Berikut ini merupakan laporan khusus yang ditulis oleh Ketua KPK-N (Komite Penyelamat Kekayaan Negara), Marwan Batubara *). Laporan khusus ini tersaji dalam sebuah buku beliau yang berjudul ‘Menggugat Pengelolaan Sumber Daya Alam, Menuju Negara Berdaulat’.
Insya Allah, Eramuslim akan memuat tulisan ini dalam rubrik laporan khusus yang disajikan secara berseri.
***
Seputar Permasalahan, Sikap, dan Tanggapan
Potensi kerugian negara ratusan triliun rupiah dari rencana penjualan gas Tangguh berpangkal pada formula harga yang bermasalah yang ditetapkan dalam KKS. Formula ini pada awalnya menentukan harga jual gas sesuai dengan fluktuasi harga minyak dengan batas bawah (floor price) US$ 14/barel dan batas atas (ceiling price) US$ 25/barel. Dengan batas atas harga minyak ini, diperoleh harga jual gas Tangguh US$ 2,4 per mmbtu. Belakangan, setelah negosiasi-ulang dengan pihak pembeli pada Maret 2008, ceiling price minyak berubah menjadi US$ 38/barel sehingga harga jual gas menjadi US$ 3,35 per mmbtu. Dengan demikian, hingga berapa pun harga minyak akan naik, harga jual gas Tangguh tidak akan lebih dari US$ 3,35 per mmbtu.
Formula bermasalah ini telah mendapat kecaman dari banyak pihak, termasuk dari Presiden SBY dan Wapres JK. Mereka mempertanyakan pemerintahan masa lalu, yang dipimpin Megawati, dan para pejabat terkait yang terlibat, bagaimana mungkin bersedia menyetujui kontrak gas Tangguh yang sangat merugikan itu. Sejalan dengan itu, SBY dan JK juga telah berkomitmen untuk melakukan negosiasi-ulang atas kontrak Tangguh, terutama atas formula harga jual gasnya.
Pada bulan Agustus 2008 SBY sempat menyatakan, ”Bila tidak diperbarui dengan harga crude saat ini maka akan sangat besar sekali kerugian negara dibanding dengan kontrak yang lain, semisal Bontang dan Arun. Sebesar apa pun akan kita perjuangkan untuk perbaikan kontrak itu. Kalau kontrak merusak rasa keadilan dan merugikan negara dalam jumlah besar tentu harus dinegosiasikan” (Jurnas, 29 Agustus 2008).
JK mengatakan kontrak gas Tangguh merupakan kontrak terjelek dan terparah dalam sejarah Indonesia, sebab harga jual gas Tangguh hanya 5% harga minyak dunia. Padahal formula harga jual gas Arun yang ditandatangani 30 tahun lalu adalah 7,2% dan Bontang 15% harga minyak dunia. ”Kita kehilangan kesempatan pendapatan US$ 3 miliar dolar setahun, kalau dikali 25 tahun jadi Rp 750 triliun,” kata Wapres. Komentar SBY dan JK memang dialamatkan kepada Megawati, yang harus bertanggungjawab atas kontrak terjelek yang berpotensi merugikan negara ratusan triliun ini.
Sebelumnya Wapres JK pernah juga mengungkapkan harga kontrak Tangguh sebagai hasil ”diplomasi dansa” saat Mega berkunjung ke Beijing Maret 2002. Saat jamuan makan malam di Balai Rakyat Agung, Beijing, Presiden China, Jiang Jemin, mengajak Mega berdansa. Wapres berkata, ”…Dansa-dansa yang berputar-putar sambil jual gas dengan murah.” Wapres menjelaskan Indonesia awalnya mengusulkan formula harga jual Tangguh dikaitkan dengan harga minyak dunia. Formula harga demikian telah diterima dan diterapkan di seluruh dunia. ”Eh, tiba-tiba untuk kontrak Tangguh ini, kita keluar dari (rumusan) itu,” kata JK (Republika, 26 Agustus 2008).
