Kejutan berikutnya, hampir separuh hall JCC yang begitu luas itu ditutup karpet berwarna abu-abu. Main event ini adalah kajian dakwah, sehingga separuh venue dialokasikan untuk kegiatan itu. Bazar yang dihadirkan hanyalah pelengkap.
Sekalipun sebagai pelengkap, namun semuanya menarik. Ada booth yang menjual produk-produk bersertifikasi halal dari jaringan global dunia. Ramen dan beras instan dari Jepang, cokelat dan biscuit dari Inggris, hingga kudapan manis khas Turki.
Saya membeli sekotak kurma madjol kualitas grade A yang diimpor langsung dari Palestine. Tak hanya kurma, booth ini juga menghadirkan beragam produk unggulan dari Palestine lainnya, seperti olive oil yang sangat sedap.
Ada juga Warung Waqaf, sebuah jaringan waralaba convenience store dengan konsep waqaf. Dan tentu saja, berderet brand fashion dan distro muslim.
Saya tersenyum melihat pemandangan ini. Seperti ada kupu-kupu beterbangan di hati. Perempuan-perempuan muda dalam balutan hijab berwarna-warni, tak sedikit yang berniqab rapat, hilir mudik sambil asyik mendengarkan kajian.
Anak-anak muda mengenakan celana jogger dan koko keluaran distro-distro muslim ternama dengan desain dan tulisan dakwah yang atraktif berada di area yang berbatas penghalang besi dengan area akhwat.
Saya membaca tulisan di salah satu kaus yang dikenakan: Generasi Salahudin Al Ayyubi. Si pemilik yang sepertinya berusia awal 20-an terlihat asyik membaca buku kecil “Dzikir Pagi & Petang” sambil duduk bersimpuh mendengarkan kajian.
Suasana stand busana muslim dalam acara Hijrah Fest 2018 yang diselanggarakan di Jakarta Covention Center, Jakarta, Jumat (9/11).
Fenomena seperti ini tak ada di zaman saya seumur mereka. Saya ingat, sewaktu SMP dan SMA saya membuat kajian perempuan di rumah bersama teman-teman. Beberapa mahasiswi UNS bergantian menjadi mentor kita setiap akhir pekan. Teman-teman yang ikut dalam kajian ini adalah mereka yang betul-betul ingin belajar agama, istilah mudahnya anak-anak Rohis.