Gagasan Cina menggelar One Belt One Road (OBOR) atau kini diubah istilahnya menjadi Belt and Road Initiative (BRI), ataupun kerap disebut Jalur Sutra Abad ke 21 (agar lebih praktis, selanjutnya kita tulis OBOR saja) merupakan ide cemerlang. Itulah kecerdasan Xi Jinping merumus visi misi dan keberanian menetapkan tujuan yang ambisius.
Program OBOR atau Jalur Sutra Abad ke 21, selain bisa menghapus setiap kemungkinan risiko, ia diharapkan juga dapat meminimalisir dampak atas dua masalah utama di internal —ledakan penduduk dan lapangan kerja— di Cina.
Kuat disinyalir bahwa gagasan OBOR terbidani atas rekomendasi Chungkuok Tiangshi, ajaran leluhur yang berbunyi: “Hanya negeri Cina di bawah langit, sedang negeri lainnya di bawah Cina”.
Bagaimana implementasi OBOR di panggung politik global? Secara kuantitas, ia mentarget 70-an negara di sepanjang dan seputaran Jalur Sutra terutama kawasan kaya akan energi dan mineral. Skemanya kelak, bahwa kawasan tadi akan dijadikan ‘negara-negara boneka’ demi kepentingan nasional Cina dan implementasi dari dogma Chungkuok Tiangshi: “Semua negara di bawah Cina”.
Apabila Commonwealth —kelompok negara ex jajahan Inggris— beranggotakan 53 negara, sejak OBOR dilaunching Xi, ia telah merekrut 60-an negara. Jika merujuk target, tinggal beberapa negara lagi. Tetapi untuk kualitas komitmen serta soliditas, meski Commonwealt lebih sedikit namun dalam hal keduanya (komitmen dan soliditas) dirasa lebih unggul dibanding OBOR baik pada hubungan ekonomi, contohnya, maupun pakta pertahanan. Maka Inggris berani keluar dari Uni Eropa (UE) —British Exit alias Brexit— selain ia kembali ke nasionalisme dan konstitusi kerajaan, juga memberdayakan nasionalisme kawasan dan solidaritas Commonwealth. Kenapa? Tidak adanya kejelasan komitmen di UE, bahkan sering sesama anggota justru saling bantai bila terkait kepentingan nasional masing-masing (currency wars).