Berikut ini merupakan laporan khusus yang ditulis oleh Ketua KPK-N (Komite Penyelamat Kekayaan Negara), Marwan Batubara *). Laporan khusus ini tersaji dalam sebuah buku beliau yang berjudul ‘Menggugat Pengelolaan Sumber Daya Alam, Menuju Negara Berdaulat’.
Insya Allah, Eramuslim akan memuat tulisan ini dalam rubrik laporan khusus yang disajikan secara berseri.
***
Kasus AMDK
Selain pada privatisasi PDAM yang melibatkan asing, kerugian juga terjadi pada produksi air minum dalam kemasan (AMDK). Dari sejumlah 246 perusahaan AMDK yang beroperasi di Indonesia dengan total produksi sebesar 4,2 miliar liter pada tahun 2001, 65% dipasok oleh 2 badan hukum perusahaan asing, yakni Aqua (Danone) dan Ades (Coca Cola Company). Sisanya 35% diproduksi oleh 244 perusahaan AMDK lokal.
Aqua merupakan pelopor bisnis AMDK, dan saat ini menjadi produsen terbesar di Indonesia. Bahkan pangsa pasarnya sendiri sudah meliputi Singapura, Malaysia, Fiji, Australia, Timur Tengah dan Afrika. Di Indonesia Aqua menguasai 80 persen penjualan AMDK berbentuk galon. Sedangkan untuk keseluruhan bisnis AMDK di Indonesia, Aqua menguasai 50% pasar. Saat ini Aqua memiliki 14 pabrik yang tersebar di Jawa, Sumatra, Bali dan Sulawesi.
Produsen AMDK merk Aqua, PT. Golden Mississippi (kemudian bernama PT Aqua Golden Mississipi) didirikan oleh Tirto Utomo (1930-1994) pada 23 Pebruari 1974. PT Aqua Golden Mississipi (AGM) bernaung di bawah PT. Tirta Investama. Pabrik pertamanya didirikan di Bekasi. Sejak saat itu, orang Indonesia mulai mengkonsumsi AMDK dengan membeli.
Danone, sebuah korporasi multinasional asal Perancis, berambisi untuk memimpin pasar global lewat tiga bisnis intinya, yaitu: dairy products, AMDK dan biskuit. Untuk dairy products, kini Danone menempati posisi nomor satu di dunia dengan penguasaan pasar sebesar 15%. Sedangkan untuk produk AMDK, Danone mengklaim telah menempati peringkat pertama dunia lewat merek Evian, Volvic, dan Badoit. Sebagai produsen AMDK nomor satu dunia, Danone harus berjuang keras menahan gempuran Coca-Cola dan Nestle. Danone terus menambah kekuatannya dengan memasuki pasar Asia, dan mengambil alih dua perusahaan AMDK di Cina.
Di Indonesia, Danone berhasil membeli saham Aqua pada tanggal 4 September 1998. Aqua secara resmi mengumumkan “penyatuan” kedua perusahaan tersebut. Tahun 2000 Aqua meluncurkan produk berlabel Aqua-Danone, dan tahun 2001, Danone meningkatkan kepemilikan saham di PT. Tirta Investama dari semula 40% menjadi 74%, sehingga Danone kemudian menjadi pemegang saham mayoritas Aqua-Danone.
Dalam berbisnis, Aqua-Danone kerap melanggar prinsip good corporate governance (GCG) dan merugikan masyarakat. Salah satu contoh adalah pada eksploitasi air di Kubang Jaya, Babakan Pari, Kabupaten Sukabumi. Mata air di Kubang telah dieksploitasi habis-habisan oleh Aqua sejak tahun 1992. Sebelumnya kawasan ini adalah lahan pertanian, yang kemudian dirubah menjadi kawasan ‘seperti hutan’ yang tidak boleh digarap. Sekeliling kawasan mata air Kubang dipagari tembok oleh Aqua-Danone dan dijaga ketat oleh petugas. Tak ada seorang pun yang boleh memasuki kawasan tersebut tanpa surat ijin langsung dari pimpinan kantor pusat Aqua Grup di Jakarta.
