Perjalanan Panjang Singapura menjadi "Singa" di Asia
Singapura yang pada zaman Singasari kita sebut sebagai Tumasik, adalah sebuah negara dengan luas, tak lebih besar dari Kabupaten Karawang, JawaBarat. Sebuah negara nir sumber daya alam dan kekayaan bumi. Sebuah negarayang benar-benar tak bisa menggantungkan kehidupannya dengan kekayaanalam. Sir Thomas Stamford Raffles pada awal abad 19,tepatnya 1819 mulai merintis "kehidupan" di Tumasik. Raffles yang tahu Tumasik secara geografis menjadi perlintasan dagang internasional mulai menyewanya dari seorang pangeran Melayu.
Tahun berjalan, zaman berganti. Pada tahun 1942 tentara Dai Nippon
mengalahkan sekutu di beberapa wilayah Asia, termasuk Indonesia, Malaysia,Kalimantan Utara (kini Brunei, red) dan juga Singapura. Peristiwa iniadalah salah satu kurun yang paling mengejutkan bagi Singapura yang sama sekali tak pernah menyangka Inggris kalah oleh tentara Matahari Terbit.
Jepang masuk ke Singapura pada 12 April 1942 dan mengganti namanya dengan Syonan, yang artinya Cahaya dari Selatan. Penamaan ini berkaitan pula dengan posisi strategis yang dimiliki Singapura. Sebuah pulau kecil yang nantinya akan menjadi negara dari selatan dan turut berperan besar dalam percaturan dunia. Mengapa Singapura diidentikkan sebagai selatan, sekedar informasi, karena memang selamanya penjajahan konon selalu datang dari utara. Coba saja perhatikan, dan sebagai tambahan bahan tentang Utara-Selatan ini bisa membaca novel Pramoedya Ananta Toer, Arus Balik.
Tapi Jepang tak lama-lama memegang kemenangan yang telah diraihnya. Setelah direbut kembali oleh Inggris, Singapura menjadi sebuah pulau tambang uang untuk melunasi utang-utang yang dimiliki Inggris. Tak hanya Singapura tepatnya, Malaysia dan Brunei pun terkeruk juga untuk melunasi utang yang diakibatkan perjanjian Lend
and Lease Act, perjanjian pembayaran biaya sewa alat-alat perang pada Amerika. Tentang hal itu bisa dibaca di buku The Genesis of Malaysia Konfrontasi: Brunei and Indonesia 1945 – 1965 karya Greg Poulgrain.
Roda zaman terus bergulir dan Singapura pun menjadi negara mandiri setelah melepaskan diri dengan Malaysia pada tahun 1965. Lee Kuan Yew menjadi The Founding Father of Republic Singapore. Negara yang hanya memiliki garis pantai 150.5 kilo meter ini pelan-pelan tapi pasti menjadi negara yang berbeda dengan negara-negara di Asia Tenggara umumnya. Baik secara demografis, maupun sejara finansial. Secara demografis, etnis Cina menjadi mayoritas di negara ini dengan jumlah kurang lebih 75 persen dari total penduduk 3 juta. Sisanya 25 persen dibagi-bagi beberapa etnis, Melayu, Tamil dan juga India. Secara finansial, karena tidak memiliki sumber daya alam satu pun, orientasi ekonomi Singapura sejak awal mengarah pada industri jasa. Profit oriented inilah yang membuat Singapura membuka dirinya bagi siapa saja, atau negara mana saja yang ingin menanamkan modal dan bekerjasama.
Singapura tidak salah dalam hal ini. Singapura harus menggunakan cara ini sebab ia beda dengan Brunei yang melimpah sumber daya dan kekayaan alamnya. Satu-satunya cara agar Singapura eksis sebagai negara adalah membuka dirinya dan membangun besar-besaran industri jasa. Dan hal itu berhasil, selain karena Singapura memang strategis di jalur pasar dunia, ada beberapa hal lain yang membuatnya menarik di mata Israel dan Amerika.
Ya, dua negara itulah yang masuk Singapura dengan membawa segudang kepentingan. Ditambah lagi Singapura memang terobsesi dan menjadikan Israel sebagai negara model yang akan ia tiru dalam bidang keamanan dan pertahanan. Singapura menjadikan Israel sebagai model percontohan di bidang keamanan dan Switzerland sebagai model di bidang ekonomi. Sebab, Singapura dan Israel nyaris sama dalam bidang yang satu ini. Israel adalah negara kecil (merebut tanah dan berusaha menjadi negara tepatnya) di tengah-tengah komunitas Arab Timur Tengah. Israel adalah masyarakat Yahudi
yang dikepung orang-orang Arab. Sedangkan Singapura merasa dirinya begitu pula, negara kecil dengan mayoritas etnis Cina yang hidup di kawasan Asia Tenggara dengan etnis mayoritas Melayu Muslim pula.
Di poin terakhir inilah (tentang mayoritas Muslim Melayu), kepentingan
Israel, Amerika dan Singapura bertemu, melakukan simbiosis mutualisme, saling menguntungkan, saling memberi manfaat dan memanfaatkan.
