Pembentukan Tentara Nasional Indonesia sangat berbeda dengan pembentukan tentara di negara-negara penjajah.
TNI lahir dari perjungan Pribumi Indonesia, bukan hanya melawan agresi mantan penjajah dan sekutu serta antek-anteknya, melainkan juga untuk menumpas pemberontakan dalam negeri, a.l. yang telah dilakukan oleh Partai Komunis Indonesia, Republik Maluku Selatan, serta menyelesaikan berbagai konflik bersenjata setelah tahun 1950 dll. Semua telah dilaksanakan oleh TNI.
Selain legitimasi dari sejarahnya, tugas TNI juga terpatri dalam Pembukaan UUD 1945 yang disahkan pada 18 Agustus 1945.
Di alinea keempat Pembukaan UUD 1945 tertera:
”Kemudian daripada itu untuk membentuk suatu pemerintah negara Indonesia yang melindungi segenap bangsa Indonesia dan seluruh tumpah darah Indonesia dan untuk memajukan kesejahteraan umum, mencerdaskan kehidupan bangsa, dan ikut melaksanakan ketertiban dunia yang berdasarkan kemerdekaan, perdamaian abadi dan keadilan sosial …”
Kalimat: “…negara Indonesia yang melindungi segenap bangsa Indonesia dan seluruh tumpah darah Indonesia …” adalah kalimat imperativ, yaitu Perintah, dan pelaksanaannya adalah tugas Pemerintah, TNI dan POLRI.
Sudah seharusnya keterlibatan TNI dalam melindungi segenap bangsa Indonesia dan seluruh tumpah darah Indonesia dari segala macam ancaman tidak perlu dipertanyakan dan diperdebatkan. Yang penting dibuat UU yang mengatur kerjasama TNI dengan POLRI di bawah koordinasi pemerintah.
Hanya mereka yang ingin memperlemah ketahanan nasional Indonesia yang tidak menginginkan keterlibatan TNI dalam ’melindungi segenap bangsa Indonesia dan tumpah darah Indonesia.’
Ancaman dari luar negeri
Apabila dicermati, yang sangat mencolok sehubungan dengan berbagai peristiwa yang terjadi di Indonesia adalah reaksi Belanda, mantan penjajah, yang selalu sigap merespon dan mendukung upaya para “aktifis HAM Indonesia” untuk mengangkat berbagai peristiwa di Indonesia untuk diinternasionalisasikan. Belandapun segera ikut menyatakan, bahwa telah terjadi pelanggaran HAM, Rasialisme, Diskriminasi, Intoleransi, Dikendalikan Oleh Islam Radikal, sebagaimana yang dilakukan oleh Belanda dalam kasus mantan Gubernur DKI Basuki Tjahaja Purnama alias Ahok, terpidana kasus penistaan agama.
Pemberitaan di beberapa negara tertentu dan pembuatan film-film mengenai tragedi nasional di Indonesia tahun 1965 sangat jelas tendensius. Semua dimulai hanya setelah bulan Oktober tahun 1965. Mengenai akar permasaalahannya tidak diberitakan. Seolah-olah tanpa dasar dan alasan, telah terjadi pembantaian terhadap pengikut komunis di Indonesia. Dan ini tentu mengaburkan fakta-fakta yang sebenarnya.
Memang perlu juga disampaikan, bahwa banyak terjadi fitnah terhadap orang-orang yang bukan komunis, tetapi dituduh sebagai komunis, karena berbagai latar belakang pribadi atau persaingan.
Sebelum terjadi peristiwa G30S, telah terjadi pembunuhan para Ulama di Jawa Timur oleh PKI, intimidasi dan ancaman-ancaman terhadap mereka yang menentang komunisme. Hal-hal seperti ini tidak pernah disinggung dalam pemberitaan di luar negeri dan di film-film dokumenter mengenai tragedi nasional di Indonesia tahun 1965.
Puncak skenario di luar negeri, sementara, adalah penyelenggaraan tribunal internasional tanggal 10 – 13 November 2015 di Den Haag, Belanda, untuk peristiwa di Indonesia tahun 1965. Pada waktu itu para ”aktifis HAM Indonesia” menuntut Indonesia Sebagai Negara Pelanggar HAM.
Tentu sasarannya adalah TNI. TNI dituduh bertanggungjawab atas pembunuhan antara 500.000 – 1 juta orang komunis dalam peristiwa tahun 1965, di mana sesama Pribumi saling membunuh karena ideologi impor.
Hasil dan vonis “tribunal internasional” tersebut telah disampaikan sebagai rekomendasi ke Dewan HAM PBB.
Tujuan membangun citra negatif Indonesia adalah untuk memperlemah posisi tawar Indonesia di dunia internasional dan mendiskreditkan citra TNI. Tidak tertutup kemungkinan, skenario ini digunakan untuk pemisahaan satu wilayah di NKRI, seperti yang telah dilakukan ketika memisahkan TimTim dari NKRI.