Pada awalnya air yang dieksploitasi adalah air permukaan. Namun sejak 1994, eksploitasi jalur air bawah tanah dilakukan menggunakan mesin bor tekanan tinggi. Sejak saat itu kualitas dan kuantitas sumberdaya air di wilayah tersebut menurun drastis. Masyarakat harus membayar mahal karena dampak berkurangnya ketersediaan air bersih. Tinggi muka air sumur milik kebanyakan warga maksimal hanya tinggal sejengkal (~15 cm). Bahkan beberapa sumur menjadi kering samasekali. Padahal sebelumnya, tinggi muka air sumur mencapai 1-2 meter. Ketika sumber air belum dieksploitasi, masyarakat hanya menggali sumur sedalam 8-10 meter untuk kebutuhan air bersih. Sekarang, warga perlu menggali hingga lebih dari 15-17 meter, atau membeli mesin pompa untuk mendapatkan air.
Masalah lain di Kubang Jaya adalah, kurangnya ketersediaan air untuk kebutuhan irigasi pertanian. Masalah ini dialami petani dari hampir semua kampung di kawasan desa Babakan Pari. Para petani di beberapa kampung tersebut saling berebut air karena ketersediaan air yang sangat kurang. Bahkan beberapa sawah tidak mendapat bagian air dan mengandalkan air hujan saja. Akibatnya, banyak sawah kekeringan pada musim kemarau dan mengakibatkan masalah perekonomian serius bagi para petani.
Hal serupa juga terjadi di Polanharjo, Kabupaten Klaten, Jawa Tengah. Aqua-Danone mengeksploitasi air besar-besaran dari sumber mata air sejak 2002. Padahal, mayoritas penduduknya bekerja di sektor pertanian. Karena debit air menurun drastis sejak Aqua-Danone beroperasi, maka petani harus menyewa pompa untuk irigasi. Parahnya, untuk kebutuhan sehari-hari pun, warga harus membeli air dari tangki air dengan harga mahal. Hal ini karena sumur-sumur mereka sudah mengering akibat “pompanisasi” besar-besaran yang dilakukan Aqua-Danone. Ini sangat ironis mengingat Kabupaten Klaten merupakan wilayah yang memiliki 150-an mata air.
Hal ini kemudian memicu reaksi dari masyarakat petani dan pemerintah daerah di Kabupaten Klaten pada tahun 2004. Karena Air yang dulu melimpah mengairi sawah, kini mulai mengering dan menyusahkan para petani di Desa Kwarasan, Kecamatan Juwiring, Kabupaten Klaten, Provinsi Jawa Tengah. Akibatnya pemerintah Kabupaten Klaten juga mengancam akan mencabut ijin usaha perusahaan tersebut, tapi sampai saat ini eksploitasi air tanah di Klaten oleh Aqua-Danone masih terus berlangsung.
Diperkirakan eksploitasi air yang dilakukan pada sumber-sumber air di Kabupaten Klaten oleh Aqua-Danone mencapai 40 juta liter/bulan (Balai Pengelolaan Pertambangan dan Energi/ BPPE). Jika dengan estimasi harga jual Rp 80 miliar/bulan maka nilai eksploitasi air mencapau Rp 960 miliar/tahun. Sementara itu, untuk eksploitasi di Klaten tersebut, Aqua-Danone/ PT Tirta Investama (AGM) hanya membayar retribusi Rp 1,2 miliar, sebagai PAD Kabupaten Klaten, dan sekitar Rp 3-4 juta pembayaran pajak (Pasal 5 Keputusan Gubernur Provinsi Jawa Tengah, Tahun 2003). Untuk di sumur Klaten yang seharusnya hanya diizinkan untuk menyedot air sebanyak 20 liter/detik (karena tanpa Amdal), pihak Danone-Group mampu menguras air hingga 64 liter/detik.
Kasus Penyelewengan AMDK Aqua-Danone
Aqua-Danone hingga saat ini telah memiliki 14 pabrik dengan 10 sumber air berbagai daerah di Indonesia, yakni Berastagi Sumut, Jabung dan Umbul Cancau (Lampung), Mekarsari, Sukabumi (Jabar), Subang, Cipondoh (Jabar), Wonosobo, Mangli (Jatim), Klaten, Sigedang (Jateng), Pandaan (Jatim), Kebon Candi (Jatim), Mambal (Bali) dan Menado, Airmadidi (Sulut). Dua sumur terbesar yang mensuplai lebih dari 70% air merk Aqua ialah sumur Klaten dan Sukabumi. Di Bursa Efek Indonesia (BEI), perusahaan Aqua-Danone terdaftar dengan nama Aqua Golden Mississipi (AGM). Publik memiliki sekitar 6% saham AGM
Dalam hal nilai saham, tercatat bahwa Aqua-Danone telah mengalami kenaikan harga yang spektakuler selama menjadi perusahaan terbuka. Jika pada saat pertama kali go public saham AGM hanya berharga beberapa ribu rupiah (anggap saja Rp 10.000) per lembar, maka pada tahun 2008 meningkat menjadi sekitar Rp 130.000. Saat ini (September 2009) harga saham AGM adalah sekitar Rp 240.000 per lembar. Berulangkali sejak tahun 2000 hingga 2004, atau juga berlanjut hingga beberapa tahun terakhir, AGM berupaya untuk delisting (menjadi perusahaan tertutup) dari BEI. Karena harga sahamnya terus meningkat, maka keinginan delisting ini patut dipertanyakan atau malah dicurigai.
