Eramuslim.com –
Oleh Batara R. Hutagalung
(Sejarawan dan Ketua Komite Utang Kehormatan Belanda-KUKB)
Pengantar
Sejak dua minggu pembicaraan mengenai keterlibatan Tentara Nasional Indonesia (TNI) dalam memberantas terorisme di Indonesia cukup ramai menghiasi pemberitaan di media nasional Indonesia.
Seperti biasa, ada beberapa anggota DPR RI, beberapa para pakar hukum dan … tentu para “aktifis HAM” yang sejak puluhan tahun selalu menentang TNI berperan dalam kehidupan bermasyarakat, berbangsa dan bernegara di Indonesia, menolak dengan mengemukakan argumentasi yang lama dan sama, yaitu berdasarkan Undang-Undang yang berlaku saat ini, tatanan dalam penyelenggaraan negara dan masalah HAM.
Pengertian mereka mengenai HAM dan peletakan posisi TNI dalam struktur pemerintahan sipil seperti yang diajarkan oleh negara-negara barat, para mantan penjajah.
Juga seperti biasanya, para korban tragedi nasional ke II tahun 1965 muncul lagi bersama para “aktifis HAM” dan menyampaikan petisi, menolak keterlibatan TNI dalam memberantas terorisme.
Mereka adalah yang memiliki “dendam sejarah” terhadap Tentara Nasional Indonesia. Dan pasti akan membantah tulisan ini.
Mereka yang selalu meneriakkan Hak Asasi Manusia (HAM), tidak mengetahui bahwa di atas HAM ada Hak Asasi Bangsa (HAB) dan di atas HAB ada Hak Asasi Negara (HAN). Hal-hal ini tidak pernah diajarkan oleh negara-negara penjajah, karena mereka tidak pernah mau mengakui adanya HAK Asasi Bangsa Indonesia.
Bangsa Indonesia mengukuhkan Hak Asasi Bangsa (Rights of a nation) dalam kalimat pertama Pembukaan UUD 1945.
Hak Asasi Negara (Rights of a state) sebagaimana ditulis oleh Prof. Sugeng Istanto, adalah penjabaran dari Konvensi Montevideo, yaitu
1. Kemerdekaan/Kedaulatan,
2. Kesetaraan dengan negara-negara lain,
3. Mempertahankan diri.
Jadi kalau ada yang ingin menghancurkan suatu negara, baik dari dalam, maupun dari luar negeri, maka Negara tersebut memiliki hak untuk mempertahankan diri. Dan inilah yang terjadi di Indonesia, baik tahun 1948 maupun tahun 1965 serta dalam menghadapi berbagai pemberontakan dan konflik bersenjata lain di Indonesia.
Di negara-negara barat mantan penjajah, memang demikian letak Kepolisian dan Angkatan Perang mereka dalam penyelenggaraan negara. Namun negara-negara tersebut telah lama memiliki UU keamanan nasional (National Security Act) yang sangat ketat dan tak mengenal kompromi dalam pelaksanaannya, bahkan kejam dan melanggar HAM.
Negara-negara Eropa sejak ratusan tahun membangun angkatan perang sudah dengan maksud untuk menguasai dan menjajah negara-ngara lain. Hal ini terlihat dengan jelas dari Traktat Tordesillas, Juni 1494.
Negara-negara Eropapun selama ratusan tahun juga saling menjajah, merampok dan membunuh. Politik ekspansionis Jerman telah mengakibatkan dua kali Perang Dunia yang memakan korban jiwa puluhan juta manusia di Eropa, Afrika dan di Asia akibat agresi militer Jepang, mitra Jerman dan Italia dalam AXIS.
Apabila dicermati hak yang diberikan kepada “perkumpulan dagang” VOC, akan terlhat aneh, bahwa suatu “perkumpulan dagang” berhak memiliki tentara dan mencetak uang serta menyatakan perang terhadap suatu negara. “Kantor dagang pusat” dipimpin oleh seorang Gubernur Jenderal dan “kantor cabang” dipimpin oleh seorang Gubernur.
Di masa penjajahan, Pribumi yang berjuang untuk kemerdekaan dinyatakan sebagai pemberontak atau teroris dan langsung ditembak mati tanpa proses hukum apapun, seperti yang terjadi di Republik Indonesia antara tahun 1945 – 1950, di mana sekitar satu juta rakyat Indonesia dibantai tanpa proses hukum oleh tentara Belanda, Inggris dan Australia, dibantu kakitangan serta antek-anteknya di Indonesia.