Namun, Mega bereaksi dengan mengatakan bahwa SBY dan JK juga terlibat dalam pembahasan kontrak tersebut. Mega mengatakan ”Bilang sama Pak Kalla dia juga ada di situ sama SBY” (Rakyat Merdeka, 26 Agustus 2008). Atas reaksi Mega ini, SBY dan JK membantah. ”Apa betul saya dan JK ikut menentukan harga? Jelas tidak mungkin. Jangan sebarkan berita yang membuat rakyat jadi bingung yang menyebutkan SBY dan JK ikut menentukan harga. Itu tidak benar,” kata SBY. JK juga bereaksi, ”Kami tidak pernah diajak bicara waktu itu. Pada saat kami menjadi Menko Polkam dan Menko Kesra, kami juga tidak ingin mencampuri urusan beliau (Megawati),” kata JK.
Pada saat itu tim negosiasi gas Tangguh dipimpin Taufik Kemas, suami Megawati. Atas peran Taufik Kemas, Sekretaris FPD DPR Sutan Bathoegana sempat berkata, ”Bahwa soal Tangguh itu dulu, Mbak Mega sudah banyak salahnya. Selain itu yang juga salah adalah Pak TK (Taufik Kemas).” Sutan menambahkan, ”Sejak kapan UU memperbolehkan legislatif melakukan tugas eksekutif?”(Inilah.Com, 26/8/2009).
Atas polemik tentang kerugian negara di atas, Menteri ESDM, Purnomo Yusgiantoro (PY) membela diri. PY mangatakan harga jual gas sebesar US$ 2,4 per mmbtu yang tertuang dalam kontrak Tangguh pada dasarnya sudah sesuai dengan perhitungan harga minyak dunia yang diperkirakan hanya mencapai US$ 25/barel. ”Harganya pakai formula juga. Cuma harga minyak waktu itu berkisar antara US 10-20 per barel. Jadi hitungannya dipatok US$ 25. Kita tidak pernah tahu harga minyak melonjak,” kata PY yang saat itu juga sudah menjabat sebagai Menteri ESDM.
Tidak ada seorang pun tahu apa yang akan terjadi esok, juga tak ada yang tahu berapa harga minyak pada setahun, lima tahun, atau sepuluh tahun yang akan datang. Kita hanya bisa memprediksi, terutama belajar dari pengalaman masa lalu dengan menggunakan berbagai kondisi, variabel, dan metode perhitungan. Dengan perkiraan tersebut, kita bisa menyiapkan berbagai langkah dan strategi antisipatif, termasuk menyiapkan formula harga jika harga minyak naik dimasa yang akan datang. Langkah antisipatif inilah yang telah dilakukan oleh para pejabat penyusun kontrak Arun dan Badak 30 tahun yang lalu, sehingga harga jual gas nya jauh lebih besar dibanding harga jual gas Tangguh (hingga mencapai US$ 20/mmbtu).
Rasanya terlalu naif untuk percaya bahwa Menteri ESDM tidak belajar dari pengalaman kontrak Arun dan Badak ini. Apalagi beliau adalah seorang Doktor di bidang Migas yang telah menekuni bidangnya puluhan tahun. Kita juga sulit untuk percaya atas pernyataan beliau di atas ”… harganya dipatok US$ 25. Kita tidak pernah tahu harga minyak melonjak…” Oleh sebab itu, beliau patut diduga menyembunyikan sesuatu dalam formula harga gas Tangguh yang merugikan itu. Hal ini pantas untuk diusut. Kita harus meminta pertanggungjawaban beliau, termasuk tentu saja, pertanggungjawaban dari kepala negara sebagai pengambil keputusan.