Tampaknya AGM tidak ingin melaporkan kegiatan usahanya setiap tahun, terutama jika memperhatikan praktik bisnis yang dijalankan selama ini yang jauh dari prinsip good corporate governance. AGM atau Aqua-Danone tampaknya ingin meneruskan prilaku koruptif penyedotan air tanpa kontrol, menyembunyikan data produksi dan pendapatan, termasuk upaya penggelapan pajak yang telah berlangsung sebelumnya, sebagaimana diuraikan berikut ini.
Dari seluruh pabrik AMDK yang dimiliki, diperoleh informasi bahwa produksi Aqua-Danone terus meningkat dari tahun ke tahun (lihat Tabel 1). Namun meskipun produksi air kemasan terus meningkat, laba kotornya malah mengalami penurunan atau stagnan. Sejak tahun 2001 hingga 2008, AMDK yang diproduksi telah meningkat dari 2,3 miliar liter menjadi 5,71 liter, atau peningkatan sekitar 250%. Namun laba kotor perusahaan justru lebih rendah, yaitu turun dari Rp 99,01 pada tahun 2001 menjadi Rp 95,63 miliar pada tahun 2008. Penurunan ini tampaknya tidak wajar dan pantas untuk diusut lebih lanjut.
Disamping memanipulasi informasi tentang produksi air dan laba kotor di atas, Aqua-Danone juga melakukan berbagai hal yang tidak sesuai dengan prinsip-prinsip good corporate governance, termasuk dalam asal-usul pemilikan saham. Secara garis besar, berbagai dugaan penyelewengan yang terjadi pada Aqua-Danone antara lain adalah:
• Aqua-Danone selalu mencantumkan pada label kemasan air minumnya sebagai produk yang bersumber dari mata air alami pegunungan. Namun pada kenyataannya, sumber AMDK merk Aqua ini berasal dari eskplotasi air tanah di berbagai daerah dengan menggunakan berbagai peralatan canggih;
• Danone mengaku memiliki 74% Tirta Investama. Namun dalam lembaran negara tahun 2002, nama Danone tidak tercantum sebagai pemegang saham Tirta Investama. Yang tercantum adalah pemegang saham dengan nama-nama pribadi/swasta yang berdomisili di Singapura. Pemerintah Indonesia harus mengusut manipulasi ini, termasuk mengusust hubungaan Danone dengan swasta-swasta tersebut;
• Melaksanakan operasi penyedotan air di sebagian lokasi hanya dengan menggunakan memorandum of understanding (MOU) dengan pemda masing-masing lokasi. Hal ini jelas tidak mempunyai landasan hukum. Dalam hal ini, Aqua-Danone harus mematuhi peraturan dari Departemen ESDM, termasuk dalam membuat kontrak dengan pemerintah, tidak sekedar MOU;
• Menyedot air tanah pada lokasi penambangan air di daerah-daerah , umumnya tanpa AMDAL, karena Aqua-Danone mengaku menyedot jumlah air di bawah kewajiban AMDAl. Aqua-Danone wajib memiliki AMDAL jika mengeksploitasi air lebih dari 50 liter/detik. Untuk menghindari kewajiban ini, Aqua-Danone secara resmi mengaku mengeksploitasi dalam volume yang lebih rendah dari 50 liter/detik, meskipun pada praktiknya yang disedot melebihi 50 liter/detik;
• Sejalan dengan pelanggaran AMDAL, Aqua-Danone menyedot air dari lokasi penambangan dalam jumlah/volume (debit) yang umumnya tidak transparan. Umumnya terjadi perbedaan antara volume air yang disedot (dan jumlah sumur yang digunakan) dengan volume (dan jumlah sumur) yang dilaporkan secara resmi. Seperti terjadi di Klaten, yang diijinkan untuk disedot 20 liter/detik, namun kondisi riil di lapangan adalah 64 liter/detik;
• Menggelapkan pembayaran sebagian kewajiban retribusi penyedotan air kepada pihak pemda-pemda sebagai akibat diturunkannya (direndahkan/under-valued dengan sengaja) volume air yang dilaporkan secara resmi, dibanding volume yang sebenarnya disedot;