Sebetulnya tak ada yang salah jika Singapura mengeruk keuntungan darikerjasamanya dengan Israel dan Amerika. Negara harus tetap berjalan, danuntuk itu diperlukan biaya yang tidak ringan. Semua kemungkinan capital investment harus digali, dan lebih lanjut dimanfaatkan, dan yang mempunyai peran besar dalam hal ini adalah Israel dan Amerika.
Memang tak ada yang salah, selama proses dan pencapaian tidak
mengorbankan, melindas, melibas dan melakukan intrik politik yang tidak sehat. Tapi dalam kasus ini tampaknya memang ada yang salah. Dalam masa-masa kemerdekaan Indonesia, nama Singapura bukan barang baru dalam kosakata intelijen internasional, terutama intelijen Amerika dan Inggris. Lewat Singapura beberapa rencana menghalangi Indonesia merdeka pernah dirilis oleh Kerajaan Inggris.
Saat Republik Indonesia baru seumur jagung, beberapa aspirasi yang tak terakomodasi menjelma menjadi sebuah pemberontakan, baik dari tubuh yang menamakan diri kelompok nasionalis, komunis sosialis, maupun dari kekuatan Islam. Dan salah satu yang menonjol adalah PRRI (Pemerintah Revolusioner Republik Indonesia) di Sumatera pada tahun 1958. Sebelumnya, letupan-letupan kecil yang menjadi embrio pemberontakan telah nampak dengan terbentuknya berbagai dewan, di Sumatera khususnya. Ada Dewan Gajah di Sumatera Utara, Dewan Banteng di Sumatera Barat, Dewan Garuda di Sumatera Selatan, dan Dewan Manguni di Sulawesi Utara. Ahmad Husein, Maludin Simbolon, Barlian dan Sumual adalah tokoh-tokoh dari berbagai dewan tersebut.
Riak-riak aspirasi yang tak terakomodasi ini kemudian menjelma menjadi gelombang besar, salah satunya adalah –dan ini yang paling dominan—karena pihak luar yang tak menginginkan Indonesia merdeka bermain, membantu membesarkan riak yang kecil baik dengan dana, senjata dan juga informasi-informasi intelijen dan strategi. Dalam sebuah buku yang terbit di London, pada tahun 1961 yang berjudul Rebels in Paradise: Indonesia Civil War, James Mossman menulis, “Bukan rahasia lagi bahwa Inggris dan Amerika Serikat selalu berhubungan dengan kaum pemberontak. Inggris melakukan kontak lewat agennya di Singapura dan Malaysia, dan Amerikalewat Formosa dan Manila.”
Bahkan tak hanya menyokong kaum pemberontak, Amerika dan Inggris khususnya melakukan provokasi terbuka di beberapa wilayah Indonesia bagian timur yang berbatasan langsung dengan Malaysia yang bekas koloni mereka. Dalam buku The Genesis of Malaysia Konfrontasi: Brunei and Indonesia 1945 – 1965 karya Greg Poulgrain Anda akan menemui banyak data yang saya kutip serba sedikit dalam paragrap ini. Inggris tak mau kemerdekaan yang diraih oleh bangsa Indonesia mempengaruhi negara-negara jajahannya yang berbatasan
langsung dengan Indonesia seperti Malaysia, Singapura dan juga Brunei. Sebab, jika di ketiga negara ini kemerdekaan Indonesia menjadi inspirasi, rakyat akan menuntut kemerdekaan yang sama dan jelas ini sama artinya Inggris akan kehilangan tambang uang. Karena tak rela kehilangan tambang uang inilah Inggris melakukan beberapa provokasi langsung di Kalimantan Barat, Kalimantan Tengah, Kalimantan Timur dan Riau. Pada tahun 1964 saja tercatat 213 provokasi yang dilancarkan pihak Inggris di beberapa wilayah tersebut di atas.
Tentang keterlibatan Singapura, Audrey R. Kahin dan George McTurnan Kahin dalam Subversion as Foreign Policy, The Secret Eisenhower and Dulles Debacle in Indonesia menyebut Singapura sebagai sentral kendali di Asia Tenggara. “Singapura juga salah satu pusat pengendalian kekuasaan regional baik dengan intelijen maupun dengan pemasokan senjata dan serdadu.”
Waktu berjalan lagi, komunis tak mendapat tempat di Indonesia dan Islam meski tidak secara politis menguat dengan signifikan dan menjadi mayoritas dari tahun ke tahun. Konstalasi foreign relation yang tadinya Inggris, Amerika, dan Singapura pun berganti menjadi Amerika, Israel dan Singapura. Apalagi setelah Israel terlibat aktif dan sangat dalam pada pembentukan sistem pertahanan dan pasukan bersenjata milik Singapura. Maka tak berlebihan jika ada yang menyebutkan bahwa Singapura, sejatinya adalah satelit, bahkan kepanjangan tangan Israel di Asia Tenggara. (selesai)