Atas perlunya menuntut pertanggungjawaban PY, Jubir Kepresidenan, Andi Malarangeng, pernah mengatakan keputusan kontrak Tangguh bisa ditinjau lagi, terutama menteri mana yang membuat keputusan. Andi mengatakan, ”Saat itu kan dilihat siapa saja. Selidiki saja siapa yang bertanggungjawab, siapa yang negosiasi.” Artinya Andi dan SBY setuju agar para pejabat dan menteri yang telibat diselidiki, diusut, termasuk PY. Andi juga setuju penyelidikan kasus ini dilakukan banyak pihak, termasuk oleh DPR.
Pengamat Migas, Dr Kurtubi, pernah mengatakan bahwa saat itu tidak mungkin Megawati mengetahui secara detail formula harga yang disepakati. Pemerintah seharusnya memberi sanksi kepada pejabat-pejabat yang terbukti merugikan negara. PY harus bertanggung jawab ”karena menyetujui secara teknis harga jual yang sangat murah” kata Kurtubi.”
Prof. Amien Rais bersama penulis dan Pokja Komite Penyelamat Kekayaan Negara (KPK-N), Tjatur Sapto Edi, Adhie Massardi, dan Chandra T Wijaya, mendukung penuntasan kasus Tangguh. Prof. Amien berkeyakinan bahwa jika kasus kontrak Tangguh dibuka akan terkuak lebar bahwa negara telah dijual kepada asing dan rusaknya negeri ini. Prof Amien mengatakan, ”Ini sangat menyakitkan rakyat.”
Dalam praktiknya, setelah setahun berlalu, ”pembukaan” kasus Tangguh masih belum jelas prospeknya: apakah ada yang akan diusut, disidik, atau diminta pertanggungjawaban. Tim negosiasi yang dipimpin oleh Menko Perekonomian pun belum juga menyampaikan progres renegosiasi kontrak. Kita khawatir bahwa sikap dan ucapan-ucapan para pejabat yang mengecam harga gas Tangguh itu, termasuk SBY dan JK, hanya didasarkan pada kepentingan politik dan persaingan Pemilu/Pilpres, atau gejolak politik terkait Angket BBM tahun 2008, bukan pada kepentingan negara dan rakyat yang lebih besar. Mudah-mudahan kekhawatiran ini salah.
Beberapa Catatan Penting
Ada beberapa catatan penting dalam permasalahan kontrak gas Tangguh yang semestinya mendapat perhatian khusus bangsa ini ke depan, sekaligus dalam kaitannya dengan upaya Indonesia untuk melakukan renegosiasi kontrak Tangguh. Isu-isu tersebut diantaranya sebagai berikut.
Pertama, masalah formulasi harga jual gas Tangguh yang sangat merugikan, dimana harga LNG Tangguh dipatok secara flat pada batas tertentu harga minyak dunia. Formulasi inilah yang berpotensi menyebabkan harga jual gas Tangguh menjadi sangat murah. Bayangkan, dalam jangka waktu 25 tahun harga LNG Tangguh dipatok pada angka US$ 3,35 per mmbtu berdasarkan nilai batas harga minyak dunia sebesar US$ 38/barel. Padahal, pada tahun 2008 saja harga minyak dunia pernah menyentuh angka US$ 147,27/barel.
Formulasi ini diyakini sebagai akar masalah dan sumber ketidakadilan dalam kontrak LNG Tangguh. Beberapa sumber bahkan mengatakan bahwa formulasi ini juga tidak pernah diadopsi dalam kontrak-kontrak LNG yang pernah ada di Indonesia sebelumnya. Secara umum, baik di dalam maupun diluar negeri, penentuan harga jual gas disesuaikan dengan fluktuasi harga pasar minyak mentah dunia.
Pengamat perminyakan, Kurtubi misalnya meyebutkan bahwa harga gas di pasar spot Henry Hub di Oklahoma, harga LNG yang diimpor Jepang dan harga gas melalui pipa dari Rusia ke Eropa Barat sangat dinamis, bisa naik-turun tergantung pada fluktuasi harga minyak mentah (lihat Perbandingan Harga Gas pada Tabel 1).