• Meggelapkan pajak karyawan ekspatriat dengan cara menurunkan (merendah-rendahkan) besarnya gaji dibanding yang sesungguhnya. Sebagai contoh, seorang ekspatriat bernama Bui Khoi Hung Gilbert (sesuai bukti-bukti yang penulis terima dari yang bersangkutan), bekas karyawan Aqua-Danone (2004-2006) secara resmi bergaji sekitar € 7.600 atau US$ 10.600 /bulan (US$ 127.680/tahun). Namun oleh manajemen Aqua-Danone, yang bersangkutan dilaporkan hanya bergaji US$ 2000/bulan (US$ 24.000/tahun). Jika besarnya PPH adalah 35%, maka besarnya pajak yang digelapkan adalah 35% x US$(127.680-24.000) = US$ 36.288, atau sekitar Rp 362 juta/tahun. Aqua-Danone mempekerjakan ekspatriat sekitar 15 -20 orang. Dengan demikian, kerugian negara akibat penggelapan pajak penghasilan (PPH) yang dilakukan Aqua-Danone adalah Rp 5,43 miliar – Rp 7,24 miliar per tahun.
• Dalam rangka mengurangi beban biaya operasi, merubah status sebagian “karyawan tetap pribumi”, dengan cara mem-PHK dan dialihkan ke suatu yayasan. Karyawan tersebut kemudian dipekerjakan kembali sebagai tenaga outsourcing yang dikontrak melalui yayasan tersebut.
Pengamat bisnis Erwin Ramedhan yang telah lama mengamati gerak-gerik Aqua-Danone, mempersoalkan status hukum PT. Tirta Investama selaku induk perusahaan Aqua-Danone. Dalam berbagai kesempatan sering diungkapkan bahwa PT. Tirta Investama merupakan susidiary atau anak perusahaan Danone. Namun tidak dijelaskan Danone mana yang dimaksud, apakah Danone Paris, Danone Asia Pte Ltd Singapore, atau Danone Asia Pacific Shanghai. Jika diperiksa di lembaran berita negara tahun 2002, Danone tidak tercatat sebagai pemegang saham PT.Tirta Investama. Yang ada hanyalah perusahaan-perusahaan Singapura seperti Feddian dan Sondon selaku pemegang saham tersebut.
Selanjutnya, Danone mengaku sebagai pemegang saham Aqua Golden Mississippi yang telah dijualnya kepada PT. Tirta Investama. Hal inilah yang menyebabkan status PT. Tirta Investama menjadi tidak jelas dengan berbagai istilah-istilah lain, seperti anak perusahaan (subsidiary), strategic alliance, co-branding, partnership dan lain-lain. Banyak kalangan menduga bahwa hal tersebut merupakan strategi Aqua-Danone untuk menghilangkan semua kemungkinan transparansi korporat demi gerak bebas modal, pimpinan holding dan penentu finansial dan bahkan tindakan pencucian uang.
Seperti dimuat di Kompas tanggal 3 April 2009 yang lalu, Group Danone berinisiatif mengalokasikan dana sebesar € 100 juta atau sekitar Rp 1,5 triliun untuk membaiayi proyek-proyek sosial yang berorientasi pada pembangunan yang berkelanjutan di sejumlah negara. Indonesia merupakan negara yang diperioritaskan memperoleh bagian terbesar dari dana tersebut. Kita patut berterima kasih atas adanya bantuan tersebut, terutama jika sumber dana bantuan dapat dipertanggungjawabkan dan bantuan diberikan tanpa pamrih. Namun di sisi lain kita bertanya-tanya, mengapa Danone mampu memberikan bantuan di saat krisis global sedang memuncak. Kita juga sedikit khawatir, mengapa bantuan diberikan pada saat menjelang Pemilu.
Terlepas dari itu semua, kita meminta semua pihak untuk bersikap transparan: Danone harus mendeklarasikan berapa sebenarnya jumlah bantuan yang diberikan dan kepada siapa atau instansi mana diberikan. Kita juga menuntut lembaga negara yang telah menerima bantuan tersebut untuk menyampaikan kepada publik segala sesuatu terkait bantuan tersebut. Kita meminta agar BPK mengaudit penerimaan dan penggunaan dana bantuan, termasuk meminta Presiden SBY memerintahkan klarifikasi atas bantuan Danone ini.
