Berbagai dalih yang dikemukakan kubu penolak UU Pornografi diduga kuat hanyalah kedok bagi “ketakutan” mereka, atau mungkin lebih tepatnya “paranoia” mereka, terhadap segala sesuatu yang berbau penerapan syariat Islam. Jika kita mengikuti berbagai milis di internet yang membahas tentang pro dan kontra tentang undang-undang ini, maka kita akan dengan mudah menemukan frasa “Penerapan Talibanisme di Indonesia”, “Talibanisasi perundangan di Indonesia”, dan sebagainya. Seolah-olah sedikit demi sedikit, negeri yang terdiri dari berbagai suku bangsa dan agama ini akan diubah oleh suatu kelompok menjadi negeri yang berbasiskan agama Islam, atau jika mau lebih tegas lagi: Mereka mengira negeri ini akan menjadi negeri Islam.
Ketakutan atau paranoia yang sama juga pernah terjadi saat kubu reformis terbelah menjadi dua sesaat setelah Presiden Suharto mundur digantikan oleh BJ. Habibie, lalu UU Sisdiknas. Alasan yang dikemukakan nyaris sama sebangun: keanekaragaman, pluralisme, Bhineka Tunggal Ika, konsensus nasional, dan tetek-bengek lainnya. Mereka juga menggelar aneka unjuk rasa yang antara lain pesertanya dikomando agar mengenakan pakaian adat dari berbagai daerah seolah-olah kubu yang berseberangan dengannya begitu bodoh lupa jika Indonesia atau Nusantara terdiri dari ribuan pulau dan suku bangsa. Mereka seolah menjadi garda terdepan yang menjaga keutuhan negeri Pancasila ini..
Dan yang lebih ekstrem lagi, teriakan akan memisahkan diri dari NKRI alias ancaman separatisme pun menjadi senjata andalan mereka. Ini mengingatkan kita akan ulah segelintir politikus non-Muslim di tahun 1945 yang mendesak agar tujuh kata yang mewajibkan umat Islam melaksanakan syariat Islam di Indonesia, yang dikenal sebagai Piagam Jakarta, dihapuskan.
Sejarah bangsa ini dengan tegas memaparkan kepada kita semua jika selama ratusan tahun umat Islamlah yang mati-matian merebut dan menjaga kemerdekaan negeri ini dari tangan para penjajah. Islam masuk ke Indonesia dengan senyum, keramahan, dan penuh keamaian. Berbeda sekali dengan agama lain yang masuk bersamaan dengan datangnya penjajah Barat ke Nusantara yang sejak sekolah dasar kita telah kenal semboyan mereka: Gold, Glorious, Gospel (Merampok emas sebanyak-banyaknya, Menaklukkan daerah-daerah seluasnya, dan Menyebarkan salib kemanapun tanah kau injak).
Dalam berbagai peperangan pun sejarah telah menunjukkan kepada kita jika umat Islam selalu anti penjajahan asing terhadap negeri ini. Beda dengan mereka yang kebanyakan rela menjadi kacung-kacung penjajah bule dan menindas saudara-saudara sebangsanya demi mendapat fulus dan sekerat keju dari Tuan Van Meele. Buku karya Bung Tomo tentang 10 Nopember 1945 merupakan salah satu buku yang sedikit banyak memuat fakta sejarah ini.
Liberalisme
Kubu penentang UU Pornografi, juga UU Sisdiknas, memiliki agenda tersendiri yang ingin melihat bangsa dan negara ini menjadi negara yang serba permisif, bebas liberal serba boleh seperti di AS dan Barat, dan tentunya jauh dari moral dan etika ketimuran yang sesungguhnya lekat dengan nilai-nilai keislaman.
Kubu penentang UU Pornografi hari ini mungkin saja menamakan gerakannya sebagai “Gerakan Syahwat Merdeka”, namun di lain hari mereka akan menamakan gerakannya lain lagi tergantung proyek yang tengah digarap. Namun bagi yang jeli, orang atau tokoh-tokohnya ternyata ya itu-itu juga. Tidak usah jauh-jauh dari sosok sahabat Zionis seperti AW dan orang-orang di sekelilingnya, seperti halnya yang berkumpul di dalam AKKBB. Sami mawon.
Bagi orang-orang seperti ini, terbitnya majalah Playboy di Indonesia dianggap suatu kemajuan. Kian banyaknya bar, diskotik, dan sebagainya adalah suatu modernisasi. Modern atau tidaknya seseorang dinilai dari cara pandang dia terhadap pakaian: semakin terbuka pakaiannya, maka akan semakin dianggap maju wawasan seseorang. Sebenarnya kalau kita mau jujur, cara pandang ini sungguh-sungguh ndeso. Di negeri-negeri Barat sana, orang-orang tengah mencari-cari formula apa yang mampu untuk menyembuhkan kerusakan moral bangsanya dan memalingkan wajahnya ke Timur., sedangkan kita mengangap Barat merupakan tatanan masyarakat yang sangat beradab.
Jika mau jujur, agenda mereka dengan segala gerakannya sesungguhnya bertujuan satu: menghalang-halangi undang-undang Allah SWT diterapkan di negeri ini. Titik. Sampai kapan pun, mereka akan tetap seperti ini, dengan berbagai alasan yang dibuat-buat, dengan berbagai dalih yang dikemukakan berulang-ulang, dengan berbagai logika yang dipaksa-paksakan. Jadi, bagi kita jangan sampai tertipu jika di lain hari mereka akan menamakan kelompoknya sebagai A dan di hari esoknya mengaku sebagai Z. Wallahu’alam bishawab.(rd/Tamat)