Dan ironisnya, pembuat vaksin adalah perusahaan yang ada di negara-negara industri maju, negara-negara kaya yang tidak punya kasu Flu Burung pada manusia. Tragisnya lagi, vaksin itu kemudian dijual ke seluruh dunia, termasuk ke Indonesia.
Maka melalui tragedi Flu Burung ini, kesadaran baru muncul pada benak Supari. Dalam kapasitasnya sebagai Menteri Kesehatan, Supari mulai mengambil kebijakan melarang pengiriman virus Influenza kepada WHO. Karena Supari menaruh kecurigaan terhadap skema GISN(Global Influenza Surveilance Network) yang dijadikan dalih WHO untuk memaksa semua negara anggota WHO untuk mengirim viru influenza kepada organisasi kesehatan dunia tersebut.
Masak iya, 110 negara di dunia yang mempunyai kasus influenza biasa (seasonal flu) harus mengirimkan specimen virus secara sukarela, tanpa protes sama sekali. Betapa tidak. Virus yang diterima GISN sebagai wild virus menjadi milik GISN. Dan kemudian diproses untuk risk assessment dan riset para pakar. Disamping itu juga diproses menjadi seed virus. Dan dari seed virus dapat dibuat suatu vaksin, di mana setelah menjadi vaksin, didistribusikan ke seluruh dunia secara komersial. Alangkah tidak adilnya, begitu menurut pikiran wanita kelahiran Solo, Jawa Tengah tersebut.
Selain gusar mengapa tak ada satupun negara, termasuk Indonesia, yang berani protes atas aturan yang tidak adil tersebut, alumnus Fakultas Kedokteran Universitas Gajah Mada tersebut juga mulai mencurigai adanya konspirasi internasional di balik Flu Burung tersebut. Siapakah sesungguhnya yang memperdagangkan virus seasonal flu? Negara-negara penderita mengirimkan virus dengan sukarela ke GISN-nya WHO, tetapi mengapa kemudian tiba-tiba perusahaan pembuat virus memproduksinya? Dimana mulai diperdagangkan.
Dan ini yang paling penting: Ada hubungan apa antara WHO, GISN dan perusahaan pembuat vaksin? Pokoknya ada yang tidak beres lah.
Karena belakangan dokter spesialis jantung dan pembuluh darah ini tahu, bahwa Flu Burung yang berasal dari virus jenis H5N1, WHO juga menerapkan peraturan yang sama. Artinya, negara-negara yang diterjang penyakit Flu Burung, maka harus menyerahkan virus H5N1 ke WHO CC. Tapi setelah itu? Negara pengirim tidak pernah tahu, untuk apa dan diapakah virus tersebut. Dan dikirim kemana virus tersebut?
“Apakah akan dibuat vaksin atau bahkan jangan-jangan akan diproses menjadi senjata biologis? Kepada siapa saya harus bertanya? Apa hak dari si pengirim virus yang biasanya adalah negara yang sedang berkembang dan negara miskin. Begitulah kegusaran Supari sebagaiman terdokumentasi dalam buku karyanya bertajuk “Saatnya Dunia Berubah.”
Sederet pertanyaan yang berada di benaknya, mendorong Supari meminta pendapat Sangkot Marzuki, memang ahlinya untuk menjawab soal ini. Menurut Marzuki, ternyata para ilmuwan di dunia tidak semuanya bisa mengakses data sequencing DNA H5N1 yang disimpan WHO CC, yang entah bagaimana ceritanya, kok bisa-bisanya disimpan di Los Alamos National Laboratory di New Mexico.
Terungka bahwa selama ini data sequencing H5N1 yang kita kirim ke WHO hanya dikuasai oleh ilmuwan-ilmuwan di Los Alamos National Laboratory, yang jumlahnya hanya sedikit, barangkali hanya sekitar 15 grup peneliti. Yang menariknya lagi, 4 dari 15 on berasal dari WHO CC, dan sisanya entah berasal dari mana.
Barang tentu, fakta ini bikin Supari Shock. Karena laboratorium Los Alamos ini berada dalam kendali Kementerian Energi, Amerika Serikat. Dan di Los Alamos inilah, dulu pada saat Perang Dunia II sedang panas-panasnya, di Laboratorium inilah dirancang Bom Atom untuk mengebom Hiroshima dan Nagasaki pada Agustus 1945.
Tentu saja ketertutupan informasi dan ketidakmampuan pihak luar untuk mengakses apa yang terjadi di Alamos, bisa berbahaya sekali. Karena masyarakat tidak tahu apakah virus H5N1 itu akan dibiuat vaksin, atau jangan-jangan malah dibiuat senjata kimia. Sepenuhnya tergantung mereka-mereka yang berwenang mengendalikan Los Alamos seperti Kementerian Energi dan Kementerian Pertahanan (Pentagon).
Setelah memahami sepenuhnya konteks sesungguhnya dari apa yang mencuat di balik penyebaran Flu Burung tersebut, Supari sejak itu bertekad untuk membebaskan ketertutupan infomasi ilmiah tersebut. Maka dengan bantuan dari Akademi Ilmu Pengetahuan Indonesia(AIPI), Supari dengan didampingi oleh Sangkot Marzuki, kemudian memutuskan untuk mentransparankan data sequencing DNA virus H5N1 untuk perkembangan ilmu pengetahuan agar tidak dimonopoli oleh sekelompok Ilmuwan saja.
Langkah berikutnya, Supari melayangkan surat kepada WHO agar Indonesia, tentunya melalui Kementerian Kesehatan, agar dapat diberikan data sequencing virus yang sempat menerjang Tanah Karo, Sumatera Utara, beberapa waktu lalu. Dan rupanya WHO untuk soal ini menangapi positif. Tak lama kemudian, WHO mengirim data sequencing virus Tanah Karo.
“Maka sejak saat itu, 8 Agustus 2006, sejarah dunia mencatat bahwa Indonesia mengawali ketransparanan data sequencing DNA virus H5N1 yang sedang melanda dunia. Yakni dengan cara mengirim data yang tadinya disimpan di WHO, dikirim pula ke Gene Bank,” begitu penegasan penuh semangat dari Supari lewat bukunya.