Berbagai penyelewengan Aqua-Danone yang diuraikan di atas merupakan bukti bagaimana satu MNC menjalankan bisnis air di Indonesia, yang antara lain mendapat legitimasi UU No.7 Tahun 2004. Disamping itu Aqua-Danone tampaknya memang menjalankan praktik bisnis yang tidak sesuai dengan prinsip GCG, melanggar etika dan aturan hukum yang berlaku. Untuk itu semua lembaga negara terkait, seperti Departemen ESDM, Departemen Keuangan, Departemen LH, Departemen Dalam Negeri, Ditjen Pajak, Polri, dsb., harus mengusut kasus ini secara terintegrasi Seluruh ketentuan teknis, prosedur operasional dan pertaturan yang berlaku harus ditegakkan.
Kita sebagai bangsa harus menegakkan kedaulatan negara dan mengutamakan kepentingan rakyat, serta menjaga martabat bangsa dari segala bentuk moral hazard, termasuk intervensi dan suap dari asing. Penulis sendiri telah melaporkan dugaan kejahatan korporasi yang dilakukan oleh Aqua-Danone kepada Ditjen Pajak dan KPK pada bulan Nopember-Desember 2008 yang lalu, tanpa hasil yang diharapkan….
Menggugat Pemerintah
Privatisasi air telah menyebabkan hilangnya jaminan pelayanan hak dasar rakyat atas air, melanggar HAM, membuat akses masyarakat terhadap air terbatas dan mahal, merusak lingkungan, menimbulkan krisis air, mengganggu kebutuhan pertanian dan kehidupan dasar rakyat. Privatisasi PDAM dan bisnis AMDK oleh MNC telah mendatangkan berbagai dampak negatif yang seharusnya menjadi perhatian pemerintah untuk melakukan tindakan korektif. Peran pengelolaan air tidak dapat diserahkan pada swasta yang meletakkan keuntungan sebagai tujuan pertama (profit first).
Sindikat internasional, termasuk BD, ADB, IMF dan WTO akan terus menjalankan agenda privatisasi dengan mendukung penuh MNC. Kerjasama sindikasi ini telah dan akan terus memaksa pemerintah untuk patuh menyerahkan kuasa dan manfaat atas sumberdaya air dan kekayaan alam lain milik negara. Untuk maksud tersebut, mereka telah memaksakan pemberlakuan UU No.7 Tahun 2004, dan hal ini tak lepas dari ketakutan pemerintah pada kekuatan asing, perilaku KKN pemegang kekuasaan, dan nafsu menjajah yang diusung para kolonialis dan MNC, termasuk Aqua-Danone.
Pemerintah harus merubah sikap secara mendasar dalam pengelolaan sumberdaya air Jaminan terhadap hak atas air bagi masyarakat merupakan tanggungjawab pemerintah. Pemerintah harus kembali pada amanat konstitusi, bahwa pengelolaan sumberdaya air harus dijalankan untuk memperoleh manfaat bagi sebeasr-besar kemakmuran rakyat. Privatisasi yang berlaku saat ini harus dikoreksi atau bahkan diakhiri. Seluruh penyelewengan dan pelanggaran yang telah terjadi, termasuk oleh MNC seperti Aqua-Danone harus diselesaikan secara tuntas dan diberi sanksi sesuai hukum yang berlaku.
Penegakan hukum atas Aqua-Danone merupakan salah satu gugatan dan tuntutan kami kepada pemerintah dalam tulisan ini. Itu kalau kita masih menganggap negara ini negara hukum dan kita masih mempunyai harga diri dan kedaulatan.[]
foto ilustrasi: tabloid harapan indah
*) Tentang Penulis:
Marwan Batubara, lahir di Delitua, Sumatera Utara, 6 Juli 1955. Marwan adalah anggota Dewan Perwakilan Daerah (DPD) RI periode 2004-2009, mewakili provinsi DKI Jakarta. Menamatkan S1 di Jurusan Tehnik Elektro Universitas Indonesia dan S2 bidang Computing di Monash University (Australia). Marwan adalah mantan karyawan Indosat 1977-2003 dengan jabatan terakhir sebagai General Manager di Indosat. Melalui wadah Komite Penyelamatan Kekayaan Negara (KPK-N), ke depan Marwan berharap bisa berperan untuk mengadvokasi kebijakan-kebijakan pengelolaan sumberdaya alam, agar dapat bermanfaat untuk sebesar-besar kemakmuran rakyat.