Nah, berbasis hal-hal di atas, khususnya esensi rumusan teori ruang, bahwa isu Natuna di satu sisi, tidak boleh dipandang sekedar provokasi nelayan Cina yang melakukan illegal fishing di ZEE belaka, tetapi sikap Cina yang menolak UNCLOS 1982 — rezim perairan global— dimana justru ia menjadi (anggota) bagiannya, itulah sisi lain yang mutlak wajib diwaspadai bersama. Mengapa? Perilaku mencerminkan motivasi. Pada konteks geopolitik, motivasi inilah yang kerap disebut dengan istilah “agenda” baik bersifat terbuka maupun hidden agenda.
Perilaku Cina menebar jaring nine dash line (sembilan garis putus-putus) di Laut Cina, secara geopolitik dianggap sebagai upaya meluaskan ruang hidup. Sah-sah saja. Dalam geopolitik, batas-batas ruang hidup memang tidak tetap, ruang mengikuti kebutuhan bangsa. Dan langkah Cina menebar “jaring” tadi bukan main-main, atau bukan sekedar test the water belaka oleh karena tebaran nine dash line di Laut Cina mampu “mengambil” sebagian perairan dari enam negara di sekitar Laut Cina yakni Taiwan, Malaysia, Vietnam, Brunai, Filipina dan Indonesia.
Jika merujuk ajaran Ratzel, Cina merasa sebagai bangsa yang unggul. Dan bila dibanding ke-6 negara di atas, Cina memang lebih unggul secara fisik baik di bidang militer, politik, ekonomi maupun jumlah penduduknya yang hampir dua miliar. Sudah barang tentu, ia butuh ruang yang lebih luas untuk dinamika (kebutuhan) warganya. Sekali lagi, manusia butuh negara dan negara butuh ruang hidup.
Retorikanya adalah, bukankah perilaku Cina menebar nine dash line itu tindakan ekspansif?
Ya. Tampaknya, Cina tengah menjalankan teori ruang ala Ratzel, dimana inti bunyinya: “Hanya bangsa unggul yang melegitimasi hukum ekspansi.” Itulah hidden agenda yang tengah dijalankan oleh Cina sehingga ia berani menolak UNCLOS 1982. Tetapi meskipun hidden, agenda tersebut toh bisa dibaca melalui kacamata geopolitik.