Keluarga Mel sempat hijrah ke Australia namun beberapa tahun kemudian kembali ke AS. Di Australia, Mel menamatkan pendidikan di National Institute of Dramatic Art di Sydney (1977). Karirnya sebagai aktor diawali di Australia dengan bermain di sejumlah seri televisi seperti di Seri The Sullivans, Cop Shop, dan Punishment. Dari Australia, keluarga Gibson kembali ke New York dan dengan cepat karir Mel melesat dan menjadi salah satu bintang papan atas Hollywood. Setelah membintangi Madmax (1979) dan kemudian sekuel Madmax lainnya, nama Mel Gibson mulai diperhitungkan orang.
Walau lahir dan tinggal di New York, kota pusat orang Yahudi, Mel Gibson ternyata tumbuh menjadi pribadi yang tidak begitu suka dengan orang-orang Yahudi, selaras dengan ketidaksukaannya terhadap politik kekerasan yang dijalankan pemerintah AS sejak Perang Vietnam.
Memusuhi dan Dimusuhi Yahudi
Selebritas di Hollywood yang kontroversial sangat banyak. Ada yang tergila-gila bahkan paranoid dengan paparazzi, ada yang gila dugem, dan gila-gila lainnya seperti halnya Madonna yang gila dengan segala sesuatu yang berbau Kabbalah. Namun yang menjadi kontroversial gara-gara terang-terangan memperlihatkan ketidaksukaannya terhadap Yahudi, barangkali cuma Mel Gibson seorang. Sebab itulah, sosok Mel Gibson menjadi begitu “aneh” dibanding rekan-rekan lainnya.
Mel tidak saja dikenal kontroversial dalam hal ‘Jewish Problem’, tetapi juga sikapnya yang konservatif dalam hal keberagamaannya. Walau dibesarkan dalam keluarga besar Katolik, namun Mel dengan berani menolak beberapa keputusan Konsili Vatikan II (1962-1965) yang antara lain memperbolehkan penggantian bahasa latin dalam misa dan liturgi dengan bahasa beragam yang terdapat di seluruh muka bumi. Dalam hal ini Mel berpandangan bahwa Vatikan telah mengorupsi institusi gereja dan menjadikannya begitu liberal.
Salah satu filmnya yang menjadi sorotan dunia adalah “The Passion of Christ” yang berupaya senyata mungkin memotret penderitaan seorang Yesus 12 jam sebelum di salib di Bukit Tengkorak (Bukit Golgota). “Ini merupakan panggilan hati nuraniku dan aku akan membuatnya realistis, ” ujar Mel dalam salah satu wawancaranya dengan Time.
“The Passion” memang penuh darah. Dan seorang Mel Gibson dengan tanpa takut sedikit pun menggambarkan betapa penderitaan Yesus diakibatkan oleh orang-orang Yahudi. Orang Yahudi-lah yang menyebabkan Yesus mengalami penyiksaan yang amat sangat. Ini tentu versi Alkitab.
Sebelum selesai, “The Passion” sudah mengundang badai kecaman dari Liga Anti Penistaan Yahudi dan juga dari Konsferensi Keuskupan AS. Mel Gibson dinilai telah menunjukan sikap anti Semit-nya dengan memproduksi film tersebut. Namun belakangan, Konferensi Keuskupan AS menarik kecamannya dan meminta maaf kepada Mel. Di sejumlah negara, “The Passion” bahkan mendapat pujian dari komunitas Katolik sendiri dan dinilai menggambarkan penderitaan Yesus dengan sangat orisinil. Bahkan sejumlah pastor menyatakan jika “The Passion” sudah sesuai dengan isi dari Perjanjian Baru.
Yang paling resah dengan “The Passion” tentu saja komunitas Yahudi. Mereka bersama-sama menuding Mel Gibson telah menyebarkan perasaan anti-Semit ke seluruh dunia dengan peredaran film tersebut. Namun sikap Mel Gibson sendiri tetap tegar. “Saya tidak anti Yahudi. Agama yang saya yakini tidak membenarkan kita untuk bersikap rasis dan itu adalah dosa, ” ujarnya.
Diam-diam, komunitas Yahudi AS telah merancang agar nama baik dan juga karir Mel Gibson terganjal di Hollywood. Dalam tulisan ketiga, hal ini akan dipaparkan lebih lanjut. (bersambung/RR)