Kurtubi menambahkan juga pengalaman di dalam negeri, dimana harga jual gas dari Badak disesuaikan dengan fluktuasi harga minyak dunia sehingga harganya bisa naik-turun. Ini tentunya sangat fair, baik bagi penjual maupun pembeli. Dengan asumsi harga minyak mentah sekitar US$ 70/barel saja maka harga gas Badak bisa mencapai angka US$ 11/mmbtu. Sedangkan harga LNG tangguh tetap pada angka US$ 3,35/mmbtu (lihat Tabel Perbadingan Harga Gas Tangguh & Badak pada Tabel 2).
Kita tidak pernah tahu, apa motif sesungguhnya yang melatarbelakangi pemerintahan Megawati menyetujui formulasi harga jual LNG Tangguh. Benarkah persoalan ketiadaan peminat pada saat penawaran tahun 2002 merupakan satu-satunya alasan yang menyebabkan pemerintah begitu lemah sehingga terpaksa menyetujui formulasi harga gas tangguh tersebut. Padahal, banyak pakar ekonomi energi dunia sepakat bahwa permintaan LNG kedepan hingga tahun 2030-2050 sangat cerah karena adanya kecenderungan untuk menggunakan energi yang lebih bersih seperti gas. Hal ini tentunya harus diungkap secara lebih mendalam.
Namun, fakta membuktikan bahwa formulasi inilah yang mengakibatkan harga jual gas Tangguh menjadi anjlok dan cenderung merugikan Indonesia. Sementara, saat ini tingkat kebutuhan pasokan gas bagi kebutuhan dalam negeri sangat besar. Ironisnya, ketika PLN harus bersusah payah membeli gas dengan harga yang tinggi demi pemenuhan bahan bakar, disisi lain gas Tangguh malah diobral murah ke Cina.
Kedua, persoalan lambatnya pemerintah dalam menegosiasi lang kontrak Tangguh. Hingga kini tim negosiasi yang ditunjuk oleh Presiden SBY belum memperlihatkan perkembangan yang berarti. Berlarut-larutnya proses negosiasi ini semakin memperkuat dugaan bahwa tim yang dipimpin oleh Menko Ekonomi Sri Mulyani ini sepertinya akan menunggu hingga tahun 2010 untuk melakukan negosiasi sebagaimana diatur dalam kontrak. Padahal, pengiriman LNG Tangguh ke Cina sudah dilakukan tahun 2009 ini.
Permasalahan lainnya adalah lemahnya posisi tawar pemerintah dalam melakukan negosiasi. Dalam proses perpanjangan kontrak operasi yang diajukan oleh BP pada tahun 2004 misalnya, tim negosiasi tidak dapat bersikap tegas menolak klausul “Government Act” yang diajukan BP. Padahal jelas-jelas klausul tersebut tidak lumrah dan tidak menguntungkan Indonesia, bahkan tidak pernah ada dalam kontrak-kontrak pengelolaan sebelumnya.
Sebetulnya, pemerintah tak perlu ragu melakukan renegosiasi kontrak, karena secara objektif, kita dapat menunjukkan fakta-fakta kontrak tersebut jelas sangat merugikan. Sebagai negara bermartabat, Indonesia sangat menghargai asas pacta sunt servanda yang menegaskan kewajiban para pihak untuk menghormati dan mematuhi sebuah perjanjian yang telah disepakti. Namun sebagai negara yang berdaulat, kita juga harus mengedepankan kepentingan nasional dan memegang azas keadilan, serta menolak perilaku KKN. Jangan sampai sebuah kontrak yang disepakati, keberadaannya justru merugikan salah satu pihak, apalagi pihak ini adalah sebuah negara.
