Di Makhapur, salah satu dari banyak desa yang mengelilingi Ayodhya, melihatnya denga suasana acuh tak acuh terhadap kesibukan persiapan yang terjadi di kota utama kawasan itu. Bhagelu Maurya, seorang penjual sayur, mengatakan, “Bahkan jika kuil itu dibangun, saya tidak berpikir itu akan mempengaruhi hidup saya. Biarkan dibangun terlebih dahulu. Kita telah melihat janji sebelumnya juga tentang pembangunan, tetapi tidak ada yang terjadi.”
Eksodus keluarga Muslim
Penduduk Muslim sendiri di Ayodya, meski hanya sebagian minoritas tapi pengaruhnya signifikan bagi perdagangan di sana. Bisnis kota bergantung pada pengrajin Muslim ini, mulai dari penjual susu hingga penjual bunga.
Namun sejak terjadi aksi kekerasan di Masjid Babri pada tahun 1990-an, mulai saat itu telah terjadi eksodus keluarga Muslim di sana. Ini karena ancaman kekerasan di kota sepi tapi sensitif yang berada di tepi sungai yang dinamakan Sarayu itu. Sejarah juga mencatat pada hari ketika masjid Babri dibongkar, saat itu sedikitnya ada 24 Muslim tewas dan puluhan rumah milik masyarakat dibakar. Peristiwa ini kemudian memicu eksodus yang berakibat semakin mengurangi populasi Muslim di Ayodhya.
Saat ini, Muslim yang bertahan hidup di Ayodya, seperti Abid Khan, terus menjalani profesu membuat sandal kayu. Alas kaki ini kebanyakan diperuntukan olehsejumlah besar pertapa dan biksu Hindu yang tinggal di sana.
“Saya memiliki seorang pekerja Hindu yang membantu saya, keadaan di kota hari ini memang masih damai. Tetapi kenyataannya kami tidak tahu siapa yang harus dipercaya lagi karena kami telah dikhianati sebelumnya pada tahun 1992,” kata Khan.
“Lebih dari lima generasi keluarga saya telah tinggal di sini tetapi dengan tangisan sebagai akibat upata menciptakan ‘India Hindu’ yang semakin keras. Saya tidak tahu berapa lama kita bisa bertahan di sini,” ujarnya lagi.