Lantas, bagaimana dengan (perang) narasi saling tuduh di atas? Jika asumsi prematur ini benar, maka jawabannya: “Itu cuma skenario deception alias isu penggaduhan tetapi bertujuan untuk penyesatan publik.”
Kali ini, saya agak sepakat dengan isyarat filosofi dari Rocky Gerung, “Satu skenario dua lakon. Berganti – ganti aktor, dalam cerita yang sama kotor”.
Dan entah benar atau tidak, mau percaya atau tidak, hukumnya sunah. Biarlah waktu yang kelak mengungkap. Sebab kebenaran kerap memiliki jalannya sendiri.
Ini sekedar prolog awal sebagai latar dalam telaah kecil berbasis filsafat dan local wisdom.
Sesuai judul, catatan ini tidak membahas ke arah (geopolitik praktis) sana, namun membahas isu corona dari perspektif filsafat dan local wisdom. Inilah uraiannya secara singkat lagi sederhana.
Ya. Munculnya pandemi Covid-19 yang kini merebak ke berbagai negara secara cepat dan mematikan, bila ditelaah dari perspektif local wisdom (kearifan lokal) khususnya kearifan masyarakat Jawa, apapun epidemi dan/atau pandemi kerap disebut dengan istilah “pagebluk”. Dan munculnya pagebluk atau wabah merupakan pertanda bakal datang tatanan (kehidupan) baru baik di bidang politik, sosial, budaya, ekonomi dll entah di level lokal/nasional, regional bahkan di tingkat global. Dalam kepercayaan Jawa, pagebluk itu isyarat atau pertanda akan tiba era perubahan (atau datang peradaban baru) terutama di wilayah dimana pagebluk itu mewabah.
Cina sebagai asal Covid-19 berbiak, misalnya, mungkin tatanannya akan berubah. Entah apa bentuknya nanti. Atau Italia yang jumlah korban Covid-19 sudah melebihi Cina, pasti juga akan berubah, atau Amerika, Jepang dan seterusnya bahkan Indonesia yang kini terjangkit pagebluk corona akan berubah tatanannya. Entah iya atau tidak, ini bukan ramalan tetapi isyarat berbasis kearifan Jawa.
Sedangkan filsafat sendiri mengisyaratkan, bahwa faktor utama sebuah perubahan ialah ketidakpercayaan khalayak (public distrust). Ya. Ada public distrust terbenam di benak publik. Mengendap lama menunggu momentum.
Dan berbicara perihal kepercayaan (public trust) itu berasal dari dua arah, yakni logika dan hati. Aspek logika perihal baik dan buruk, benar atau salah. Sedangkan aspek hati tentang (rasa) adil dan tidak adil.
Adanya kepercayaan di publik terhadap “sesuatu” (entah nilai, teori, rezim, kebijakan, program, dan seterusnya) itu ketika ia berjalan di publik secara baik, benar serta adil sesuai pilihan logika dan hati publik. Itulah kepercayaan atau public trust. Tetapi ketika ia (sesuatu) berjalan sebaliknya –dipandang tidak baik dan tak adil– maka disinilah awal muncul benih ketidakpercayaan bersemi di taman logika dan hati rakyat terhadap sesuatu tadi.
Lantas, bagaimana hubungan antara pagebluk dengan perubahan? Ada. Bahkan nyata dan berada (existance). Artinya, pola penanggulangan pihak berwenang, cara antisipasi pagebluk, dan terutama sekali adalah dampak dari pagebluk itulah yang kelak menjadi faktor dominan dan pendorong dari sebuah perubahan peradaban.