl ini dianggap bapak Zionisme Israel.
Tapi dalam urusan pelik menyangkut kepentingan Yahudi ini, selain Balfour ada satu tokoh lagi di jajaran kabinet Inggris pada PD I tersebut, yaitu Herbert Samuel. Nah yang satu ini, memang turunan Yahudi. Jadi kalau kita cermati, meski kemudian pada 1918 lahir Deklarasi Balfour, tapi pemain kunci di tinkat praksis dan punya jaringan luas dengan Zionisme Yahudi, ya Herbert Samuel itu tadi.
Buktinya, adalah Herbert Samuel itu pula yang pada 1920 ditunjuk menjadi High Commisioner (semacam perwakilan pemerintahan Inggris) di Palestina. Inilah kali pertama setelah 2000 tahun, Yahudi berkuasa lagi di Palestina. Meskipun waktu itu Palestina masih merupakan daerah protektorat Inggris yang secara teknis ya jajahan Inggris.
Justru karena Palestina bersatus sebagai protektorat Inggris hasil keputusan Liga Bangsa-Bangsa itulah, prakondisi terciptanya kisruh jangka pajang dan pertikaian antara Yahudi versus Arab(Islam, Kristen, Katolik) mulai meletup.