Dengan demikian, sebagai pemilik ladang gas Tangguh, kita tidak perlu melakukan renegosiasi ala Hugo Chavez atau Evo Morales, presiden Venezuala dan Bolivia yang dikenal sangat berani. Tapi cukup dengan penuh rasa percaya diri menyatakan bahwa secara objektif, kontrak Tangguh sangat merugikan Indonesia sehingga perlu direnegosiasi.
Kita pun sebetulnya bisa saja memutus kontrak Tangguh dengan membayar penalti sekitar US$ 300 juta. Mengingat jumlah denda tersebut bukanlah nilai yang besar jika dibandingkan dengan besarnya kerugian yang akan kita alami jika tetap mempertahankan ketentuan kontrak. Lebih baik gas Tangguh kita gunakan untuk pemenuhan pasokan gas dalam negeri ketimbang diobral dengan harga murah. Namun, pemutusan kontrak secara sepihak, tentunya bukan merupakan opsi terbaik, mengingat masih ada opsi-opsi lain yang bisa diupayakan. Opsi ini memang sudah berlalu dengan terlaksananya pengiriman gas Juli 2009 yang lalu.
Ketiga, kasus Tangguh telah memberikan pelajaran berharga bagi kita bahwa pola pengembangan pengelolaan Migas berdasarkan UU Migas No. 22 Tahun 2001 yang menyerahkan pengelolaan sepenuhnya kepada non-BUMN sudah semestinya dikaji kembali. BP Migas sebagai BHMN sangat tidak layak untuk berbisnis dengan cara menunjuk pihak lain sebagai penjual gas berdasarkan Pasal 44 UU Migas, dalam hal ini BP Migas menunjuk BP yang asing, bukan Pertamina, untuk menjual gas Tangguh.
Perusahaan minyak asing dan domestik tetap diperlukan dalam mengembangkan industri migas nasional, namun sebaiknya berkejasama dengan entitas bisnis negara yang diwakili BUMN dalam pola hubungan B to B (business to busibess). Pola B to B ini lebih efisien dan lebih baik daripada pola B to G (business to government) sebagaimana kini berlaku. Sementara, pemegang kebijakan dan regulator dalam pola B to B tetap ditangan pemerintah, terutama Departemen ESDM. Pola ini juga dinilai akan memberikan harga ekspor yang maksimal bagi negara dan menghindari conflict of interest kontraktor atau operator.
Kita dapat melihat dalam kasus Tangguh misalnya, penunjukkan BP sebagai pengembang/kontraktor dan penjual LNG Tangguh tentu saja memunculkan peluang konflik kepentingan. Apalagi, ternyata BP juga merupakan pengembang dan penjual LNG di Australian North West Self LNG (ANWS), yang pernah mengalahkan LNG Tangguh dalam proses tender di Guangdong.
Keberadaan BP disini jelas rancu, mengingat disatu sisi BP merupakan bagian dari LNG Tangguh, namun disisi lain BP juga merupakan bagian dari ANWS. Posisi inilah yang ditengarai banyak pihak menjadikan BP berpeluang besar mengetahui secara persis berapa harga yang diajukan LNG Tangguh dan ANWS yang berakibat kalahnya Tangguh dalam proses tender di Guangdong. BP sebagai penjual gas Tangguh bersaing dengan BP sebagai penjual gas ANWS … Pemenangnya adalah BP, korbannya Tangguh, Indonesia.
Kita pantas mencurigai bahwa BP-lah yang menjadi biang keladi kekalahan kita pada tender di Guangdong tersebut. Tapi hal ini bisa saja akibar kebodohan kita, atau pembiaran yang sengaja dilakukan oleh oknum-onum tertentu, atau justru oleh oknum-oknum yang merupakan bagian dari suatu konspirasi yang koruptif atau berprilaku KKN.
