Indonesia adalah negeri yang sarat paradoks. Katanya negeri yang ramah tamah, namun kerusuhan dan konflik di mana-mana. Katanya negeri yang kaya raya gemah ripah loh jinawi, tapi kemiskinan tambah parah sehingga banyak rakyatnya yang mati bunuh diri. Katanya negeri mayorits Muslim terbesar dunia, tapi kok pornografi dan pornoaksi bisa tetap aman dan kian tahun kian gila saja: beberapa anggota parlemennya tertangkap basah berbuat zina dan korupsi (yang belum ketahuan masih banyak lagi), ikon pornografi dunia seperti majalah Playboy bisa dibeli oleh anak usia di bawah 10 tahun (!), penjara penuh oleh kasus-kasus pelecehan seks, hit situs porno tertinggi di dunia, dan sebagainya.
Dan yang juga aneh, ketika sebagian anak bangsa ingin menyelematkan negeri ini dari segala yang berbau porno, banyak yang mengecam dan menentangnya dengan berbagai dalih dan alasan yang tidak cerdas. Mereka mengatakan jika UU Pornografi ini mengekang kebebasan dan hak individual, mengancam NKRI, dan sebagainya. Benarkah UU Pornografi demikian?
Dalam halaman yang sangat terbatas ini tentu kita tidak bisa memaparkan seluruh isi dari UU Pornografi tersebut. Namun untunglah ada tulisan dari Inke Maris MA, seorang jurnalis senior yang kini memimpin LSM The Save Indonesian Children Alliance (Aliansi Selamatkan Anak Indonesia) berjudul “Sangat Mendukung UU Pornografi” yang dimuat dalam Suarapublika (Republika, 3/11) menulis, “Intisari RUUP dapat dibaca dari empat pasal saja. Pasal 1, 4, 11, dan 12 gamblang menjelaskan tujuannya adalah:
- Menghambat penyebaran pornografi yang mesum dan cabul (indecent and obscene sexually arousing material),
- Melindungi anak-anak (di bawah 18 tahun sesuai konvensi nasional) dari akses terhadap pornografi dan melindungi anak-anak dari dijadikan objek seks,
- Larangan pornografi disebarluaskan melalui berbagai media yang memuat persenggamaan, ketelanjangan, dan kesan ketelanjangan, persenggamaan dengan penyimpangan, kekerasan seksual, dan onani.
- Yang dikriminalkan adalah produsen, pengedar dan pelaku/model pornografi laki dan perempuan yang melakukan tanpa dipaksa.”
Inke Maris menulis, “Silakan periksa, tidak satu pun dari 44 pasal RUPP yang mengancam atau berimplikasi mengancam keanekaragaman bangsa Indonesia atau mengancam pluralisme, atau mengkriminalkan tubuh perempuan, atau mengancam agama, atau mengancam seniman. Jika ada yang mengatakan demikian dan kita percaya, maka segelintir orang telah berhasil mengelabui kita.”
Adapun segala bentuk ketelanjangan dan atau sesuatu yang menyiratkan ketelanjangan yang sudah lama menjadi bagian dari adat istiadat dan sebagainya, maka hal itu juga sudah dikecualikan dengan adanya pasal 14 UU Pornografi yang berbunyi: Pembuatan, penyebarluasan, dan penggunaan materi seksualitas dapat dilakukan untuk kepentingan dan memiliki nilai: a.seni dan budaya; b.adat istiadat; dan c.ritual tradisional. Pasal 14 ini merupakan bentuk akomodir dari berbagai aspirasi dari daerah, jadi sesungguhnya UU Pornografi ini sudah cukup lengkap dan sempurna.
Walau demikian, kubu penolak UU Pornografi tetap bersikeras jika UU ini mengancam pluralisme atau keanekaragaman, mengkriminalkan perempuan, dan banyak lagi dalih yang tidak berdasar. Sikap mereka ini sama persis dengan apa yang diungkap oleh sutradara Nia Dinata, salah satu penolak UU Pornografi di dalam acara debat TV One beberapa waktu lalu yang dengan tegas mengatakan, “Kami menolak semua pasal dalam UU Pornografi itu!”
Pernyataan ini tentu mengagetkan karena mereka berarti tidak setuju alias menentang semua UU Pornografi yang sangat bagus yang antara lain berbunyi:
“Pengaturan pornografi bertujuan: a.mewujudkan dan memelihara tatanan kehidupan masyarakat yang beretika, berkepribadian luhur, menjunjung tinggi nilai-nilai Ketuhanan Yang Maha Esa, serta menghormati harkat dan martabat kemanusiaan; b.memberikan pembinaan dan pendidikan terhadap moral dan akhlak masyarakat; c.memberikan kepastian hukum dan perlindungan bagi warga negara dari pornografi, terutama bagi anak dan perempuan; dan d.mencegah berkembangnya pornografi dan komersialisasi seks di masyarakat.” (Pasal 3)
“Setiap orang dilarang mengajak, membujuk, memanfaatkan, membiarkan, menyalahgunakan kekuasaan atau memaksa anak dalam menggunakan produk atau jasa pornografi.” (Pasal 12) dan sebagainya.
Nia Dinata dan penolak UU ini tentu tidak mau dan tidak sudi anak-anaknya menjadi korban perkosaan atau pelecehan seksual misalkan, tapi mereka tetap menolak UU Pornografi ini. Sesuatu yang sangat aneh, bukan?
Dalam tulisan ketiga, akan sama-sama kita bedah apa sesungguhnya yang menjadi ketakutan para penolak UU Pornografi ini, yang ternyata bukan karena muatan pasal-pasalnya an-sich, namun disebabkan oleh ketakutan yang tidak mendasar yang mereka yakini berada di balik UU Pornografi (dan juga UU Sisdiknas dulu) yang ditiup-tiupkan oleh kelompok-kelompok tertentu yang memang memiliki sejarah yang panjang untuk menghancurkan bangsa ini. (bersambung/rd)