Boy Rafli Amar, Kapolda Papua, mengatakan polisi menangani kasus tersebut dengan serius.
“Kami sedang berkoordinasi dengan direktorat cybercrime di Jakarta karena mungkin ulama itu tidak di Papua,” katanya.
Dominan di Semua Bidang Kehidupan
Pastor Fransiskan Konstantinus Bahang mengatakan reaksi orang Kristen terhadap Islam telah dipicu oleh rasa takut dan kebencian.
Ketakutan mereka bermula dari semakin dominannya Islam di semua bidang kehidupan, khususnya ekonomi ketika kaum Muslim membuka lebih banyak bisnis yang semakin meningkatkan persaingan.
“Sebagian besar orang-orang yang memiliki koneksi yang baik dan yang makmur adalah Muslim, sementara orang Papua semakin tersisih,” kata Pastor Bahang, dosen di Sekolah Tinggi Filsafat Fajar Timur di Jayapura.
Simbol Islam menjadi lebih umum di ruang publik, katanya.
“Ini adalah ruang pelayanan publik untuk orang Kristen dan Muslim, tetapi sekarang umat Islam mengendalikannya,” tambahnya.
Kota Jayapura sekarang memiliki lebih dari 80 masjid dan musala, yang dibangun di dalam atau di dekat pasar lokal, daerah pemukiman dan kantor pemerintah.
Distrik Sentani memiliki 24 masjid sementara Kabupaten Jayapura memiliki 52 masjid.
Dari perspektif psikologi agama, kehadiran yang menjamur ini dapat dilihat sebagai upaya untuk mencoba dan meminggirkan keyakinan agama orang lain, kata Pastor Bahang.
Papua memiliki populasi sekitar 3,6 juta orang, dimana 61,3 persen beragama Protestan, 21 persen beragama Katolik dan 17,4 persen beragama Islam.
Pastor Bahang mengatakan banyak anak-anak pribumi sudah dididik atau dipersiapkan untuk melayani sebagai pemimpin Islam berikutnya di wilayah tersebut.
“Anak-anak ini suatu saat akan berhadapan dengan suku mereka sendiri,” katanya.
Dia melihat ini sebagai usaha yang disengaja untuk melemahkan pengaruh gereja.
“Hal yang baik adalah bahwa, meskipun ada perbedaan, rasa solidaritas di antara orang Kristen tetap kuat,” katanya.
Banyak orang di Papua belum memperhatikan bahwa pertumbuhan kehadiran Islam merupakan potensi ancaman politik.
Dia mengatakan jika ketegangan mendidih hasilnya bisa menjadi bencana dan konflik bisa meningkat dengan cepat.
“Semua pihak harus bekerja sama untuk mencari solusi sebelum itu terjadi,” kata Pastor Bahang.
Dia telah menyarankan pihak berwenang untuk menyiapkan peraturan khusus bagi kawasan untuk mengendalikan toleransi antaragama di Papua, sesuai dengan Undang-Undang Otonomi Khusus.
Para pemimpin agama juga perlu bekerja untuk membangun dialog untuk mencegah masalah lebih lanjut dan melibatkan orang di tingkat akar rumput, ia menambahkan.
Ketika diminta untuk berkomentar mengenai masalah ini, Saiful Islami Al Payage, ketua Majelis Ulama Indonesia di Papua, mengatakan bahwa “semua hal ini perlu dibicarakan secara internal.”
Laporan Mama Yosepa AlomangÂ
Mama Yosepa Alomang (tengah) berbincang dengan Kardinal Keuskupan Agung Tonga, Kardinal Mafi (paling kanan) disaksikan oleh Kardinal Keuskupan Agung Papua Nugini, John Ribat (paling kiri) dan intelektual muda Papua, Markus Haluk (disamping kiri John Ribat) (Foto: Ist)