Penutup
Konstitusi kita mengamanatkan kekayaan alam harus dikuasai negara dan dipergunakan untuk sebesar-besar kemakmuran rakyat, tanpa sedikit pun merugikan negara dan rakyat. Bagi kita, kerugian negara akibat kontrak Tangguh yang bermasalah ini sangat besar untuk dibiarkan berlalu tanpa renegosiasi kontrak dan pengusutan terhadap pelaku yang terlibat menetapkan kontrak. Apalagi ternyata, pengriman pertama (first drop) gas ke Korea dan China pun telah terlaksana pada Juli 2009 tanpa perubahan formula harga jual.
Dengan tetap dikirimnya gas tanpa koreksi harga, berarti sejak Juli 2009 pula negara sudah harus mulai menghitung kerugian. Padahal pada bulan Agustus 2007 yang lalu Menteri ESDM pernah mengatakan bahwa pemerintah tetap berkukuh untuk first drop harus sudah menggunakan harga baru. Purnomo menambahkan dengan harga minyak yang tinggi pada waktu itu, pemerintah menginginkan harga jual gas yang tinggi. ”Kita harus menyelesaikan negosiasi sebelum first drop,” katanya. Ternyata beliau hanya bicara tanpa hasil nyata…
Renegosiasi kontrak sudah sepatutnya dilakukan dengan mengajukan opsi-opsi yang menguntungkan, termasuk mengajukan formula harga gas yang merujuk harga minyak tanpa batas atas seperti yang berlaku umum di dunia. Dalam hal ini, kita berharap Presiden SBY dan tim negosiasi yang ditunjuk tidak hanya bicara tanpa tindakan konkret. Waktu 1 tahun sejak Presiden SBY mencetuskan pembentukan tim pada tanggal 28 Agustus 2008 yang lalu, hingga saat ini, rasanya sudah lebih dari cukup untuk memperoleh kemajuan. Tapi apa hendak dikata, hasil yang diharapkan tak kunjung diraih.
Sekarang, kita menagih hasil renegosiasi kontrak Tangguh: bukti nyata, bukan hanya janji! Sentilan Wapres JK pada debat capres putaran kedua bulan Juli 2009 yang lalu yang menyebutkan SBY telah ”meneken” Keppres Tim Negosiasi Tangguh, namun bekerja lamban dan hasil kerjanya tak jelas, perlu segera dijawab SBY dan Menko Perekonomian.
Selain itu, kita tidak ingin kasus Tangguh hanya menjadi alat politik saat pemilu legislatif dan pilpres, atau move dan sarana tawar-menawar untuk dibarter dengan kasus penyelewengan lain atau kebijakan pemerintah yang bermasalah. Kita sangat berkeberatan jika para oknum penyeleweng itu hidup bebas tanpa sanksi hukum sebagai buah dari transaksi politik. Oleh sebab itu, di dalam negeri, SBY, KPK dan DPR, serta lembaga yudikatif harus melakukan berbagai langkah nyata untuk mengusut pihak-pihak yang harus bertanggungjawab menetapkan ketentuan kontrak Tangguh yang berpotesni merugikna negara ratusan triliun rupiah tersebut.
foto: detikcom
*) Tentang Penulis:
Marwan Batubara, lahir di Delitua, Sumatera Utara, 6 Juli 1955. Marwan adalah anggota Dewan Perwakilan Daerah (DPD) RI periode 2004-2009, mewakili provinsi DKI Jakarta. Menamatkan S1 di Jurusan Tehnik Elektro Universitas Indonesia dan S2 bidang Computing di Monash University (Australia). Marwan adalah mantan karyawan Indosat 1977-2003 dengan jabatan terakhir sebagai General Manager di Indosat. Melalui wadah Komite Penyelamatan Kekayaan Negara (KPK-N), ke depan Marwan berharap bisa berperan untuk mengadvokasi kebijakan-kebijakan pengelolaan sumberdaya alam, agar dapat bermanfaat untuk sebesar-besar kemakmuran rakyat.