Alhamdulillah. RUU Pornografi akhirnya disetujui DPR untuk disahkan menjadi UU lewat pleno akhir Oktober 2008 ini. Fraksi Partai Damai Sejahtera (F-PDS) dan Fraksi Partai Demokrasi Indonesia Perjuangan (F-PDIP) tetap bersikeras menolak dan akhirnya walk-out dari ruangan pleno. Bahkan suara dari Bali, salah satu daerah yang paling keras menolak RUU ini sedari awal, menyatakan pemerintah daerah dan masyarakatnya tetap akan melakukan pembangkangan sipil dan mengajukan uji materil peraturan ini ke Mahmakah Agung. Sejumlah tokoh yang dikenal penolak RUU Pornografi juga senada, tetap pada pendiriannya dan menyatakan tidak mengakui produk hukum yang telah disahkan tersebut.
Dalam kacamata demokrasi, mereka yang menyatakan diri tetap menolak atau membangkang terhadap produk hukum yang telah disahkan lewat jalan demokratis ini sesungguhnya bersikap anti demokrasi. Dan jika mereka tetap menolak, ini sudah menjadi tugas aparat negara agar menertibkannya.
Jika ancaman separatisme tetap juga diteriak-teriakkan, maka mungkin sudah waktunya bagi pemerintah pusat mengirimkan beberapa batalyon Raiders atau Baret Merah ke daerah tersebut dengan perlengkapan tempur lengkap untuk menciptakan ketertiban dan menjaga keutuhan NKRI dari ancaman separatisme. Bukankah demikian yang dilakukan pemerintah dalam menangani Aceh dan Timor Timur (dulu)? Gitu aja kok repot.
Fenomena yang melingkupi pro dan kontra tentang RUU Pornografi sebenarnya sama-sebangun dengan fenomena yang dulu pernah terjadi dalam hal pro dan kontra RUU Sisdiknas (sekarang telah jadi UU) Sisdiknas. Kubu yang pro dimotori aktivis Islam dan kubu yang kontra dipimpin oleh koalisi Liberal-Sekuler. Tulisan ini tidak akan membahas kubu yang pro terhadap UU Pornografi karena dalil-dalil mereka jelas, tegas, dan bernas. Beda dengan aneka dalil yang dikemukakan kalangan yang kontra di mana mereka selalu lari dari dalil yang satu ke dalil yang lain, meloncat-loncat, tidak runut, dan—maaf—jauh dari kesan cerdas dan kritis.
Saya percaya, kubu yang kontra sebenarnya tidaklah sebesar yang diberitakan oleh media massa. Kubu yang kontra sebenarnya sangat sedikit dan terpusat pada tokoh-tokoh di belakang kumpulan orang yang diorganisir untuk turun ke jalan berunjuk rasa menolak RUU Pornografi tersebut. Untuk membedah agenda apa yang hendak dibawa oleh kubu yang kontra terhadap RUU Pornografi, maka haruslah dibedah apa dan siapa tokoh-tokoh di belakang kelompok tersebut. Riwayat hidup, perjalanan pemikiran, siapa sekutunya, siapa yang sering menyandang dana segala kegiatannya, bagaimana kehidupan pribadinya, dan sebagainya merupakan informasi-informasi yang sangat penting untuk membuka selubung kaum ini.
Dan yang juga tidak kalah penting, kelompok yang kontra terhadap RUU Pornografi ini tentu merasa dirugikan dengan disahkannya RUU ini menjadi Undang-Undang. Kita harus menelusuri kerugian seperti apa yang akan menimpa mereka atau yang mereka takutkan jika RUU Pornografi disahkan? Kerugian yang paling ditakutkan oleh manusia pada umumnya adalah kerugian yang bersifat material, bukan idiil, walau mungkin di muka publik mereka banyak menyodorkan alasan-alasan yang terkait idealisme untuk menarik perhatian dan simpati. Lantas, kerugian material seperti apa yang ditakutkan jika RUU ini disahkan menjadi UU?
Adakah penolakan terhadap RUU Pornografi ini menjadi suatu proyek bagi mereka yang akan mendatangkan keuntungan yang banyak jika mereka berhasil menghadangnya dan sebaliknya, kehilangan proyek jika RUU ini tetap disahkan menjadi UU Pornografi? Adakah RUU Pornografi menjadi batu penghalang bagi ‘perjuangan’ mereka untuk menciptakan bangsa Indonesia yang baru, yang terlepas dari akar budaya masyarakat aslinya yang sesungguhnya agamis-nasionalistis?
Kubu Kontra RUU Pornografi
Penentang RUU Pornografi terdiri dari beberapa kubu, yakni Kubu Jaringan Islam Liberal (Musdah Mulia, Shinta Nuriyah Wahid, Goenawan Muhamad, dll), Kubu Pekerja Seni Liberal (Rieke Dyah Pitaloka, Inul Daratista, Olga Lydia, Moamar Emka, dll), dan Kubu Politisi Liberal (PDIP dan PDS). Yang terakhir ini sebenarnya bisa kita abaikan karena mereka sebenarnya ‘hanya’ mengakomodir aspirasi konstituennya agar mereka bisa tetap bertahan ‘hidup’. Beberapa kelompok penentang RUU Pornografi bisa disatukan menjadi satu kelompok, yakni Kubu Liberal. Siapa saja mereka? Tak jauh-jauh dari aliansi cair seperti AKKBB. Sami mawon.
Tulisan kedua akan mengupas isi dari UU Pornografi, tujuan dan hakikatnya, agar kita semua memahami dengan baik undang-undang tersebut, dan tidak tertipu oleh dalil-dalil kubu liberal yang menolaknya, yang nanti juga akan kita bahas. (bersambung/rd)